Setelah Asian Para Games 2018, Apa Lagi untuk Indonesia?

13 Oktober 2018 22:48 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana opening ceremony Asian Para Games 2018. (Foto: The Jakarta Post Images: Inapgoc/Dewi Nurcahyani/TJP)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana opening ceremony Asian Para Games 2018. (Foto: The Jakarta Post Images: Inapgoc/Dewi Nurcahyani/TJP)
ADVERTISEMENT
Asian Para Games 2018 sudah selesai. Dibuka pada Sabtu (6/10/2018), Asian Para Games edisi ketiga ini ditutup lewat closing ceremony pada Sabtu (13/10/2018). Indonesia mengumpulkan 135 medali yang bila diurai akan menjadi 37 emas, 47 perak, dan 51 perunggu.
ADVERTISEMENT
Namun, Asian Para Games berbeda dengan turnamen olahraga lainnya. Ini bukan sekadar turnamen tempat para atlet mendulang prestasi dan nama besar. Ia lebih dari sekadar ajang perebutan medali dan juara umum. Asian Para Games adalah corong bagi para difabel untuk bersuara. Menyampaikan nilai-nilai yang selama ini tak dilihat orang, memperdengarkan suara yang selama ini terbendung oleh stigma warga kelas dua atau kelas kesekian.
Asian Para Games memang baru dihelat tiga kali. Namun, bukan berarti ia tak menempuh jalan panjang. Berbicara tentang kelahirannya, mau tak mau kita harus menarik mundur jauh ke belakang, ke masa-masa saat dunia mengaduh dahsyat akibat Perang Dunia II.
Bila sudah sampai ke masa kelam itu, maka kita akan bertemu dengan Dr. Ludwig Guttmann, neurologis Yahudi kelahiran Jerman yang pada akhirnya mendapat suaka untuk tinggal di Inggris dan berkarya di Rumah Sakit Stoke Mandeville. Tugasnya berat minta ampun. Ia diminta untuk mendirikan dan membangun National Spinal Injuries Centre. Di unit itu, kebanyakan pasiennya merupakan tentara-tentara Inggris yang menjadi korban Perang Dunia II.
ADVERTISEMENT
Ludwig Guttmann dan atlet paralimpik di tahun 1968. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ludwig Guttmann dan atlet paralimpik di tahun 1968. (Foto: Wikimedia Commons)
Perjumpaan kita dengan Guttmann pada akhirnya akan mengakrabkan kita pada ide-ide gilanya. Ide yang dipandang sebagai ambisi tak masuk akal di mata para petinggi rumah sakit. Guttmann berbeda dengan mereka yang kukuh untuk merehabilitasi pasien difabel dengan berdiam diri, membatasi gerak mereka sedapat-dapatnya, dan menyembunyikan mereka dalam kehidupan sosial.
Yang menggelinjang dalam benak Guttmann, rehabilitasi bukan mengasingkan para pasien dari dunia luar. Yang berkecamuk dalam alam pikirnya, rehabilitasi tak sama dengan mengistirahatkan tubuh para pasien itu secara permanen. Apalah artinya selamat dari kematian dan kekejaman perang, bila mereka hidup terasing dan tak dapat menikmati kehidupan itu sendiri?
Lantas, sampailah Guttmann pada gelaran paralimpik pertama. Bukan turnamen megah, karena hanya digelar di Stoke Mandeville, sebuah desa di Aylesbury, Inggris. Bukan kompetisi sarat prestise karena hanya mempertandingkan panahan dan diikuti oleh 14 pria dan dua wanita yang merupakan pasien di unit rumah sakit yang ditanganinya itu.
ADVERTISEMENT
Namun, tak semuanya perlu menjadi besar sejak awal untuk dapat berdiri kokoh dan kuat. Dari gelaran sederhana itu, dunia berkenalan dengan Paralimpiade, FESPIC Games, dan pada akhirnya Asian Para Games.
Ke-135 medali yang dikumpulkan Indonesia itu hanya akan menjadi logam-logam yang bercerita soal keberhasilan masa lampau jika orang-orang memperlakukan Asian Para Games sebagai turnamen olahraga bagi para penyandang disabilitas belaka. Asian Para Games, Paralimpiade, dan turnamen-turnamen sejenis seharusnya tak menjadi klimaks apalagi epilog. Multiajang seperti ini seharusnya menjadi prolog untuk melahirkan aksesibilitas tinggi bagi para difabel.
Lantas yang menjadi pertanyaan, apa yang harus dilakukan Indonesia setelah gelaran ini berakhir?
Mengubah Paradigma
Sebelum sampai kepada apa yang harus dilakukan, memahami apa sebenarnya tujuan gelaran Asian Para Games menjadi pekerjaan utama. Dan untuk menuntaskan pekerjaan ini, orang-orang mesti paham menyoal nilai yang dipegang teguh oleh Asian Para Games.
ADVERTISEMENT
Multiajang ini hanya akan menjadi hura-hura tanpa makna bila tidak dapat bersuara lantang demi menyampaikan nilai-nilai yang mereka hidupi. Sebenarnya, tidak sulit untuk menemukan nilai-nilai tersebut dengan mesin pencari internet di laman resmi Komite Paralimpik Asia (APC). Yang menjadi pertanyaan, bagaimana mentransfer nilai-nilai tersebut supaya tetap hidup dan tak berhenti sebagai pelengkap organization profile belaka.
Dalam wawancara bersama kumparanSPORT, Presiden APC, Majid Rashed, menjelaskan, fokus utama Asian Para Games bukan raihan medali ataupun posisi di klasemen. Tapi, bagaimana mentransfer nilai-nilai tersebut supaya pesannya tersampaikan tidak hanya kepada para atlet difabel, tapi juga difabel lain dan masyarakat yang bukan difabel.
“Ada empat nilai yang dipegang oleh APC: keberanian (courage), determinasi (determination), kesetaraan (equality), dan inspirasi (inspiration). Nilai-nilai itulah yang menjadi dasar mengapa kami berkomitmen untuk tetap memberi ruang kompetisi kepada para difabel," jelas Rashed kepada kumparanSPORT.
ADVERTISEMENT
Presiden APC, Majid Rashed (dasi biru), Ketua INAPGOC, Raja Sapta Oktohari, di pembukaan Asian Para Games 2018. (Foto: The Jakarta Post Images/Erly BahtiarPhoto: INAPGOC/Arnold Simanjutak))
zoom-in-whitePerbesar
Presiden APC, Majid Rashed (dasi biru), Ketua INAPGOC, Raja Sapta Oktohari, di pembukaan Asian Para Games 2018. (Foto: The Jakarta Post Images/Erly BahtiarPhoto: INAPGOC/Arnold Simanjutak))
Mengutip Rashed, yang menjadi kunci untuk mentransfer nilai-nilai ini adalah perubahan paradigma. Nilai-nilai tadi sebenarnya mempunyai fungsi untuk menjelaskan kepada para difabel bahwa seperti apa pun kondisi fisik mereka, kesempatan untuk berprestasi dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Hanya, Rashed pun menyadari, mengubah paradigma bukan pekerjaan mudah dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
“Setiap negara punya kondisi masyarakat yang berbeda-beda. Bahkan setiap kota ditempati oleh orang-orang yang punya pola pikir general yang berbeda. Karena perbedaan ini, APC sadar bahwa kami butuh waktu untuk mentransfer nilai-nilai tadi dan mengubah paradigma mereka soal difabel. Di sisi lain, setiap difabel juga butuh waktu untuk mengubah pola pikir tentang diri mereka sendiri," jelas Rashed.
ADVERTISEMENT
“Kita semua tahu bahwa atlet sering menjadi representasi dari sekelompok masyarakat. Kita yakin bahwa atlet tidak hanya bertanding untuk diri sendiri atau tim, tapi juga untuk kita. Nah, atlet-atlet difabel juga seperti itu. Mereka adalah perwakilan bagi difabel lainnya.”
Asian Para Games menjadi bukti bahwa serupa orang-orang non-difabel, mereka juga punya tempat untuk berkompetisi. Difabel juga punya ‘tambang’ tempat mendulang prestasi. Sebelum APC dan Asian Para Games sudah ada Paralimpiade dan FESPIC Games. Kami beri akses pada mereka untuk melihat atlet-atlet lain yang sudah berprestasi di Paralimpiade dan FESPIC Games. Tujuannya supaya mereka paham: Wah, mereka saja bisa, tentu kami juga bisa.”
Ni Made Arianti Putri  (kiri), Endang Sari Sitorus (kanan) atlet lari Indonesia 100m nomor T13 di Asian Para Games 2018, Jakarta, Rabu (1010). (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ni Made Arianti Putri (kiri), Endang Sari Sitorus (kanan) atlet lari Indonesia 100m nomor T13 di Asian Para Games 2018, Jakarta, Rabu (1010). (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Upaya mentransfer nilai dan mengubah paradigma hanya akan menjadi wacana bila tidak dibarengi dengan perbuatan nyata. Karena pada dasarnya, paradigma terbentuk dan mengakar akibat melihat apa yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Difabel tidak akan paham bahwa sebenarnya posisi mereka setara bila mereka tidak pernah diperlakukan setara dengan orang lain. Artinya, bila orang-orang non-difabel punya kesempatan luas untuk hidup dengan kualitasi terbaik, maka kesempatan serupa juga harus menjadi milik para difabel.
“Yang tak kalah penting, tindakan nyata untuk tetap memberikan difabel kesempatan. Kita tidak bisa hanya bicara soal kesetaraan tanpa memberikan mereka peluang untuk membuktikan sendiri bahwa mereka memang setara.”
“Artinya, beri mereka kesempatan, tempat riil untuk bekerja dan terlibat dalam kehidupan masyarakat. APC menggelar Asian Para Games untuk menciptakan iklim kompetisi bagi para atlet. Mustahil seorang atlet dapat hidup dengan kualitas terbaik bila mereka tidak pernah berkompetisi. Atlet difabel pun seperti itu," ucap Rashed.
ADVERTISEMENT
“Kesetaraan tidak mungkin bisa terwujud bila difabel hanya dikurung, bila mereka tidak diberikan jalan untuk terjun ke masyarakat. Benar mereka butuh dibantu. Tapi, bukannya orang-orang yang tidak difabel juga butuh dibantu? Kalau begitu, sebenarnya sama saja 'kan?”
Perubahan paradigma yang diutarakan Rashed berarti memandang penyandang disabilitas tidak hanya berdasarkan rasa iba, tetapi lebih kepada kesamaan hak asasi manusia. Sebab, apa-apa yang dibangun atas rasa iba semata justru akan menghilangkan prinsip kesetaraan itu sendiri. Artinya, tak peduli seperti apa kondisi fisik para difabel, mereka tetap dipandang sebagai manusia-manusia mandiri dan produktif.
Media = Awareness
Waktu sering menjadi alasan yang digunakan untuk mewujudkan visi meningkatkan pemahaman menyoal kesetaraan antara difabel dan non-difabel. Benar bahwa mengubah pola pikir memang membutuhkan waktu, terlebih yang diubah adalah pola pikir kolektif.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan berarti tidak ada cara yang dapat digunakan untuk menggenjot upaya tersebut. Dan menurut Rashed, media menjadi salah satu senjata paling ampuh.
“Pola pikir dan cara pandang memang selalu menjadi persoalan. Yang disayangkan, persoalannya bukan hanya tentang pola pikir dan cara pandang para difabel, tapi masyarakat luas. Kalau kalian bertanya cara apa yang paling efektif untuk mengubah pola pikir seperti ini, maka jawabannya adalah media.”
“Barangkali seperti tidak ada hubungannya, tapi media mampu menjangkau dengan lebih luas dan cepat. Maka, yang harus dipikirkan oleh media adalah bagaimana mengubah sudut pandang orang-orang supaya mereka melihat pada kelebihan. Yang harus menjadi fokus di sepanjang kompetisi ini dan setelahnya adalah kemampuan mereka, bukan kekurangan mereka," tutur Rashed.
ADVERTISEMENT
“Setiap orang yang hidup punya kelebihan. Bila mereka melihat kelebihan itu dari para difabel, maka cara pandang orang-orang bisa berubah. Tak peduli kondisi fisik para difabel, mereka akan dipandang setara. Sebagai orang yang sama-sama punya kelebihan, kekuatan, dan semangat. Jangan mengasihani difabel, hargai mereka karena itu yang paling dibutuhkan."
Hendi Wirawan, raih emas dari cabor catur nomor individual standard VI putra di Asian Para Games 2018. (Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww/18.)
zoom-in-whitePerbesar
Hendi Wirawan, raih emas dari cabor catur nomor individual standard VI putra di Asian Para Games 2018. (Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww/18.)
Yang ditekankan Rashed, media punya tanggung jawab besar untuk meningkatkan awareness orang-orang terhadap kesetaraan difabel dan non-difabel. Apa yang diangkat dan bagaimana cara penyampaiannya perlu diperhatikan. Kalau bercerita soal atlet difabel, maka perlakukanlah mereka sebagai atlet. Kalau berkisah soal seniman difabel, maka perlakukanlah mereka sebagai seniman.
“Saya punya satu contoh yang mungkin bisa kalian pakai sebagai analogi. Saat media menampilkan saya yang merupakan pengguna kursi roda sedang berolahraga dan menambahkan musik liris, maka yang sampai kepada para penonton adalah keadaan saya menyedihkan.”
ADVERTISEMENT
“Tapi, lain cerita bila mereka menambahkan musik yang menghentak, menambah semangat, dan memotivasi. Yang akan sampai kepada penyaksi adalah: Hei, orang ini bersemangat sekali, ya.”
“Situasinya memang mirip saat kita mendengar musik. Musik-musik melankolis akan membuat kita feeling blue, musik-musik ceria akan membangkitkan mood kita. Dan saya mengapresiasi setiap usaha media di Indonesia untuk menyampaikan pesan itu," jelas Rashed.
Warisan Asian Para Games, Tanggung Jawab Indonesia
Akan menjadi kesalahan besar untuk menilai Asian Para Games 2018 hanya sebagai turnamen olahraga bagi para difabel. Bakal menjadi pemahaman yang keliru bila kita menganggap bahwa menggelar Asian Para Games 2018 sebagai pelengkap pengajuan Indonesia untuk menjadi tuan rumah Asian Games 2018 semata.
Asian Para Games 2018 seharusnya menjadi momentum untuk menciptakan Indonesia sebagai rumah yang ramah kepada para difabel. Artinya, kompetisi ini seharusnya memberikan warisan berupa kondisi aksesibel bagi para difabel.
ADVERTISEMENT
Mengutip jurnal yang berjudul 'Beyond Olympic Legacy: Understanding Paralympic Legacy through a Thematic Analysis' yang dirilis oleh Journal of Sport Management NASSM pada 2013, kemenangan di proses penawaran untuk menjadi negara penyelenggara multiajang seperti Paralimpiade ataupun Asian Para Games seharusnya lebih dipandang sebagai kesediaan untuk memikul tanggung jawab jangka panjang ketimbang prestise jangka pendek menggelar turnamen kelas kakap.
Menurut jurnal yang dikerjakan secara kolektif oleh Laura Misener, Simon Darcy, David Legg, dan Keith Gilbert ini, warisan tersebut harus menyentuh empat unsur: infrastruktur, olahraga, awareness, dan perubahan manajemen. Sedihnya, dalam jurnal ini dijelaskan bahwa banyak negara tidak menaruh perhatian khusus pada tanggung jawab ini.
Sederhananya, Asian Para Games 2018 tidak hanya soal menggelar multiajang yang dapat mengangkat citra negara, tapi lebih kepada mengubah negara (atau kota) menjadi tempat yang memberikan ruang yang cukup bagi para difabel.
ADVERTISEMENT
Transportasi penyandang disabilitas. (Foto: ANTARA/Aprilio Akbar)
zoom-in-whitePerbesar
Transportasi penyandang disabilitas. (Foto: ANTARA/Aprilio Akbar)
Terlebih, bila merangkum hasil wawancara kumparanSPORT kepada beberapa atlet Indonesia yang ikut ambil bagian di Asian Para Games 2018 ini pun, Indonesia belum bisa dibilang sebagai negara yang terbuka dan ramah kepada para difabel.
Ambil contoh hasil wawancara dengan atlet angkat besi, Ni Nengah Widiasih. Atlet asal Bali ini menilai bahwa transportasi di Jakarta sudah cukup aksesibel bagi para difabel. Namun, yang menjadi persoalan, difabel dan atlet difabel tidak hanya beraktivitas di Jakarta.
"Saya suka sedih kalau pulang ke Bali, hampir semua tempat susah kami (penyandang disabilitas) datangi. Saya juga tidak pernah naik transportasi umum macam bus di Bali, haltenya terlalu curam," kata Ni Nengah kepada kumparanSPORT.
“Walau pakai kursi roda, saya merasa seperti orang yang berjalan dengan kaki normal karena ke mana-mana akses bisa dilalui tanpa perlu bantuan. Ketika pulang ke Indonesia, saya suka sedih. Kapan negara saya seperti itu? Pasti (ketika fasilitas di Indonesia lengkap, red) kami menjadi orang difabel yang mandiri, yang tidak perlu mengajak orang lain ke mana-mana,".
ADVERTISEMENT
"Di Bali, setiap mau pergi ke suatu tempat, saya tanya dulu: Ada akses untuk wheelchair? No. Jadi, saya tidak bisa ke mana-mana. Saya merasa di kampung sendiri seperti orang asing karena butuh bantuan. Malah di negara orang saya merasa liar, seperti orang normal karena bisa pergi sendiri," imbuhnya.
Ni Nengah Widiasih peraih medali cabor angkat besi di Asian Para Games 2018. (Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
zoom-in-whitePerbesar
Ni Nengah Widiasih peraih medali cabor angkat besi di Asian Para Games 2018. (Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
Terpisah, komentar senada diberikan atlet tenis meja kawakan, David Jacobs. Lewat kacamatanya, David menilai akses disabilitas masih terbatas, khususnya bagi pengguna kursi roda.
“Fasilitas agak kurang khususnya untuk pengguna kursi roda. Aksesnya masih terbatas, tidak seperti di luar negeri. Tapi saya yakin dengan adanya Asian Para Games, Indonesia akan lebih siap. Harapannya di semua kota bisa lebih ramah disabilitas," ucap David kepada kumparanSPORT.
ADVERTISEMENT
Senada dengan David, Rashed pun menyampaikan optimismenya bahwa Indonesia tidak akan meninggalkan tanggung jawabnya untuk menjadi negara layak huni bagi para difabel. Apalagi, menurut Rashed, Asian Para Games 2018 seharusnya juga menjalankan fungsi transfer knowledge kepada pemerintah dan masyarakat untuk membentuk Indonesia sebagai negara ramah difabel.
“Saya pikir, APC melihat komitmen yang besar dari pemerintah kalian kepada difabel. Komitmen ini dimulai dari presiden kalian, Joko Widodo. Saya merasa seluruh pemerintah sedang berusaha untuk membuat kondisi yang aksesibel di segala aspek bagi para difabel.”
“Tapi kami juga percaya diri bahwa orang-orang di sini akan melanjutkan upaya ini. Yang saya perhatikan, orang-orang difabel di sini juga punya sikap yang menunjukkan bahwa mereka sudah menunggu hal macam ini sejak dulu. Masyarakat di sini akan melihat sendiri bahwa keikutsertaan difabel dalam sarana-sarana publik transportasi, akomodasi, dan fasilitas umum lainnya merupakan hal yang baik," jelas Rashed.
ADVERTISEMENT
Anggota Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Erwin, mengikuti Pawai Obor Asian Para Games 2018, di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (30/9). (Foto: Karina Nur Shabrina/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Anggota Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Erwin, mengikuti Pawai Obor Asian Para Games 2018, di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (30/9). (Foto: Karina Nur Shabrina/kumparan)
“Nah, tujuan kami datang ke Jakarta untuk menunjukkan apa-apa saja yang dibutuhkan untuk menggelar turnamen olahraga bagi para penyandang disabilitas -mulai dari venue, transportasi, akomodasi."
“Selama proses persiapan Asian Para Games, ‘kan ada transfer knowledge tentang seperti apa menjalankan turnamen difabel, termasuk soal kepelatihan, juri, ataupun peraturan-peraturan. Setelah ini seharusnya ada sejumlah lokakarya yang dapat membantu meningkatkan kualitas olahraga difabel. Sesuai perjanjian, ke depannya, harus banyak atlet-atlet difabel Indonesia yang bisa berkompetisi.”
“Akan ada prosedur ‘after the game’ berupa update kepada kami soal progres seusai turnamen. Mungkin bisa tentang penerapan undang-undang yang semakin mendukung disabilitas atau bahkan soal universal code yang ditetapkan. Saya bisa menjamin bahwa komitmen ini tidak akan berhenti sampai di Asian Para Games. Intinya, akan ada pembangunan yang berkelanjutan. Toh, pada dasarnya, memang itulah yang menjadi tujuan multiajang ini," tegas Rashed.
ADVERTISEMENT
Fasilitas Difabel. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Fasilitas Difabel. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Menjadi negara yang ramah difabel memang tidak bisa dipandang sebagai wacana semata karena kewajiban ini sudah diatur dalam undang-undang. Pada bagian Halaman Refleksi dalam penelitian LBH tahun 2015, disebutkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Convention on The Rights of Persons with Disabilities (CRDP) atau Konvensi Hak Penyandang Disabilitas ke dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011.
Dengan konvensi ini, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk merealisasikan hak-hak yang termuat dengan cara mengubah peraturan-peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, dan menjamin partispiasi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan macam pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olahraga, seni dan budaya, serta pemanfaatan teknologi, informasi, dan komunikasi.
Menjadi tuan rumah Asian Para Games memang tak boleh dipandang sebagai perkara sepele bagi negara mana pun, termasuk Indonesia. Di balik kemeriahan dan pekik-sorak perayaan gelar juaranya tertanam kewajiban untuk menjadi negara yang bertanggung jawab bagi para difabel.
ADVERTISEMENT
Asian Para Games 2018 boleh berakhir pada Sabtu (13/10), tapi tanggung jawab itu harus selalu dikerjakan oleh Indonesia. Asian Para Games lebih dari sekadar turnamen olahraga. Gelaran ini seharusnya menjadi momentum Indonesia untuk berbenah sehingga menjadi rumah yang ramah dan layak huni bagi para difabel.
====
*Simak pembahasan mengenai perhelatan Asian Para Games 2018 dan fasilitas publik untuk difabel di konten khusus “Ramah Difabel”.