news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Roger Federer dan Rafael Nadal, Dua Rupa Genius Jagat Tenis

11 Juli 2019 20:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nadal, Federer, dan trofi Wimbledon 2006. Foto: CARL DE SOUZA / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Nadal, Federer, dan trofi Wimbledon 2006. Foto: CARL DE SOUZA / AFP
ADVERTISEMENT
Dua tahun sebelum gantung diri, David Foster Wallace menulis kisah yang membuktikan Roger Federer muda lebih dari sekadar mas-mas preppy-cool yang mengayun raket di atas lapangan tenis.
ADVERTISEMENT
Tulisan berjudul Roger Federer as Religious Experience yang tayang di New York Times pada 20 Agustus 2006 itu mengubah pandangan entah berapa banyak orang soal tenis. Bahwa tenis bukan cuma olahraga yang menggilai tatanan, bahwa Grand Slam bukan sekadar kompetisi elite.
Bahwa pada suatu waktu, menonton tenis bisa membuatmu berjam-jam mengurung diri di kamar tanpa bersuara sampai membuat orang rumah berjingkat-jingkat, mengintip dari jendela sebelah luar kamarmu hanya untuk memastikan kau masih bernyawa dan baik-baik saja.
Untuk pengalaman tersebut, orang-orang--kata Wallace--berutang pada duel Federer melawan Rafael Nadal di final tunggal putra Wimbledon 2006.
Minggu, 9 Juli 2006, diselimuti cuaca terik London yang membuat rumput di sebagian lapangan Wimbledon mengeras, Federer dan Nadal bertemu di partai puncak. Entah berapa lama keduanya duduk di sofa ruang tunggu Centre Court, tepat di bawah petikan sajak If karya Rudyard Kipling sebelum menginjak lapangan rumput yang sakral itu.
ADVERTISEMENT
Nadal dan Federer di Wimbledon 2006. Foto: CARL DE SOUZA / AFP
Federer tidak datang dengan kabar menyenangkan. Ia sampai ke final Wimbledon sambil membawa cerita kekalahan dari Nadal di Prancis Terbuka. Bukan kisah baru karena lapangan tanah liat adalah rumah Nadal.
Narasi balas dendam menggaung di mana-mana. Tapi, ini Centre Court. Lapangan agung berjuluk The Cathedral. Tempat ini kelewat suci untuk niat sekotor balas dendam.
Narasi lantas berganti. Ini laga penebusan. Nubuatan pun merebak: Federer mati pada Juni, lalu bangkit dua bulan berselang untuk menebus kekalahannya sendiri.
Orang-orang berharap laga itu berlangsung sengit sejak awal. Mereka mengira, rumput Centre Court juga bakal mengering sehingga membuat laju bola mirip dengan lapangan tanah liat, lapangan kebesaran Nadal. Harapan sedikit meleset karena tensi laga baru meninggi sejadi-jadinya pada set kedua.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya nubuatan tadi betul-betul tergenapi. Federer juga yang mengangkat trofi berpuncak nanas di akhir laga meski kehilangan set ketiga. Lewat kemenangan 6-0 7-6 (7-5) 3-6 6-3, Federer bangkit dari antara orang mati, menebus kekalahan di Prancis dengan kemenangan di tanah Britania.
Jagat tenis terlanjur memuja Federer dan Nadal terlepas dari siapa yang menjadi juara. Segala sesuatu yang dikerjakan keduanya di atas lapangan tenis tidak terjangkau. Tak terpikirkan oleh orang-orang biasa. Itu cuma perkara yang bisa dikerjakan oleh orang-orang genius.
Kegeniusan Federer dan Nadal ibarat Kutub Utara dan Selatan. Sama-sama dingin dan mematikan, tapi berseberangan.
Yang perlu diingat, tak ada diksi permusuhan dalam kamus keduanya. Nadal dan Federer berkawan baik, saling melempar lelucon kapan pun mereka tak bertemu di atas satu lapangan yang sama.
ADVERTISEMENT
Rafael Nadal usai mengunci kemenangan atas Nick Kyrgios di babak kedua tunggal putra Wimbledon 2019. Foto: REUTERS/Hannah McKay
Duel antara Nadal dan Federer, termasuk final Wimbledon 2006 yang berlanjut dengan Wimbledon 2008, menegaskan bahwa genius ada banyak bentuknya. Mengutip Wallace, laga itu adalah pertemuan antara machoisme yang meledak-ledak ala Eropa Selatan dan kerumitan artistik Eropa Utara.
Jika Nadal adalah Dionysius--sang dewa anggur dan kemeriahan pesta, Federer adalah Apollo, dewa matahari dan pelindung para pemusik, penyair, dan penyembuh. Bila pukulan Nadal serupa tebasan golok para pendekar, pukulan Federer ibarat sayatan pisau bedah dokter ternama.
Tak heran jika sesi jumpa pers usai laga pertama Nadal dan Federer di Jepang Terbuka berbeda. Ketika melakoni wawancara di Jepang Terbuka pertamanya pada 2006, Federer membuat entah berapa banyak orang terpesona kala membicarakan filosofi Zen, pepatah-pepatah Jepang, dan pengalaman bermain tenis di Istana Kaisar Jepang.
ADVERTISEMENT
Sementara pada Jepang Terbuka 2010, Nadal membuat seisi ruang media tergelak ketika ia meminta maaf serupa anak sekolah karena datang terlambat. Pun demikian ketika ia berbicara dengan polosnya bahwa ia tidak suka berbelanja.
Keceriaan tambah menjadi-jadi ketika Nadal bercerita dengan begitu fasih soal karakter Goku di komik Dragon Ball. Maklum, Goku adalah tokoh fiksi kesukaannya. Sejak itu, Nadal dikenal sebagai Goku-nya lapangan tenis.
Kegeniusan Federer adalah kegeniusan yang presisi. Untuk memahaminya kita hanya perlu memperhatikan sedetail apa ia bertanding.
Pada final Wimbledon 2006, Federer memasuki lapangan dengan memakai jas putih entah keluaran mana. Mungkin hanya Federer yang terlihat keren ketika memadukan celana putih Nike dengan jas putih lengkap dengan sepatu putih.
ADVERTISEMENT
Federer kalahkan Nishikori di perempat final Wimbledon. Foto: Reuters/Tony O'Brien
Federer tidak seperti kebanyakan petenis lain, termasuk Nadal. Ia tidak gemar menyuruh ball boy atau ball girl untuk mengurus perlengkapannya jelang laga. Usai pemanasan, ia tidak menyuruh mereka melipat handuk dan merapikan jasnya di kursi pemain.
Jas itu digantungnya sendiri di sandaran kursi sebelah kiri. Satu handuk ala Wimbledon yang hingga kini tak berganti rupa itu digantung di sandaran kursi sebelah kanan, sementara handuk yang satu lagi dilipat dan diletakkan dengan rapi di dudukan kursi yang sama. Di sebelah kursi penuh handuk tadi, ia meletakkan tas olahraga dan raketnya secara berdampingan.
Di bidang lapangan lain Nadal sudah bersiap-siap. Ia berlari-lari kecil serupa petinju yang menunggu lawan di salah satu sudut ring. Meski sama-sama menggunakan kostum tenis keluaran Nike, jangan harap melihat Nadal memasuki lapangan dengan jas putih serupa Federer.
ADVERTISEMENT
Yang membalut tubuhnya ketika itu adalah jaket olahraga ala Nike. Ketika jaket itu dibuka, entah berapa banyak orang yang mendadak minder melihat otot bisep Nadal yang terawat sempurna.
Kecenderungan Federer untuk mengerjakan segala sesuatu dengan presisi itu muncul setiap kali ia hendak melakoni servis. Petenis Swiss ini selalu menempatkan bola tepat di celah berbentuk V di tenggorokan raket, tepat di bawah kepala.
Jika letaknya tidak pas, ia bakal menyesuaikan bola sampai tepat. Ritual itu dilakukannya dengan sangat cepat, tapi selalu, baik di set pertama maupun kedua. Sekali lagi kita patut bersyukur atas kedetailan Wallace memperhatikan gelagat Federer.
Nadal dan trofi Wimbledon 2008-nya. Foto: ADRIAN DENNIS / AFP
Jangan heran bila Federer piawai menempatkan bola dengan presisi lewat pukulan backhand dalam sudut sulit. Pukulan itu agung dan cantik, dilepaskan sambil membusungkan bagian depan tubuh yang mengingatkan kita akan bentuk kupu-kupu.
ADVERTISEMENT
Ritual servis Nadal lebih rumit dan panjang. Ia memulainya dengan menepukkan kaki kanan, kiri, lalu kanan ke raket. Setelahnya, sang ‘Raja Lapangan Tanah Liat’ akan menyingsingkan lengan baju kiri dan kanan, kemudian menekan hidung.
Salah besar jika mengira ia akan melepaskan pukulan servis setelahnya. Nadal masih akan menyelipkan rambut ke telinga kiri, lalu kembali menekan hidung, dan menyelipkan rambut ke telinga kanan. Setelahnya, baru ia melakoni servis.
Kedua lengan baju tadi akan tetap disingsingkan meski ia memakai kaus tanpa lengan, gestur menyelipkan rambut ke telinga itu tetap dilakukan walau rambutnya tak lagi panjang.
Entah apa pengaruh ritual itu terhadap kualitas servis Federer dan Nadal. Tapi, gelar genius adalah pengakuan akan superioritas untuk orang-orang yang hidup dalam ‘dunia berbeda’.
ADVERTISEMENT
Karenanya, seorang genius—apa pun bidangnya—hampir selalu berperilaku atau berpikir berbeda dengan orang kebanyakan. Mungkin karena itulah Federer dan Nadal tahan melakukan ritual servis tadi dari satu laga ke laga lain, dari tahun ke tahun.
Aksi Roger Federer di babak ketiga Wimbledon 2019. Foto: REUTERS/Tony O'Brien
Gelagat jelang laga dan ritual servis itu berbicara bahwa di tangan Nadal, tenis berubah menjadi candu akan kecepatan dan kekuatan yang meledak-ledak.
Bila ingatan sudah terpaku pada ekstase, kesadaranmu hilang. Otak akan memerintahkan tubuhmu untuk bergerak dan menghimpun segala daya untuk melahirkan kecepatan dan kekuatan tadi tanpa perintah dan aba-aba.
Barangkali yang terekam dalam memori Nadal, kegilaannya di atas lapangan tenis tidak akan muncul tanpa gerakan-gerakan tadi. Mungkin yang tertancap dalam benak Nadal, permainannya yang sanggup mengubah baseline menjadi benteng tempur tidak akan muncul jika satu gerakan saja lupa dikerjakan.
ADVERTISEMENT
Tenis ala Federer juga berbicara tentang kecepatan dan kekuatan. Tapi, kepresisian ibarat inti Bumi yang menjadi pusat dan memegang kendali atas segala aktivitasnya. Lewat kepresisiannya itu, Federer mengubah tenis yang penuh tatanan dan membosankan itu menjadi permainan modern yang mengesankan.
Nadal dan Federer adalah dua maestro jagat tenis. Keduanya adalah seniman yang mengayun raket. Jika Nadal adalah pelukis abstrak, Federer adalah pemahat realis.
Kegeniusan Federer dan Nadal memang berbeda rupa, tapi dibentuk oleh medium yang sama. Federer dan Nadal tidak seperti Maradona yang menghabiskan masa kecilnya sebagai anak bengal, yang berkenalan dengan sepak bola pertamanya di lingkungan kumuh Argentina. Baik Federer dan Nadal sama-sama berasal dari keluarga berada, sama-sama anak pebisnis.
ADVERTISEMENT
Nilai plusnya, dalam keluarga Nadal mengalir deras darah atlet. Pamannya petenis dan pesepak bola. Bahkan yang pesepak bola, Miguel Angel Nadal, bermain di Barcelona ketika Jose Mourinho masih menjabat sebagai asisten pelatih.
Gejolak itu justru muncul ketika keduanya sudah menggeluti tenis secara serius. Salah besar jika menyangka Federer yang acap tersenyum manis itu tak punya masalah emosional. Federer dikenal sebagai petenis tempramen ketika masih bermain di level junior.
Beruntung karena pelatihnya saat itu, Peter Carter, mampu membentuknya baik secara fisik, teknik, maupun emosional. Federer dibentuk menjadi wonderkid lewat tangan dingin Carter.
Namun, dunia Federer seperti runtuh pada 2002. Pelatih kesayangannya itu tewas akibat kecelakaan mobil ketika sedang berbulan madu di Afrika Selatan.
ADVERTISEMENT
"Begitu mendengar berita itu saya seperti kehilangan kendali. Saya berlari histeris ke jalanan dan menangis sejadi-jadinya," kenang Federer dalam wawancaranya bersama CNN.
Setelahnya Federer bangkit. Ia merengkuh gelar Wimbledon pertamanya pada 2003. Tak salah lagi, gelar itu dipersembahkannya untuk Carter. Dunia lantas mengenal Federer yang kini sudah menjuarai 20 gelar Grand Slam tunggal putra dengan delapan di antaranya diraih di Wimbledon.
Sementara, angin ribut dalam kehidupan Nadal muncul pada 2009. Dalam biografinya, Nadal bercerita bahwa dalam perjalanan pulang dari Australia Terbuka tahun itu, ia menerima kabar tak sedap.
Federer dan Nadal usai laga final gila Wimbledon 2008. Foto: RYAN PIERSE / POOL / AFP
Sang ayah mengabarkan via telepon bahwa ia dan ibunya akan bercerai. Nadal terdiam, menutup telepon, dan tak sekalipun bicara dengan orang tuanya dalam perjalanan pulang.
ADVERTISEMENT
Kenyataan itu begitu mengguncang Nadal. Kata rekan-rekan setimnya, Nadal tetap bisa bertanding dengan baik, tapi ia tak ubahnya seonggok robot. Semuanya berjalan otomatis, tapi kosong. Meski kemenangan demi kemenangan tetap diraih, timnya yakin sebentar lagi ia akan ambruk.
Dan benar saja, cedera menghantamnya bertubi-tubi dalam kurun tersebut. Yang terparah tentu cedera lutut yang memaksanya mengundurkan diri dari Wimbledon 2009 meski ia berstatus sebagai juara bertahan usai mengalahkan Federer di puncak.
"Krisis di keluarga ikut merusak tubuh dan jiwa saya. Yang buruk bukan cuma performa, tapi juga sikap saya. Saya depresi, dari hari ke hari kehilangan antusiasme," cerita Nadal.
Hanya, serupa Federer, dunia mengenal Nadal yang sekarang. Pemegang 18 gelar juara Grand Slam dengan 12 di antaranya direngkuh di atas lapangan tanah liat Roland Garros.
ADVERTISEMENT
***
Wimbledon yang agung itu kembali mempertemukan Federer dan Nadal di satu lapangan yang sama pada Jumat (12/7/2019). Kali ini, babak semifinal. Entah seperti apa jalannya duel, tak ada yang tahu siapa yang menutup pertandingan dengan tiket final.
Seperti apa pun jadinya, dunia menanti karena ini laga antara dua genius. Seperti kata Wallace, genius tidak bisa direplikasi, maka di atas lapangan tenis hanya ada satu Federer dan satu Nadal.