news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Simonne Mathieu: Dari Grand Slam ke Perang Dunia II

28 Mei 2019 10:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Simonne Mathieu saat berlaga di Stade Roland Garros, 1934. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Simonne Mathieu saat berlaga di Stade Roland Garros, 1934. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
Ketika lapangan baru di Prancis Terbuka 2019 diberi nama Simonne Mathieu, orang-orang seperti diajak kembali menapaki jalan panjang di balik keabadian.
ADVERTISEMENT
Mathieu adalah petenis Prancis yang mengoleksi 13 gelar juara Grand Slam di sepanjang kariernya. Bila dibedah, ke-13 gelar itu akan menjadi: Dua tunggal putri Prancis Terbuka, enam ganda putri Prancis Terbuka, tiga ganda putri Wimbledon, dan dua ganda campuran AS Terbuka.
Namun, kelahiran tenis Mathieu tidak punya urusan apa-apa dengan perang melawan Nazi. Ia memilih untuk bermain tenis sejak 12 tahun karena kondisi fisiknya lemah. Saran medis menganjurkannya untuk berolahraga rutin demi meningkatkan daya tahan tubuh. Hanya, siapa pula yang menyangka bahwa tenis yang dipilih sebagai solusi medis itu mengantarkannya pada gelar juara Grand Slam?
Lapangan Simonne Mathieu di Stade Roland Garros. Foto: REUTERS/Vincent Kessler
Butuh enam kekalahan di enam laga final di Roland Garros sebelum Mathieu merengkuh gelar juara nomor tunggal putri Prancis Terbuka pertamanya pada 1938. Berhitung mundur, lima tahun sebelumnya ia sudah menjadi juara di sini, tapi di nomor ganda putri.
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian besar petenis, gelar juara nomor tunggal adalah perkara yang begitu penting. Itulah sebabnya, kebanyakan mereka yang sudah menjadi juara di nomor ganda tak akan puas begitu saja sebelum menyegel mahkota juara di laga satu lawan satu.
Tenis Mathieu yang besar di Prancis itu didewasakan oleh perjalanan. Dalam kurun kurang dari 15 tahun sejak 1925 hingga 1939, Mathieu sudah menjelajah hampir separuh dunia.
Jangan samakan situasi dulu dengan sekarang. Moda transportasi yang tak modern membikin Mathieu ‘tua’ di jalan. Ia bertanding dari satu kota ke kota, dari satu negeri ke negeri lain. Mulai dari Belgia, Italia, Belanda, Eropa Timur, Mesir, bahkan tempat antah berantah untuk ukuran orang Eropa sepertinya di Asia Tengah.
ADVERTISEMENT
“Saya sudah pergi ke mana-mana, kecuali Skandinavia, Hindia, dan Australia. Saya memiliki kehidupan yang hebat ketika bepergian jauh, diperlakukan selayaknya bangsawan,” ujar Mathieu.
Legenda tenis Prancis, Simonne Mathieu. Foto: Dok. Bibliothèque nationale de France
Saat Perang Dunia II meletus pada 1939, Mathieu sedang bertanding di New York. Tanpa pikir panjang, ia langsung angkat kaki dari turnamen itu. Mathieu mengundurkan diri, lantas buru-buru pulang ke Prancis.
10 Mei 1940, Jerman menginvasi Prancis. Berhitung mundur setahun sebelumnya, Adolf Hitler sudah menawarkan perdamaian kepada Inggris dan Prancis. Keduanya menolak, Pertempuran Prancis meletus.
26 Mei hingga 4 Juni 1940 digelar Evakuasi Dunkirk. Operasi ini dirancang ketika sejumlah besar tentara Britania, Prancis, Belgia, dan Kanada terjebak dan dikepung tentara Jerman saat Pertempuran Prancis.
ADVERTISEMENT
Yang terdengar setelahnya adalah pidato Winston Churchill, 'We shall fight on the beaches', yang masyhur itu. Penanda bahwa Evakuasi Dunkirk sukses, tapi perang belum berakhir.
Evakuasi Dunkirk 1940. Foto: Wikimedia
Setelah evakuasi itu, Hitler memerintahkan 10 divisi pansernya dan 133 divisi infantri ke arah Paris. Prancis cemas bukan kepalang. Mereka memang memiliki pasukan, tapi jelas tak ada apa-apanya dengan Jerman. Itu belum ditambah dengan terisolasinya divisi panser Prancis di Belgia Utara.
Pemerintah Prancis pada akhirnya meninggalkan Paris pada 10 Juni 1940. Perdana Menteri Prancis kala itu, Paul Reynaud, digantikan oleh Marsekal Petain. Seminggu berselang, Prancis menginginkan gencatan senjata. Permintaan itu dikabulkan empat hari setelahnya. Gencatan senjata dilakukan di hutan Compiegne, persis dalam gerbong kereta api yang pada 1918 digunakan sebagai tempat ketika delegasi Jerman meminta gencatan senjata kepada Prancis dan Inggris.
ADVERTISEMENT
Hitler tahu caranya membalas dendam. Ia memasuki gerbong bersejarah itu, duduk di kursi yang 22 tahun lalu digunakan oleh Marsekal Ferdinand Foch saat menerima Jerman yang kalah perang. Yang bergejolak dalam benak Hitler, ini adalah cara terbaik untuk membalas dendam sejarah yang beranak cucu.
“Prancis tidak sendirian! Dia tidak sendiri! Dia memiliki kerajaan besar di belakangnya! Bersama dengan Kerajaan Inggris, ia dapat membentuk blok yang mengendalikan laut dan melanjutkan perjuangan. Dia mungkin, seperti Inggris, memanfaatkan sumber daya industri Amerika Serikat yang tidak terbatas!”
Jenderal Charles De Gaulle (kiri) dan Simonne Mathieu (tengah). Foto: CENTRAL / AFP
London memanggil. Radio BBC menjadi saksi bisu yang menyiarkan seruan Jenderal Charles De Gaulle yang mengajak orang-orang Prancis untuk maju berperang itu.
Mathieu tak menutup telinga apalagi meringkuk di hadapan kengerian dan bayang-bayang kematian. Ia mendaftarkan diri ke Pasukan Pembebasan Prancis yang dibentuk pada 18 Juni 1940, yang dikenal dengan sebutan Appeal of 18 June.
ADVERTISEMENT
Perang bukan perkara yang kepalang menakutkan untuk Mathieu. Kalau penyakitnya bisa dilawan, kalau lawan-lawannya sudah pernah dihajarnya dalam laga satu lawan satu dan duel dua lawan dua, Nazi bentukan Hitler itu pun bisa dilawannya.
Pemimpin paham benar para petarung dalam pasukannya. Mathieu memang tak pernah mengangkat senjata sebelum perang meletus. Yang ia angkat adalah raket. Mathieu tidak pernah mengoperasikan tank, tidak pernah membombardir pasukan lawan dengan bom. Yang ia lakukan adalah melesakkan pukulan forehand, membukukan ace, dan mengganjar lawan dengan kekalahan di partai final.
Namun, Jenderal De Gaulle, tahu benar siapa Mathieu. Ia adalah wanita yang tanpa tedeng aling-aling menyebut lawan di setiap pertandingan sebagai musuh.
(Kiri ke kanan) Sarah Palfrey Fabyan, Alice Marble, French Simone Mathieu, dan Polish Jadwiga Jedrzejowska jelang laga final ganda putri Chestnut Hill 1938. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
Ia adalah petenis yang meninggalkan lapangan sesaat setelah laga tuntas dan menolak untuk berjabat tangan dengan wakil Jerman, Cilly Aussem, yang mengalahkannya pada semifinal Wimbledon 1931. Ia adalah ibu beranak dua yang membanting raket dan berteriak “Even this damned net is English!” di tengah laga Wimbledon 1936.
Barangkali ia mirip dengan Bjorn Borg masa muda sebelum berikrar kepada pelatihnya, Sven Lennart Bergelin, untuk meluapkan setiap kemarahan pada pukulannya. Mungkin ia serupa John McEnroe yang memaki penonton yang tak berangsur hening saat hendak melakoni servis.
Tanpa banyak negosiasi, Jenderal De Gaulle langsung memerintahkan Mathieu untuk membentuk pasukannya sendiri yang kelak bernama French Women’s Volunteer Corps. Mathieu yang berpangkat letnan menjadi komandan pasukannya.
ADVERTISEMENT
Perayaan Pembebasan Prancis 1944. Foto: Wikimedia
Ia diserahi tanggung jawab penuh untuk memilih wanita-wanita pemberani yang bersedia hidup di medan perang, menjadi kawan bagi desing peluru dan erangan para prajurit yang berhadap-hadapan dengan maut. Pasukan ini bertugas menjamin kebutuhan logistik pasukan Prancis.
Bukan tugas yang mudah. Bagaimanapun, logistik dibutuhkan untuk menjamin pasukan tak mati sebelum berperang. Bukan cerita yang jarang pula persediaan logistik diporak-porandakan sebelum operasi penundukan dilakukan.
Di sana tak ada Captain America yang mampu memukul mundur musuh dengan tiga-empat lemparan perisai. Yang ada di sana adalah Kapten Mathieu yang mati-matian menopang pasukan pembebasan sebelum ikut berbaris merayakan Pembebasan Prancis pada 26 Agustus 1944.
Nazi mundur, Hitler hidup dalam bayang-bayang kekalahan sebelum mati bunuh diri pada 30 April 1945. Perang hampir usai, tapi bagi Mathieu setiap hari adalah hari rindu. Hari untuk pulang ke lapangan tenis dan menyaksikan kemenangan yang lama tak direngkuhnya.
ADVERTISEMENT
Simonne Mathieu usai laga ekshibisi antara Henri Cochet dan Yvon Petra. Foto: AFP
Perang memang kurang ajar. Tak ada lagi Grand Slam untuk Mathieu setelahnya. Tapi, di atas lapangan tenis dulu ia menolak garis hidup yang dituliskan oleh nasib. Ia membangkang, melawan nasib, dan merengkuh kemenangan tanpa pernah mengangkat trofi.
Maka, kali ini Mathieu pun melakukan hal yang sama. Hanya karena tak lagi bisa berlaga, bukan berarti ia mesti berjauhan dengan tenis.
Pada 17 September 1944 digelar laga tenis pertama di Roland Garros usai perang. Ini pertandingan ekshibisi yang mempertemukan Henri Cochet dan Yvon Petra. Mathieu ada di sana lengkap dengan seragam Pasukan Pembebasan Prancis-nya.
Kapten Mathieu memimpin laga, menjadi umpire, mengesahkan kemenangan 6-1 6-2 yang direngkuh Petra atas Cochet yang berjuluk The Magician itu.
ADVERTISEMENT
***
Entah apa yang ada di benak Mathieu jika ia mengetahui trofi ganda putri Prancis Terbuka yang mengambil namanya itu ditulis dengan keliru.
Mereka bilang, Coupe Simone Mathieu. Padahal, nama depannya adalah Simonne, dengan dua huruf ‘N’. Kesalahan konyol yang membikin geleng-geleng kepala.
Namun, tak ada yang salah dengan segala cerita yang ditulis Mathieu lewat tenis, gelar juara, dan kegigihannya di medan perang. Rangkaian cerita itu membangun epik kolosal yang merasuk ke dalam lapangan tanah liat Court Simonne Mathieu di Roland Garros. Di sana ada Simonne yang benar, tanpa penulisan yang keliru: Dengan dua huruf 'N'.