Cover Collection "Paulus Pencetak Para Genius"

Paulus Pesurnay: Melatih Yayuk Basuki, Menopang 'The Jaguar of Asia'

22 Juni 2019 10:56 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Paulus Pencetak Para Genius Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Paulus Pencetak Para Genius Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
ADVERTISEMENT
Ada kalanya Paulus Pesurnay tidak membiarkan Yayuk Basuki berlari sendirian.
ADVERTISEMENT
Dalam sejumlah sesi latihan, ia ikut mengencangkan sepatu lari dan turun lintasan. Paulus tidak memacu atau memperlambat kecepatannya. Ia berlari persis di sebelah Yayuk.
Seketika tak ada pelatih dan atlet di lintasan itu. Yang ada adalah dua kawan baik, yang berlari di sana adalah bapak dan anak.
“Yuk, ini namanya conversation phase,” seperti itu Yayuk menirukan jawaban Paulus soal metode apa yang sedang diterapkan pelatih fisiknya tadi.
Tidak ada satu gerakan pun yang nir-tujuan dalam sesi latihan Paulus. Conversation phase dilakukannya supaya Yayuk dapat menikmati sesi latihan. Ia ingin mengangkat morel anak didiknya.
Paulus tak mau The Jaguar of Asia itu meringkuk di hadapan kelelahan. Paulus tak ingin Yayuk tersungkur dihantam kejenuhan.
ADVERTISEMENT
Petenis Yayuk Basuki saat bertanding melawan Monica Seles dari Amerika Serikat pada kejuaraan Wimbledon di Court One. Foto: AFP/PASCAL PAVANI
Segala hal yang dicapai Yayuk tidak terlepas dari dukungan Paulus sebagai pelatih fisik. Paulus tidak menjadi pelatih fisik pertama Yayuk di PB Pelita. Awalnya, ia diasuh oleh pelatih asing yang sebenarnya berstatus sebagai pelatih klub.
Teman-teman seklubnya mengeluhkan ketidakcocokan dengan metode pelatih ini. Yayuk yang ikut mendengar keluhan ini merespons dengan cara berbeda. Ia justru meminta kepada pemilik klub supaya ditangani oleh pelatih yang satu ini.
Yang menjadi kebutuhannya kala itu adalah pelatih yang dapat meningkatkan kualitas fisik. Makanya, ia tak ambil pusing dengan keluhan orang-orang.
Namun, perjalanan sebagai petenis profesional melahirkan kesimpulan, ada yang kurang pas dengan metode itu. Rangkaian tur yang seolah tak ada habisnya menjadi lawan lain yang mesti dihadapi Yayuk di setiap musim.
ADVERTISEMENT
Petenis Yayuk Basuki saat bertanding melawan Miho Saeki dari Jepang di turnamen tenis Toyota Cup. Foto: AFP/KAZUHIRO NOGI
“Dunia profesional itu berat, ya. Kami harus ke luar negeri kira-kira sembilan sampai 10 bulan per musim. Tur dua hingga tiga bulan, pulang untuk masuk ‘bengkel’ (jeda dan pemulihan fisik -red) cuma satu atau dua minggu, terus berangkat lagi. Perjalanannya selalu seperti itu,” jelas Yayuk dalam wawancaranya bersama kumparanSPORT.
“Saya rasa, kondisi dan kemampuan fisik saya tidak konsisten. Saya memang bisa mengalahkan petenis-petenis top 10. Ada banyak petenis 10 besar yang saya kalahkan."
"Tapi, begini. Ketika petenis peringkat 20 atau 30 dunia ditarik untuk melawan bahkan mengalahkan petenis top 10, ada aktivitas fisik dengan intensitas tinggi. Nah, hari berikutnya, kekuatan fisik saya menurun,” ucap Yayuk.
Paulus Pesurnay. Foto: Marini Dewi Anggitya Saragih/kumparan
Kebutuhan ini pula yang disampaikan Yayuk kepada pelatihnya. Sempat ada perbedaan persepsi soal ini hingga akhirnya Yayuk memutuskan untuk mengakhiri kerja sama dengan sang pelatih.
ADVERTISEMENT
Kekosongan pelatih fisik mempertemukan Yayuk dengan Paulus. Yayuk memulai kerja samanya dengan Paulus sejak 1993 ketika masih bergabung di klub.
Namun, pada akhir 1995, Yayuk memutuskan untuk merekrut Paulus secara individu sebagai pelatih fisiknya. Kerja sama itu bertahan hingga Yayuk rehat pada 1999 sebelum akhirnya kembali turun lapangan pada 2000. Namun, komunikasi dengan Paulus tetap dirawat Yayuk meski ia benar-benar gantung raket pada 2013.
Yayuk adalah petenis pertama yang dilatih Paulus. Pengalaman pertama melatih petenis membuat Paulus mesti memutar otak. Ia tak cuma belajar tenis dari buku dan jurnal. Kolaborasi dengan pelatih teknik Yayuk, Suharyadi, menjadi tiang pancang yang menopang kerja sama keduanya.
“Apa pun olahraganya, saya tidak bakal asal-asalan menyuruh atlet. Saat melatih Yayuk, saya berangkat dari manual training buat tenis,” jelas Paulus dalam wawancaranya bersama kumparanSPORT.
ADVERTISEMENT
“Saya perhatikan gerakannya saat latihan (dengan pelatih teknik) dan pertandingan. Kalau gerakannya lambat, berarti kakinya kurang kuat. Kalau pergerakan ke kanan ke kirinya bagus, berarti (kekuatan) kakinya normal. Semuanya harus diperhatikan selama latihan,” ujar pelatih yang kini berusia 78 tahun itu.
Final Asian Games 1998 di Bangkok mempertemukan Yayuk dengan bintang masa depan Thailand, Tamarine Tanasugarn. Tamarine bukan petenis sembarangan meski kala itu baru empat tahun berstatus profesional.
Bagaimana tidak? Pada Australia Terbuka 1998, ia sampai ke babak keempat usai mengandaskan juara Prancis Terbuka 1997, Iva Majoli, dalam dua set langsung 6-2, 6-0.
Petenis Yayuk Basuki mencium mendali emasnya usai mengalahkan Tamarine Tanasugarn dari Thailand di final tenis tunggal putri Asian Games ke-13 di Bangkok. Foto: AFP/TORSTEN BLACKWOOD
Apa yang terjadi di babak final membuktikan bahwa selalu ada sinergi antara atlet, pelatih teknik, dan pelatih fisik. Yayuk dan pelatih teknik menganalisis gaya, kelemahan, dan kekuatan permainan Tamarine.
ADVERTISEMENT
Tugas Paulus adalah merancang program latihan yang dapat mendukung Yayuk untuk menampilkan permainan yang mampu mengandaskan perlawanan Tamarine.
“Dia minta dibuatkan program latihan untuk melawan Tamarine. Yayuk melihat bahwa Tamarine itu kuat untuk lari menjangkau bidang kiri , lalu ke kanan lapangan. Tapi, Tamarine kerepotan ketika harus lari ke depan untuk netting,” jelas Paulus.
“Sasaran program latihannya supaya Yayuk memiliki kualitas fisik yang mematikan permainan Tamarine. Mungkin Tamarine bisa mengambil bola ke depan ke belakang satu atau dua kali. Setelahnya dia habis karena memang terbiasa dengan pergerakan ke kiri kanan. Tapi, kekuatan fisiknya tidak cukup untuk menghadapi game plan Yayuk. Intinya, saya mengakomodir permintaan pelatih teknik dan Yayuk.”
Paulus Pesurnay. Foto: Marini Dewi Anggitya Saragih/kumparan
ADVERTISEMENT
Kemenangan 6-4, 6-2 disegel Yayuk. Medali emas dikalungkan ke lehernya. Tapi, medali emas Asian Games 1998 belum cukup untuk membuat Yayuk berhenti melesat.
Kerja sama antara setiap tim yang terlibat dalam perjalanan seorang atlet juga lahir dalam bentuknya yang lain. Bahkan dalam rupa yang sepintas sepele, semisal kesediaan Paulus dan Suharyadi menemani Yayuk menonton film komedi di hari jeda pertandingan.
"Turnamen 'kan ada hari jeda pertandingan, ya. Hari saat Yayuk memang tidak bermain, dia baru main besoknya. Waktu itu Yayuk bilang mau nonton film yang lucu-lucu. Kami tahu dia butuh itu. Ya sudah, kami temani. Saya bilang ke Suharyadi: Har, kalaupun ada film lain yang mau kamu tonton, nanti kita nonton berdua waktu Yayuk istirahat di hotel," kenang Paulus.
ADVERTISEMENT
Barangkali tertawa-tawa bersama di bioskop tak akan membuat kecepatan Yayuk bertambah atau pukulannya bertambah kuat. Tapi, lewat gestur sederhana itu, Yayuk bisa paham bahwa seluruh orang yang ada di tim mendukungnya, bersama-sama menopangnya merengkuh gelar.
***
kumparanSPORT membahas cerita tentang bagaimana Paulus Pesurnay membentuk para atlet juara. Anda bisa mengikuti pembahasannya via topik 'Tangan Emas Paulus Mencetak para Genius.'
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten