Romelu Lukaku dan Perlawanan Terhadap Tengiknya Stereotip Rasialis

28 September 2017 12:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Colin Kaepernick (tengah) berlutut. (Foto: Reuters via USA Today Sports)
zoom-in-whitePerbesar
Colin Kaepernick (tengah) berlutut. (Foto: Reuters via USA Today Sports)
ADVERTISEMENT
Olahraga, apa pun itu, selalu bersifat politis dan barangsiapa yang mengatakan sebaliknya adalah orang-orang yang entah naif atau beruntung. Naif karena, well, belumkah Anda melihat bukti yang seabreg itu? Beruntung karena mungkin, mereka selama ini masih melihat olahraga sebagai sebuah aktivitas mengolah raga semata.
ADVERTISEMENT
Ketika tahun lalu Colin Kaepernick—disusul oleh Megan Rapinoe tak lama kemudian—memilih untuk berlutut tatkala The Star-Spangled Banner dikumandangkan, sang quarterback mendadak menjadi seorang "martir". Dalam artian, kariernya "dibunuh" oleh olahraga yang membesarkan namanya.
Kini, kurang lebih setahun setelah Kaepernick pertama kali melakukan itu, berlutut kala lagu kebangsaan Amerika Serikat berkumandang telah berubah menjadi sebuah norma. Siapa pun yang menolak untuk melakukannya lantas direduksi menjadi label-label tertentu, mulai dari konservatif sampai fasis. Dan ini sama sekali tidak salah.
Apa yang diinisiasi oleh Kaepernick itu merupakan sebuah protes terhadap ketidakadilan sosial yang diterima oleh orang-orang kulit hitam maupun kelompok minoritas lain di Amerika sana. Aksi itu kemudian berubah menjadi sebuah norma ketika Donald Trump justru mengata-ngatai mereka yang melakukannya dengan sebutan "haram jadah". Alasannya, karena para pemrotes itu dianggap merendahkan lambang negara.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Trump itu pada akhirnya membuat dia menjadi musuh bersama dan keberadaan musuh bersama inilah yang lalu membuat aksi ini tersebar. Tak hanya di olahraga, tetapi sampai ke ranah lainnya.
Tagar #TakeAKnee bertebaran di jagat maya. Selain itu, dukungan pun mengalir dari banyak orang, termasuk para veteran Perang Dunia II yang usianya sudah nyaris seabad. Hasilnya, siapa pun yang berlutut kemudian menjadi orang-orang di "sisi sejarah yang benar".
***
Ketika ukuran penis seorang Romelu Lukaku dikumandangkan dengan penuh tawa oleh para suporter Manchester United, mereka tidak sadar bahwa dengan begitu, mereka sudah melanggengkan sebuah momok bernama rasialisme.
Sepintas, ode itu memang tidak terdengar "berbahaya" dan bisa dengan mudah disebut sebagai sebuah banter. Namun, ada stereotip yang kelewat banal di sana; bahwa seorang pria keturunan Afrika, apalagi yang bertubuh sebesar Romelu Lukaku, pasti memiliki ukuran penis raksasa.
ADVERTISEMENT
Mereka yang menyanyikan lagu untuk Lukaku ini sebenarnya bisa dengan mudah berdalih bahwa apa yang mereka kumandangkan itu adalah pujian. Lebih tepatnya, pujian untuk superioritas tubuh sang bomber. Namun, sekali lagi: stereotip adalah stereotip dan itu tidak bisa dibenarkan. Apa pun etnisnya, apa pun kelompoknya.
Lukaku diadang dua pemain CSKA. (Foto: Reuters/Maxim Shemetov)
zoom-in-whitePerbesar
Lukaku diadang dua pemain CSKA. (Foto: Reuters/Maxim Shemetov)
Dari sini, nama Lukaku, seperti halnya Kaepernick di National Football League sana, berubah menjadi sebuah wacana politik. Celakanya, hal ini justru seperti menutupi prestasi riil Lukaku di atas lapangan. Publik bisa dengan mudah mengabaikan bahwa dia sudah mencetak 10 gol dari sembilan pertandingan untuk Manchester United dan terus mengapungkan kontroversi ini.
Sialnya lagi untuk Lukaku, ini bukanlah untuk pertama kali dia menjadi korban dari stereotip macam ini. Sejak dulu hingga sekarang, banyak orang yang punya persepsi bahwa pemuda 24 tahun ini adalah sosok pesepak bola yang "kuat tetapi tidak terlalu cerdas". Stereotip semacam ini adalah "konsekuensi" dari asal muasal dirinya yang punya darah Afrika dan kebetulan, bertubuh besar.
ADVERTISEMENT
Faktanya adalah, Lukaku memang sosok yang kuat. Dengan mudah, dia bisa memenangi duel-duel fisik dengan para pemain belakang lawan. Bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga soal ketangkasannya dalam bergerak. Singkat kata, Lukaku dianggap sebagai seorang pemain yang hanya mengandalkan kekuatan fisik untuk mencetak gol.
Hal ini lantas "diperparah" oleh dua kekurangan yang sangat kentara dari permainan Lukaku, yakni kontrol bola serta kualitas umpannya. Dalam dua hal ini, kualitas pria kelahiran Antwerp ini memang boleh dibilang ada di bawah, katakanlah, Zlatan Ibrahimovic.
Romelu Lukaku melakukan selebrasi. (Foto: Reuters/Tony O'Brien)
zoom-in-whitePerbesar
Romelu Lukaku melakukan selebrasi. (Foto: Reuters/Tony O'Brien)
Akan tetapi, kebanyakan orang kemudian berhenti sampai di situ. Dari situ, definisi seorang Lukaku pun tereduksi menjadi "seorang penyerang yang kuat". Titik.
Orang lupa, atau mungkin tidak mau tahu, bahwa Lukaku bisa berbicara enam bahasa. Atau bahwa sang penyerang adalah lulusan universitas. Atau fakta lain bahwa salah satu "hobi" seorang Lukaku adalah menghabiskan waktu berjam-jam untuk menganalisis pergerakan pemain bertahan lawan. Hal-hal semacam ini senantiasa luput dari pandangan orang karena stereotip untuk pemain berkulit hitam sudah telanjur melekat sedemikian rupa, sehingga untuk melihat melewati tabir itu sulitnya setengah mampus.
ADVERTISEMENT
Syukurnya, tidak semua orang begitu. Roberto Martinez, mantan pengasuhnya di Everton, pernah berucap bahwa Lukaku punya kemampuan analisis seperti seorang manajer. Kemudian, ketika pertama kali didatangkan Manchester United, wakil kapten "Iblis Merah", Antonio Valencia, juga sudah memuji habis kecerdasan pemain yang dibesarkan Anderlecht ini.
Di sepak bola modern yang serba rumit ini, kecerdasan memang mutlak dimiliki oleh pemain mana pun, mulai dari kiper sampai penyerang. Anda tentu ingat bagaimana Simon Mignolet memutuskan untuk menendang bola kiriman seorang pemain Leicester City, padahal di depannya kala itu Jamie Vardy sudah menerjang dan di situasi itu, seharusnya sang kiper lebih baik memegang bola dengan tangannya saja?
Di pertandingan pekan keenam Premier League itu, Mignolet akhirnya diputus bersalah melanggar Vardy karena sepakannya justru mengenai kaki sang penyerang dan akhirnya, penalti pun diberikan wasit untuk Leicester. Namun, tak ada orang yang mengkritik intelijensia seorang Mignolet padahal jelas-jelas, apa yang dilakukannya itu begitu pandir.
ADVERTISEMENT
Romelu Lukaku di laga melawan West Ham. (Foto: Reuters/Jason Cairnduff)
zoom-in-whitePerbesar
Romelu Lukaku di laga melawan West Ham. (Foto: Reuters/Jason Cairnduff)
Lukaku, sementara itu, di usia yang baru 24 tahun, sudah berhasil melewati rekor gol Zlatan Ibrahimovic di usia yang sama. Ini adalah sebuah prestasi yang tak mungkin datang begitu saja dari kemampuan fisik semata. Dengan kecerdasan para pemain belakang yang juga meningkat, Lukaku tak punya pilihan lain selain mengalahkan kecerdasan mereka. Dibantu dengan kekuatan fisik yang mumpuni, jadilah Romelu Lukaku momok di kotak penalti yang sempurna.
Hal ini sebenarnya juga menimpa karibnya, Paul Pogba, alias Agent P yang berjasa mendatangkan Lukaku ke United. Oleh khalayak, Pogba jarang sekali dianggap sebagai sosok yang skillful lagi cerdas. Padahal, sudah tak terhitung berapa kali dia membuktikan bahwa dia lebih dari sekadar "kecepatan dan kekuatan". Tak hanya di United, tetapi juga sebelumnya bersama Juventus.
ADVERTISEMENT
Sialnya, hal-hal seperti ini memang seperti sulit sekali dijejalkan ke benak-benak yang sudah kadung terpikat oleh romantisme stereotip yang salah kaprah. Namun, jika ada satu hal "positif" dari sini tentu saja munculnya perlawanan terhadap kelaziman stereotip itu sendiri. Di sinilah kemudian sepak bola, seperti olahraga lainnya, menjadi politis.
Seperti kata agen Lukaku dan Pogba, Mino Raiola, hal ini sebenarnya agak disayangkan karena prestasi dari seorang pemain kemudian tertutupi oleh keberadaan wacana politis ini. Akan tetapi, selama ketidakadilan itu masih ada, apa pun bentuknya, keberadaan wacana semacam ini bakal terus ada dan kalau bisa, terus dipertahankan retensinya.