Sepak Bola di Antara Dua Pilihan: Teknologi Garis Gawang atau VAR?

28 November 2017 17:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
VAR di Bundesliga (Foto: AFP/Christof Stache)
zoom-in-whitePerbesar
VAR di Bundesliga (Foto: AFP/Christof Stache)
ADVERTISEMENT
Dalam esainya di Nature tahun 2013 silam, Nic Fleming menyebutkan bahwa penerapan teknologi dalam olahraga, khususnya sepak bola, akan berujung pada pembohongan massal. Di situ, Fleming memang terdengar berlebihan meski sebetulnya, dia punya dasar argumen kuat.
ADVERTISEMENT
Dia menyebut contoh di olahraga kriket di mana sistem Hawk-Eye sebelumnya telah digunakan. Di situ, rupanya masih ada kesalahan, atau lebih tepatnya ketidakpastian, yang tercipta. Padahal, ketika Premier League memutuskan untuk menggunakan teknologi garis gawang mulai musim 2013/14, bos Premier League, Richard Scudamore, menyatakan bahwa hasil dari teknologi ini tak terbantahkan.
Fleming kemudian berargumen lebih jauh. Dalam sistem Hawk-Eye (sistem milik Premier League), klaim akurasi yang berani mereka ungkap adalah 6 milimeter. Sedangkan, untuk GoalControl (sistem milik Piala Dunia), akurasinya adalah 5 milimeter. Padahal, IFAB selaku badan yang berwenang untuk membuat aturan dalam sepak bola sudah menetapkan tingkat akurasi sebesar 3 milimeter. Selain itu, keraguan Fleming pun makin menjadi ketika IFAB pada akhirnya menolak untuk merilis hasil tes untuk kedua penyedia jasa itu.
ADVERTISEMENT
Dari situ, Fleming kemudian menyebutkan bahwa dengan adanya intransparansi semacam itu, hasil yang ditunjukkan penyedia teknologi pun bisa saja dimanipulasi. Masalahnya, dalam bukti itu, ada perubahan dari tiga dimensi ke dua dimensi. Dengan begitu, selisih-selisih yang ada pun bisa saja dibuat sedemikian rupa sehingga hasilnya menjadi hitam-putih: masuk atau tidak.
Dalam esainya tersebut, pada dasarnya Fleming berargumen bahwa penggunaan teknologi, khususnya teknologi garis gawang, dalam sepak bola akan membuat para fans kehilangan kekritisannya, terutama terhadap ketidakpastian yang jadi sifat utama dari ilmu pengetahuan.
Perkara ketidakpastian itu kemudian mendapat tanggapan dari Roger Pielke Jr., seorang profesor di University of Colorado. Dalam esai bantahannya di The Guardian, Pielke menyatakan bahwa kekritisan akan ketidakpastian itu sebenarnya tidak akan pernah hilang. Di situ, dia memberikan contoh dari olahraga tenis di mana pada Prancis Terbuka 2013, Sergiy Stakhovsky mengambil foto jejak bola di lapangan tanah liat dan mengunggahnya di akun Twitter-nya. Di situ, Stakhovsky memprotes keputusan hakim garis yang menyebut bola sudah keluar.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan Stakhovsky itu kemudian mendapat respons dari sesama petenis. Di situ, para kolega petenis Ukraina itu juga berargumen. Dari kejadian tersebut, Pielke kemudian berargumen bahwa penggunaan teknologi sebenarnya takkan pernah menghilangkan kekritisan publik terhadap ketidakpastian dari keputusan-keputusan yang dibuat di dunia olahraga.
Adu argumen antara Nic Fleming dan Roger Pielke Jr. itu hanyalah satu dari beberapa hal yang kemudian menjadi dasar bagi pro dan kontra penggunaan teknologi di dalam sepak bola. Namun, tentu saja argumen yang beredar luas tidaklah sendakik-ndakik itu. Ada hal-hal yang punya urgensi lebih dibanding "sekadar" kekhawatiran akan ketakutan akan hilangnya rasa kritis publik akibat implementasi teknologi.
Tekknologi Foxtenn di Tenis. (Foto: AFP/Jean-Christophe Verhaegen)
zoom-in-whitePerbesar
Tekknologi Foxtenn di Tenis. (Foto: AFP/Jean-Christophe Verhaegen)
Di sini, kumparan akan berusaha untuk mendedah lebih jauh soal plus-minus penggunaan teknologi garis gawang serta teknologi Video Assistant Referee (VAR). Nantinya, di akhir tulisan, kami pun bakal memberikan rekomendasi.
ADVERTISEMENT
Teknologi Garis Gawang
Sesuai dengan namanya, teknologi garis gawang adalah teknologi yang digunakan untuk menentukan apakah bola sudah sepenuhnya melewati garis gawang atau belum. Jika sudah, maka wasit akan mengetahuinya lewat sinyal yang dikirimkan ke perangkat tangannya.
Teknologi ini sendiri mulai benar-benar digalakkan penggunaannya menyusul tidak disahkannya gol Frank Lampard ke gawang Jerman di Piala Dunia 2010. Sejak itu, teknologi ini pun sudah tak jadi pemandangan asing di kompetisi-kompetisi level top dunia.
Kelebihan utama teknologi garis gawang ini tentu saja adalah akurasinya, meski, seperti yang dikatakan Nic Fleming, ada intransparansi dalam proses pengujiannya. Akan tetapi, yang sering menjadi masalah dalam sepak bola adalah gol-gol yang tidak disahkan walau bola sudah jelas-jelas sudah melewati garis gawang sepenuhnya. Dengan teknologi garis gawang, hal semacam ini dijamin (hampir) 100% tidak akan terjadi lagi.
ADVERTISEMENT
Namun, teknologi ini punya dua kekurangan utama. Pertama, tentu saja biayanya yang mahal. Dengan pemasangan perangkat yang mencapai lebih dari Rp 4,5 miliar di tiap stadion, penggunaan teknologi ini jelas tidak realistis jika diterapkan di kompetisi-kompetisi seperti, katakanlah, Liga Indonesia.
Teknologi Garis Gawang (Foto: AFP/Yasuyoshi Chiba)
zoom-in-whitePerbesar
Teknologi Garis Gawang (Foto: AFP/Yasuyoshi Chiba)
Kekurangan pertama ini berkaitan erat dengan kekurangan kedua, yakni soal fungsi. Dengan fungsi yang terbatas, harga sekian tentunya tidak masuk akal. Apalagi, nantinya biaya pemasangan alat akan dibebankan kepada pihak klub. Jadi, teknologi garis gawang ini, meski akurat dan sangat membantu, masih terlalu eksklusif.
Video Assistant Referee (VAR)
Teknologi Video Assistant Referee (VAR) lahir karena adanya rasa tidak percaya terhadap ofisial pertandingan. Setidaknya seperti itulah yang terjadi di Italia. Mantan Presiden FIGC, Carlo Tavecchio, ketika menyatakan mundur dari jabatannya, sempat mengungkit hal ini sebagai salah satu jasa terbesarnya bagi persepakbolaan Italia.
ADVERTISEMENT
Menurut Tavecchio, entah benar atau tidak, dialah satu-satunya orang yang mengajukan proposal penggunaan teknologi ini kepada FIFA. Hal ini, diharapkan Tavecchio dapat menggerus citra kotor yang selama ini menodai Calcio.
Namun, tentu saja itu bukan satu-satunya dasar. Jika di Italia ada level ketidakpercayaan tinggi, di tempat-tempat lain, seperti Major League Soccer atau Bundesliga Jerman, penggunaan teknologi ini lebih kepada upaya preventif. Daripada nanti ada kontroversi, lebih baik ada teknologi ini untuk mencegahnya.
Nah, pada dasarnya, teknologi tayangan ulang seperti ini juga sudah digunakan di olahraga-olahraga lain sebelumnya, seperti American football. Di situ, teknologi ini berfungsi sebagai alat untuk menuntaskan ketidakyakinan.
Layar besar yang menampilkan VAR. (Foto: Carl Recine/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Layar besar yang menampilkan VAR. (Foto: Carl Recine/Reuters)
Adapun, kelebihan utama VAR adalah bahwa ia multifungsi. Artinya, teknologi ini pada dasarnya bisa digunakan untuk menyelesaikan sengketa dalam bentuk apa pun, entah itu masalah bola sudah masuk gawang atau belum sampai pada soal pelanggaran.
ADVERTISEMENT
Daniele De Rossi menjadi "korban" terakhir VAR saat dirinya dikartu merah pada laga Roma melawan Genoa akhir pekan lalu. Di situ, wasit sebenarnya tidak melihat kejadian di mana De Rossi menampar salah seorang pemain Genoa, tetapi berkat VAR, apa yang dilakukan kapten Roma itu kemudian bisa langsung ditindak dengan semestinya.
Selain itu, VAR juga lebih murah dibanding teknologi garis gawang. Hanya dengan biaya 2 juta euro dan pemasangan alat-alat yang tidak terlalu rumit, ia sudah bisa digunakan. Di Serie A, biaya ini malah sepenuhnya ditanggung pihak penyelenggara Liga.
Namun, sisi negatif VAR adalah bahwa pada akhirnya, ia memang hanyalah pembantu wasit. Artinya, di sini kinerja wasit justru tidak serta merta dimudahkan. Alih-alih begitu, wasit justru harus ditingkatkan lagi kinerja serta akuntabilitasnya karena dengan adanya VAR, intervensi terhadap sebuah pertandingan bakal semakin besar. Para wasit itu harus benar-benar ditatar supaya dalam penggunaannya nanti, mereka justru tidak merusak jalannya laga.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Ini adalah perkara prioritas dan tentu saja sumberdaya. Jika mampu, maka sebaiknya yang digunakan adalah keduanya. Akan tetapi, seperti halnya La Liga yang keberatan dengan biaya mahal teknologi garis gawang, maka VAR pun bisa menjadi solusi, meski hanya untuk sementara.