Roland Garros Bukan Tempat Pelarian bagi Barty dan Nadal

10 Juni 2019 17:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ashleigh Barty dan trofi Grand Slam pertamanya. Foto: CHRISTOPHE ARCHAMBAULT / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Ashleigh Barty dan trofi Grand Slam pertamanya. Foto: CHRISTOPHE ARCHAMBAULT / AFP
ADVERTISEMENT
Ashleigh Barty dan Rafael Nadal menutup Prancis Terbuka 2019 dengan memasuki dimensi baru.
ADVERTISEMENT
Nadal menyegel gelar juara Roland Garros-nya yang ke-12. Ia menjadi petenis pertama di dunia--baik pria maupun wanita--yang mengoleksi 12 gelar juara di satu seri Grand Slam.
Tapi, gelar juara Nadal tak cuma tentang status harum semerbak itu. Nadal menjadi petenis yang paling sering memenangi pertandingan Prancis Terbuka di era terbuka. Total, ada 93 kemenangan yang diraihnya.
Gelar juara yang diamankan usai mengalahkan Dominic Thiem itu juga menempatkan Nadal sebagai petenis yang paling sering menjuarai turnamen lapangan tanah liat di era terbuka, tepatnya sebanyak 59 kali.
Rafael Nadal merengkuh gelar Prancis Terbuka ke-12 usai mengalahkan Dominic Thiem di partai pemungkas. Foto: REUTERS/Benoit Tessier
Barty juga menutup Prancis Terbuka 2019 dengan rangkaian catatan. Ini menjadi gelar juara Grand Slam pertamanya di nomor tunggal putri kelas senior. Barty adalah kampiun di tunggal putri junior Wimbledon 2011.
ADVERTISEMENT
Barty pun merupakan petenis Australia pertama yang menduduki takhta juara Roland Garros setelah 1973. Ketika itu, Margaret Court membukukan namanya sebagai kampiun tunggal putri.
Keberhasilan Barty mengangkat trofi juara di atas lapangan tanah liat Roland Garros juga memuaskan dahaga Australia akan gelar juara Grand Slam di nomor tunggal. Samantha Stosur adalah petenis terakhir Australia sebelum Barty yang menjuarai Grand Slam, tepatnya pada Amerika Serikat Terbuka 2011.
Nadal dan Barty sama-sama datang ke Paris dengan cerita masing-masing. Setelah mengamankan gelar juara Roland Garros ke-11-nya pada 2018, Nadal berlaga di 12 turnamen sebelum Prancis Terbuka 2019.
Sayangnya, gelar sebagai petenis terbaik peringkat kedua tak banyak membantu Nadal merengkuh gelar juara berikutnya. Dari 12 turnamen itu, hanya dua yang berujung trofi.
ADVERTISEMENT
Bahkan Nadal mencicipi kekalahan dari Thiem di partai puncak Barcelona Terbuka 2019. Itu belum ditambah dengan cedera perut yang memaksanya mundur dari Paris Masters 2018.
Ashleigh Barty di final Prancis Terbuka 2019. Foto: Kenzo TRIBOUILLARD / AFP
Kekalahan demi kekalahan membuat Nadal tidak disebut sebagai petenis komplet. Sederhananya, ia cuma jago di lapangan tanah liat.
Barty memiliki kisah berbeda karena tak cuma berbicara tentang rangkaian kekalahan. Berhitung mundur, Barty pernah memutuskan untuk hiatus dari tenis setelah Amerika Serikat Terbuka 2014. Penyebabnya adalah depresi.
"Saya butuh waktu untuk memulihkan mental saya. Saya membutuhkannya lebih dari apa pun. Ini menjadi periode yang sangat sulit karena saya tidak dapat menikmati tenis seperti sebelumnya," jelas Barty kepada Charlie Eccleshare untuk wawancaranya bersama Telegraph.
ADVERTISEMENT
Di pengujung 2014 tadi, Barty terlempar ke peringkat 200 dunia di nomor tunggal putri. Peringkatnya di nomor ganda putri pun tak bagus, hanya 40 dunia. Keputusannya bulat. Rehat dari tenis, Barty menjajal dunia baru: Kriket.
Saat Barty menjauh dari tenis, saat itu pula ia menyadari bahwa tenis merupakan panggilan hidupnya. Dua tahun tak berlaga sebagai profesional, Barty memutuskan untuk kembali ke lapangan tenis pada 2016. Comeback Barty diwarnai dengan beberapa gelar juara--salah satunya, Miami Terbuka.
Ashleigh Barty di final tunggal putri Prancis Terbuka 2019. Foto: REUTERS/Vincent Kessler
Sudah bukan rahasia lagi jika gelar tunggal Grand Slam acap dipandang sebagai tolok ukur petenis kelas senior. Tak peduli sebanyak apa gelar juara tur ATP dan WTA, Grand Slam tetap menjadi primadona.
ADVERTISEMENT
Itulah sebabnya, trofi ganda putri AS Terbuka 2018 belum cukup untuk Barty. Ada banyak rekor yang bisa dipecahkan Barty dan Nadal jika menjadi kampiun di Roland Garros.
Terlebih, lapangan tanah liat ibarat rumah bagi Nadal. Ia bisa saja dikalahkan oleh petenis-petenis semenjana di lapangan keras atau rumput, tapi lain cerita jika bicara tanah liat.
Meski terdengar klise, Prancis Terbuka seperti menjadi pelarian bagi Barty dan Nadal akan tahun yang tak lengkap.
Roland Garros barangkali ibarat pintu gerbang yang mengantarkan Nadal dan Barty pada dunia lain. Dunia yang lepas dari hiruk-pikuk, kalis dari tuntutan, dan segala hal yang ingin dihindari.
Ada banyak hal buruk yang bisa saja terjadi ketika seseorang menjalani hidup sebagai petenis. Tapi, kematian karier adalah salah satu perkara paling menakutkan bagi petenis. Karena itu, sense of escape saja sudah cukup.
ADVERTISEMENT
Nadal dan Thiem usai laga final Prancis Terbuka 2019. Foto: Martin BUREAU / AFP
Namun, tenis tidak pernah melahirkan sense seperti itu bagi para pelakonnya. Lain cerita jika bicara soal para penggemarnya.
Bagi para petenis, setiap turnamen akan selalu melahirkan tuntutan dan deretan ancaman--mulai dari penampilan buruk, cedera, hukuman, hingga kekalahan. Semenyenangkan apa pun konsep sense of escape, itu semua tak berlaku bagi Nadal dan Barty.
Benar bahwa gelar juara Nadal di Roland Garros melimpah. Tapi, lawan-lawannya juga bukan petenis kacangan. Mulai dari David Goffin, Kei Nishikori, Roger Federer, hingga Thiem mesti dihajarnya dulu sebelum mengangkat trofi. Itu belum ditambah dengan tiga petenis non-unggulan yang siap mengulang apa yang dibuat Marco Cecchinato pada Novak Djokovic musim lalu.
Publik mungkin boleh menganggap Barty beruntung. Di antara seluruh lawannya, hanya Madison Keys yang tercatat sebagai unggulan. Tapi, tenis putri berbeda dengan tenis putra. Tenis putra sering melahirkan juara yang itu-itu melulu. Tidak demikian di tenis putri.
ADVERTISEMENT
Amanda Anisimova mencapai perempat final Prancis Terbuka 2019. Foto: Martin BUREAU / AFP
Lihatlah apa yang terjadi tahun ini. Simona Halep yang berstatus sebagai juara bertahan kalah melawan petenis non-unggulan berusia 17 tahun, Amanda Anisimova.
Bahkan di semifinal melawan Barty, Anisimova berhasil menunjukkan perlawanan impresif. Ia sempat tertinggal 0-5 dari Barty di set pertama. Alih-alih menyerah, Anisimova bangkit dan mampu menyamakan kedudukan menjadi 5-5. Atau, tengok lagi siapa lawan Barty di final: Marketa Vondrousova yang juga masih remaja.
Naomi Osaka yang masyhur itu saja kalah dari petenis peringkat 42 dunia, Katerina Siniakova, di babak ketiga. Padahal, Osaka datang dengan dua gelar juara Grand Slam di dua seri beruntun dan status peringkat satu dunia. Pun dengan legenda hidup, Serena Williams, yang kalah dua set langsung di babak kedua dari petenis peringkat 238 dunia, Karumi Nara.
ADVERTISEMENT
Hal-hal macam ini tentu tidak dapat membuat Prancis Terbuka sebagai pelarian bagi Nadal dan Barty. Yang ada, tuntutan demi tuntutan terus berdatangan begitu mereka sepakat untuk berlaga di Prancis Terbuka.
Rafael Nadal dan trofi Prancis Terbukanya. Foto: Martin BUREAU / AFP
Lirik yang ditulis Jarvis Cocker soal kehidupannya sebagai musisi: We can't escape, we're born to die, but I'm going to give it a real good try--menjadi cara paling logis bagi Barty dan Nadal untuk menyikapi Prancis Terbuka 2019.
Give it a real good try dilakoni sedapat-dapatnya oleh Nadal dan Barty. Nadal, misalnya, dalam pertandingan semifinal melawan Federer itu. Bicara catatan pertemuan, Nadal unggul dengan mengemas 23 kemenangan dalam 38 pertemuan.
Tapi, Nadal selalu kalah dari Federer dalam enam laga terakhir. Oke, lima--karena Nadal mengundurkan diri di pertemuan terakhir mereka di Indian Wells 2019. Tak ada istilah lambat panas bagi Nadal di laga itu. Tiga puluh delapan pertemuan sudah cukup baginya untuk memahami sehebat apa Federer.
ADVERTISEMENT
Nadal tampil beringas sejak awal pertandingan. Bahkan ia melawan angin kencang yang berkali-kali mengganggu. Hasilnya tak mengecewakan, Nadal membukukan keunggulan 3-0 di set pertama.
Pukulan backhand Federer adalah satu dari sekian hal baik yang lahir di atas lapangan tenis. Efektivitas, kecepatan, dan kekuatan menjadi satu, membentuk sebuhul pengertian tentang keindahan yang layak buat dipuja.
Federer dan Nadal usai laga semifinal tunggal putra Prancis Terbuka 2019. Foto: Philippe LOPEZ / AFP
Federer menggunakan pukulan yang demikian untuk menyerang Nadal. Federer terlihat berulang kali menyasar sisi forehand Nadal dengan lesakan backhand-nya. Beberapa kali pertahanan Nadal sempat jebol menghadapi manuver seperti ini.
Tapi, Nadal adalah Nadal. Alih-alih mati langkah, ia justru berkali-kali melesakkan pukulan backhand menyilang kepada Federer. Mata ganti mata, backhand ganti backhand.
Pun demikian dengan laga final melawan Thiem. Efektivitas first serve menjadi salah satu senjata bagi Nadal untuk mendulang poin. Dominasi itu ditambah dengan kecepatan footwork yang memampukannya menjangkau dan menyasar sudut-sudut sulit. Thiem memang sanggup memenangi set kedua. Tapi, Nadal menggila di set ketiga sehingga membuat Thiem sempat tertinggal 0-4.
ADVERTISEMENT
Perhitungan matang Nadal yang dibangunnya dalam sepersekian menit menghadirkan permainan yang tak cuma agresif, tapi penuh kejutan. Lihat-lihat lagi seperti apa pukulan voli yang berulang kali dilesakkan dari depan net. Atau bagaimana ia mencungkil bola dari depan net dan menempatkannya ke sudut yang tak diduga Thiem.
Segala hal yang ditunjukkan Nadal itu seperti bicara bahwa selama ini tak ada yang salah dengannya. Padahal, sebulan sebelum bertanding di Roland Garros, Nadal tak tahu pasti apakah ia bisa bermain atau tidak karena masih dalam pemulihan cedera.
Ashleigh Barty dan trofi Grand Slam pertamanya. Foto: Philippe LOPEZ / AFP
Sementara, Barty melakoni laga demi laga dengan stylish dan brutal sekaligus. Backhand slice-nya menjadi senjata yang begitu ampuh untuk membuat lawan tak berkutik. Di Prancis Terbuka 2019 ini, Barty sering bermain ofensif dengan backhand slice-nya itu.
ADVERTISEMENT
Kecepatan Barty memahami permainan lawan tentu menjadi modal brilian di setiap laga. Dalam wawancara usai laganya, Barty menjelaskan bahwa ia acap berhasil membaca arah gerak lawan atau ke arah mana lawan ingin menempatkan bola. Lewat pemahamannya itu ia berhasil menemukan area mana yang memungkinkan buat dieksploitasi.
Usai mengangkat trofi Prancis Terbuka, Barty dan Nadal memasuki dimensi baru dalam perjalanan mereka sebagai petenis profesional. Dimensi itu memberi mereka nama besar, rangkaian rekor, pamor, dan segala ganjaran yang pantas.
Tapi, seharusnya dimensi baru tadi lebih dari itu. Seharusnya gelar juara dan rekor itu bisa berfungsi sebagai serum yang menggenjot Barty dan Nadal untuk terus mendulang gelar, memantik hasrat untuk terus menjadi kejutan, dan menjadi alasan untuk tak stagnan. Kalaupun Barty dan Nadal tak dapat melarikan diri, kenapa tak menghadapi segala ancaman dan hal buruk itu dengan kegemilangan?
ADVERTISEMENT