Puja-Puji untuk Timnas Suriah Itu Tidak Layak dan Tidak Perlu

11 Oktober 2017 7:36 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto Bashar al-Assad di ponsel suporter Suriah. (Foto: AFP/Louai Beshara)
zoom-in-whitePerbesar
Foto Bashar al-Assad di ponsel suporter Suriah. (Foto: AFP/Louai Beshara)
ADVERTISEMENT
"Sepak bola adalah sebuah mimpi yang bisa mempersatukan banyak orang. Ia memberi senyuman kepada khalayak dan bisa membantu mereka melupakan aroma kehancuran dan kematian."
ADVERTISEMENT
Kata-kata itu meluncur dari mulut Bashar Mohammad, juru bicara Tim Nasional Suriah, suatu kali, dan kalau boleh jujur, idealnya memang begitu. Apalagi, di sini yang menjadi konteks adalah Suriah, sebuah negara yang remuk redam akibat perang saudara sejak 2011.
Selasa (10/10/2017) sore WIB, Timnas Suriah bertandang ke Australia untuk melakoni laga play-off Kualifikasi Piala Dunia zona Asia. Di pertandingan pertama yang dihelat di Malaysia, kedua kesebelasan bermain imbang 1-1.
Suriah pun berhasil unggul lebih dahulu pada pertandingan leg kedua itu. Lewat sebuah serangan balik cepat, Omar Al Somah mampu membobol gawang Matthew Ryan.
Namun, Australia lewat pemain veteran Tim Cahill kemudian mampu menyamakan skor dan skor imbang 1-1 terpampang di papan skor saat waktu normal berakhir. Pertandingan pun kemudian dilanjutkan ke perpanjangan waktu.
ADVERTISEMENT
Cahill, di situ, kembali membuktikan bahwa dia memang merupakan jimat Socceroos. Dua menit jelang babak pertama perpanjangan waktu usai, dia membobol gawang Suriah untuk kali kedua.
Al Somah sebetulnya punya kans untuk membuat skor menjadi 2-2 sekaligus meloloskan Suriah ke play-off antarkonfederasi pada menit terakhir babak kedua perpanjangan waktu. Lewat sebuah tendangan bebas, dia berhasil membuat Ryan terpaku. Namun, bola kirimannya hanya membentur tiang gawang dan akhirnya, Australia pun keluar sebagai pemenang.
Sampai sejauh itulah langkah Suriah di Kualifikasi Piala Dunia 2018. Jika mereka mampu lolos, mereka hanya tinggal dua pertandingan lagi dari putaran final Piala Dunia. Namun, nasib berkata lain.
***
Kekecewaan pemain Suriah seusai pertandingan. (Foto: REUTERS/Steve Christo)
zoom-in-whitePerbesar
Kekecewaan pemain Suriah seusai pertandingan. (Foto: REUTERS/Steve Christo)
Sulit untuk tidak bersimpati kepada (Timnas) Suriah. Biar bagaimana juga, mereka adalah underdog yang sesungguhnya. Mereka bukan negara besar di sepak bola. Di level Asia saja, prestasi mereka pas-pasan. Sudah begitu, negara mereka pun identik dengan peperangan serta krisis kemanusiaan. Ketika mereka berhasil melangkah sejauh itu, aplaus pun sudah selayaknya diberikan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, benarkah begitu?
Dari segi sepak bola, aplaus itu sama sekali tidak salah. Seperti olahraga-olahraga lainnya, sepak bola juga selalu punya tempat tersendiri bagi underdog seperti Suriah. Namun, sudah selayaknya jika aplaus itu berhenti sampai di situ. Pasalnya, kenyataan sebenarnya tidaklah seindah itu.
Ketika perang saudara Suriah baru mulai berkecamuk, Presiden Bashar al-Assad sudah tahu bahwa dia butuh segala bantuan untuk bisa melanggengkan posisinya. Padahal, perang saudara itu sendiri awalnya dipicu dari rangkaian aksi demonstrasi yang menuntut ditegakkannya demokrasi di negara tersebut.
Bashar al-Assad (Foto:  Reuters/Sana)
zoom-in-whitePerbesar
Bashar al-Assad (Foto: Reuters/Sana)
Aksi demonstrasi itu kemudian semakin membesar, respons pemerintah semakin opresif, hingga akhirnya, perang sipil jadi tidak terelakkan. Di situlah kemudian konflik yang melanda Suriah menjadi krisis kemanusiaan terburuk sejak Perang Dunia II.
ADVERTISEMENT
Di tengah konflik itulah Bashar al-Assad kemudian melibatkan sepak bola. Menurut laporan Syrian Network for Human Rights yang dilansir pertama kali oleh ESPN, rezim al-Assad menggunakan "atlet dan segala unsur olahraga untuk mendukung praktik opresifnya".
Di situ dijelaskan bahwa sejak awal konflik pun, para atlet, khususnya pesepak bola, sudah dipaksa untuk ikut dalam pawai mendukung al-Assad. Dalam pawai tersebut, mereka tak jarang diminta untuk membawa spanduk serta mengenakan kaus bergambar wajah sang presiden. Ini dilakukan pula oleh kontingen Timnas Suriah ketika mereka datang di Malaysia yang kemudian menjadi markas mereka. Tak cuma itu, rezim al-Assad pun menggunakan stadion-stadion di Suriah sebagai basis militer untuk melancarkan serangan kepada warga sipil.
ADVERTISEMENT
Tentara Suriah memberi tanda kemenangan dekat sebuah tank di Sukkari, Aleppo timur. (Foto: SANA via AP)
zoom-in-whitePerbesar
Tentara Suriah memberi tanda kemenangan dekat sebuah tank di Sukkari, Aleppo timur. (Foto: SANA via AP)
Mereka yang menolak kemudian dipenjarakan dan dieksekusi. Berdasarkan laporan yang dikompilasi oleh Anas Ammo, seorang mantan jurnalis olahraga di Aleppo, rezim al-Assad telah membunuh setidaknya 38 pesepak bola dari dua divisi teratas Suriah. Metodenya pun bermacam-macam, mulai dari menembak, membom, sampai menyiksa sampai mati. Ini belum termasuk mereka yang hilang atau kemudian tewas di tangan ISIS ketika konflik sudah melebar.
Satu hal yang jarang diketahui orang adalah bahwa Tim Nasional Suriah yang mampu menembus play-off zona Asia itu adalah tim milik Al-Assad. Artinya, mereka yang berlaga di sana adalah pion-pion yang digunakan sang diktator untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Suriah baik-baik saja dan masih bisa berprestasi, meski faktanya, tentu saja, tidak demikian.
ADVERTISEMENT
Celakanya, Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) pun melakukan pembiaran. Masih menurut laporan ESPN, ketika FIFA disuguhi data dan fakta soal pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang menimpa atlet serta pesepak bola Suriah, FIFA justru mengatakan bahwa "situasi tragis itu tak lagi berada di dalam domain olahraga".
FIFA sendiri punya aturan jelas soal intervensi pemerintah terhadap federasi sepak bola. Indonesia pernah mengalaminya. Akan tetapi, ketika pemerintahan Bashar Al-Assad jelas-jelas menggunakan sepak bola sebagai mesin propaganda, FIFA memilih untuk bersikap netral. Satu-satunya "sanksi" yang diberikan FIFA kepada Federasi Sepak Bola Suriah (FASF) adalah berhentinya dana bantuan mereka.
Logo FIFA di markas mereka di Zurich, Swiss. (Foto: Matthias Hangst)
zoom-in-whitePerbesar
Logo FIFA di markas mereka di Zurich, Swiss. (Foto: Matthias Hangst)
Adapun, Timnas Suriah yang baru saja dikalahkan Australia itu sendiri sebenarnya bukanlah tim terkuat mereka. Sebabnya, ada beberapa pemain Suriah yang memutuskan untuk tidak membela tim milik rezim Bashar Al-Assad tersebut, seperti Firas Al-Khatib.
ADVERTISEMENT
Apabila Al-Khatib mau, dia sebetulnya bakal menjadi kapten tim. Akan tetapi, pemain yang kini berlaga di Kuwait tersebut menolak sebagai bentuk protes atas bombardir yang dialamatkan rezim Al-Assad pada kota kelahirannya, Homs.
Di sini, lagi-lagi, apabila kita bicara dari segi olahraga, Suriah jelas layak dapat apresiasi lebih. Dengan bukan tim terkuatnya saja, mereka bisa sampai sejauh itu, apalagi kalau mereka bisa menurunkan tim terkuat?
Akan tetapi, itu tentunya adalah poin yang salah. Jika Al-Khatib yang seharusnnya menjadi kapten tim saja tidak sudi untuk memberi kredit kepada tim nasional seperti itu, apa lantas kita mau menafikan semua itu?