Tokyo, I Hate You!

14 Maret 2019 10:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tokyo Marathon 2019. Foto: Dewi Rachmat Kusuma/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Tokyo Marathon 2019. Foto: Dewi Rachmat Kusuma/kumparan
ADVERTISEMENT
Aku benci bus kuning. Aku benci hujan. Aku benci Tokyo. Aku benci ketiganya hingga hari ini. Bus kuning membuyarkan impianku untuk menyelesaikan Full Marathon (FM) di Tokyo Marathon 2019. Hujan dan suhu di bawah 6 derajat celcius membuatku nyaris terkena hipotermia. Lalu, Tokyo seharusnya menjadi kota di mana aku meraih medali World Marathon Majors (WMM) pertamaku.
ADVERTISEMENT
Ya, kumparan menjadi salah satu runner dari Indonesia yang mendapat kesempatan merasakan lintasan sepanjang 42,2 kilometer di ibu kota Negeri Sakura. Keikutsertaan di kejuaraan marathon yang menjadi impian semua pelari ini pun sebenarnya seperti durian runtuh.
Aku telat mendaftar untuk mengikuti undian slot pelari Tokyo Marathon 2019 dan bertekad tidak melewatkannya tahun depan. Tapi seperti kata pepatah, jika rezeki tidak akan ke mana. Tawaran mengikuti Tokyo Marathon 2019 tiba-tiba datang dari produsen peralatan olahraga asal Jepang, Asics, November tahun lalu.
Tak perlu pikir panjang untuk menjawab tantangan itu. kumparan menyanggupi untuk menjadi satu-satunya media dari Indonesia yang mendapatkan kesempatan berlari bersama 38.000 runners dari seluruh dunia. Tentu saja, slot yang disiapkan untuk mengikuti kategori FM. Tanggal 3 Maret 2019, menjadi catatan sejarah.
ADVERTISEMENT
Untuk membuat percaya diri, sebelum Tokyo Marathon 2019, aku mencoba peruntungan mengikuti FM untuk kali pertama di Ho Chi Minh City (HCMC) Marathon, Januari 2019. Itung-itung, Vietnam menjadi ajang pemanasan atau simulasi sebelum terbang ke Tokyo kurang dari dua bulan kemudian.
Hasilnya tidak buruk-buruk amat. Untuk pelari yang pertama kali mengikuti FM, aku bisa menyentuh garis finish HCMC Marathon dengan catatan waktu 6 jam 20 menit. Padahal, manajemen race di ibu kota Vietnam itu amat sangat amburadul, masih jauh lebih baik di Indonesia. Belum lagi rute yang dilintasi jauh dari kata steril dan cuaca yang naudzubillah panasnya.
Dalam bayanganku, kondisi serupa sudah pasti tidak akan ditemui di Tokyo. WMM lebih terorganisir, lintasan steril, water station melimpah, dan tentu saja, cuaca yang lebih bersahabat atau cenderung dingin. Jadi seharusnya, mengikuti Tokyo Marathon 2019 tidak akan lebih berat daripada di HCMC Marathon.
Jurnalis kumparan Dewi Rachmat Kusuma di Tokyo Marathon 2019. Foto: Dewi Rachmat Kusuma/kumparan
Mengikuti dua FM dalam waktu tiga bulan juga tidak membuat keder. Toh, aku masuk kategori pelari keong dengan pace nyaman di kisaran 8. Minimal tetap berlari dan tidak jalan kaki. Jadi tubuh tidak perlu recovery layaknya pelari kencang macam pemegang rekor dunia FM Eliud Kipchoge atau pelari kebanggaan Indonesia, Agus Prayogo.
ADVERTISEMENT
Untuk mempersiapkan diri, aku tetap latihan seperti biasa. Minimal dua kali dalam sepekan, Sabtu-Minggu atau tergantung jadwal kerja. Hari Sabtu latihan ringan di area Monas lalu keesokan harinya longrun di car free day Thamrin-Sudirman-Senayan, dengan jarak lari rata-rata 15-20 kilometer. Jadi sekali program latihan, dua marathon masuk dalam target.
Pola makan juga tetap dijaga. Demikian juga dengan waktu istirahat. Kebetulan, aku tipikal orang yang tidak bisa melek malam atau suka begadang. Jadi, bisa tidur cepat. Kecuali kena jadwal jaga malam di kantor, baru tidurnya agak malam. Selebihnya, pukul 21.00-22.00 WIB, sudah tidak ingat apa-apa alias terlelap.
Jadi, aku benar-benar siap untuk berlaga di Tokyo Marathon 2019. Tidak ada masalah selama proses latihan atau pun setelah mengikuti HCMC Marathon. Aku pun berangkat ke Tokyo enam hari sebelum race dengan optimisme tinggi bisa menuntaskan FM kedua. Pantang pulang tanpa medali WMM!
Jurnalis kumparan Dewi Rachmat Kusuma di Tokyo Marathon 2019. Foto: Dewi Rachmat Kusuma/kumparan
Jujur, kesan pertama tiba di Tokyo rasanya langsung kurang bersahabat. Mungkin karena banyak keruwetan di kepala yang membuatku jadi tak santai.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, rangkaian ceremony sponsorship Asics pun aku jalani tanpa masalah termasuk ketika pertama kali mencoba jogging di Kota Tokyo di hari pertama. Ternyata sensasinya berbeda. Cuaca dingin justru membuat tenggorokan lebih cepat kering dan haus padahal baru berlari sekitar 1 kilometer. Atau bisa jadi itu efek kelelahan karena baru saja mendarat di Tokyo setelah penerbangan selama tujuh jam dari Jakarta. Tapi setidaknya 6 kilometer terlewati sebagai pemanasan. Tapi itu kesan dan menjadi catatan pertama untuk race di Tokyo Marathon 2019.
kumparan di Asics Front Runners, latihan menjelang Tokyo Marathon 2019. Foto: Dok. Asics
Selain cuaca, faktor lain yang membuat stres adalah masalah makanan. Aku penyuka makanan Jepang dan di sekitar hotel memang banyak restoran, namun semuanya mengandung pork. Aku belum sempat mengeksplorasi tempat makanan yang pas. Satu-satunya penyelamat adalah Onigiri yang dijual di Family Mart.
ADVERTISEMENT
Akumulasi dari kelelahan, faktor cuaca, adaptasi lingkungan, dan asupan makanan berujung stres. Jujur, aku sangat tidak nyaman menghadapi race di Tokyo Marathon. Ini sangat berbeda ketika pertama kali menjajal FM di HCMC Marathon, aku sangat menikmati semua prosesnya sebelum race.
Puncaknya, dua hari sebelum hari H atau hari pengambilan racepacak, demam dan flu berat menyerang. Badan terasa panas dan tenggorokan sakit. Aku bukan tipe orang yang suka minum obat jadi memang tidak mengantisipasi kondisi seperti ini. Tapi atas saran seorang kawan, akhirnya aku menguatkan diri mencari paracetamol, vitamin C, dengan harapan bisa fit saat race. Asupan buah juga menjadi menu utama. Aku juga lebih banyak beristirahat di kamar dan menyelesaikan sejumlah tulisan selama berada di Tokyo.
kumparan di Asics Front Runners, latihan menjelang Tokyo Marathon 2019. Foto: Dok. Asics
Meski dalam kondisi kurang bugar, optimisme menghadapi Tokyo Marathon tidak surut. Malam sebelum race, aku mempersiapkan semuanya dengan sempurna. Menyiapkan dua lembar baju, jaket, celana, memasang BIB, mengikat chip time di sepatu, tidak lupa energy gel masuk dalam waist bag.
ADVERTISEMENT
Catatan pace tiap lap (5K) dan strategi saat race nanti pun sudah masuk dalam chat WhatsApp (WA). Sudah khatam aku baca berulang-ulang untuk menjaga kecepatan tetap stabil. Pola ini sudah aku uji di HCMC dan terbukti bisa mengantar ke garis finish dengan setronggg.
Cuma ada satu yang kurang, tidak ada ponco (jas hujan) karena berpikir raincoat sudah cukup. Padahal, sejak aku tiba di Tokyo, hujan seolah enggan berhenti. Tidak terlintas sedikit pun dalam pikiran jika race bakal berlangsung dalam kondisi hujan deras dan angin kencang. Belakangan, ini menjadi salah satu penyesalan terbesarku.
Beres-beres ini cukup menyita waktu karena baru bisa tidur sekitar pukul 24.00. Meskipun race baru mulai pukul 09.00, tapi aku tetap memilih bangun pukul 05.00 untuk salat subuh dan bersiap-siap. Jadi otomatis hanya punya waktu istirahat lima jam. Menurutku, tak apalah, toh sebelumnya juga seperti itu.
Miss International 2017 yang juga Runner Up 1 Putri Indonesia 2017 Kevin Lilliana di Race Expo Tokyo Marathon 2019. Foto: Dewi Rachmat Kusuma/kumparan
Pukul 06.00 pagi, aku sudah sarapan dan menunggu rekan sesama ‘utusan’ Asics Indonesia, Miss International 2017, yang juga runner up 1 Putri Indonesia 2017 Kevin Lilliana.
ADVERTISEMENT
Nah, di sini masalah mulai muncul. Tiba-tiba aku mimisan dan tetesan darahnya cukup deras. Ini biasanya muncul jika aku stres berat dan tidak nyaman dengan lingkungan. Kondisi semakin berat karena di luar ternyata hujan deras disertai angin kencang. Lengkap lah, demam, mimisan dan hujan.
Tapi itu tidak membuat keder. Malah menjadi lebih bersemangat dan optimistis bisa menyelesaikan WMM pertama lalu pulang dengan medali.
Meski gemetar menahan dingin, kaki melangkah mantap menuju garis start tidak jauh dari hotel tempat menginap, tepatnya di Tokyo Metropolitan Government.
Tokyo Marathon 2019. Foto: Dewi Rachmat Kusuma/kumparan
Oh ya, aku ternyata mendapat slot start di Grup K atau kedua dari rombongan paling buncit. Ini pun baru ketahuan saat pengambilan racepack. Mungkin karena terlalu jujur menulis catatan waktu saat mengisi form data diri. Jadinya mendapatkan jatah start nyaris paling belakang. Tapi pikirku, tak masalah, toh Cut Off Time (COT) untuk FM tetap 7 jam dan optimistis finish tidak lebih buruk dari HCMC Marathon. Ternyata, belakangan ini menjadi boomerang.
ADVERTISEMENT
Berada di lautan 38.000 pelari dan start nyaris paling belakang, otomatis membuatku terjebak dalam rombongan besar. Alhasil, aku baru melintasi check point di nol kilometer pertama, 22 menit setelah gun time. Di bawah siraman hujan dengan suhu 6 derajat celsius disertai angin kencang, dengan mantap aku mulai berlari.
Tokyo Marathon 2019. Foto: Dewi Rachmat Kusuma/kumparan
Berebut lintasan dengan ribuan pelari lainnya, check point 5K aku lahap dengan catatan waktu 35 menit 46 detik. Sebenarnya, ini melanggar disiplin pace yang dipatok sejak awal yakni 40 menit untuk tiap lima kilometer. Setelahnya, aku lebih menjaga kecepatan mengingat masih ada 37 kilometer selanjutnya yang harus dilintasi.
Aku akhirnya menginjak check point 10K dengan catatan waktu 40 menit 58 detik. Ini adalah pace normal untuk FM seperti ketika pertama kali mencobanya di Vietnam. Bagi sebagian pelari terutama yang sudah khatam dengan beragam FM, ini mungkin sangat lambat. Tapi tak apalah, namanya juga pelari keong. Alon-alon yang penting stabil hingga finish dengan target tidak melebihi waktu COT.
Tokyo Marathon 2019. Foto: Dewi Rachmat Kusuma/kumparan
Selain pace, faktor lain yang harus aku perhatikan adalah kondisi cuaca Kota Tokyo yang terus diguyur hujan. Belum lagi angin kencang yang terasa menusuk tulang. Raincoat yang menjadi senjata utama menghadapi situasi ini, tidak berarti banyak.
ADVERTISEMENT
Di kilometer 15, seluruh pakaian dari hijab hingga sepatu sudah basah kuyup. Rasa dingin pun semakin menjadi-jadi. Untuk tetap hangat, bergerak menjadi pilihan satu-satunya. Saya menginjakkan kaki di check point 20K dengan total catatan waktu 3 jam 6 menit. Tidak terlalu buruk bukan?
Catatan waktu ini pula yang membuatku semakin bersemangat menyentuh garis finish di Tokyo Station, Gyoko-Dori Avenue. Tapi di kilometer ini pula perjuangan mulai terasa semakin berat karena hujan dan angin seolah enggan reda.
Aku sama sekali tidak mengalami masalah dengan kondisi fisik. Napas dan kekuatan kaki untuk tetap berlari masih normal. Tidak ada tanda-tanda kram. Satunya-satunya masalah adalah pakaian basah di tengah suhu di bawah 6 derajat. Jari kaki dan tangan seolah sudah mati rasa.
kumparan di Tokyo Marathon 2019. Foto: Dokumentasi: Pribadi
Dengan kondisi seperti itu pun, kecepatanku masih konsisten dan mencapai check point 25K dengan waktu 46 menit. Kondisi tubuh yang sudah menggigil kedinginan tak menghalangi untuk kembali melanjutkan perjuangan menuju kilometer 30. Alhamdulillah, aku menginjak check point dengan waktu 51 menit, jauh lebih lambat dari sebelumnya. Total waktu keseluruhan 4 jam 44 menit 37 detik. Hanya tersisa 12 kilometer lagi. Medali WMM pertama sudah di depan mata.
ADVERTISEMENT
Tapi sesungguhnya drama baru dimulai di kilometer ini. Menggigil dan tidak lagi bisa merasakan jari tangan serta kaki, tapi aku tetap fokus berlari. Dalam pikiran aku tanamkan, latihan berbulan-bulan harus terbayar tuntas.
Aku juga tidak memedulikan kondisi sekitarku, banyak pelari sudah memilih berjalan daripada mengayunkan kaki untuk tetap berlari.
Termasuk ketika dari arah belakang sebuah mobil dengan pengeras suara mengumumkan sesuatu. Aku cuek, toh aku tidak mengerti apa yang diumumkan karena menggunakan bahasa Jepang. Anehnya, semua pelari yang tadinya hanya berjalan kaki tiba-tiba berlari memacu kecepatan sekencang-kencangnya. Aku tetap cuek dan berlari dengan pace nyaman.
Tokyo Marathon 2019. Foto: Dewi Rachmat Kusuma/kumparan
Semua baru terjawab ketika tiba-tiba puluhan marshall Tokyo Marathon merangsek ke dalam lintasan dan menggiring semua pelari. Hingga detik itu, aku sama sekali belum mengerti telah melampaui check point untuk setiap lap. Baru setelah melihat iring-iringan bus berwarna kuning terlihat, aku sadar sudah gagal menyelesaikan Tokyo Marathon bersama ribuan pelari lainnya.
ADVERTISEMENT
Memasuki pintu bus kuning serasa langit runtuh. Bus yang sudah dipenuhi pelari seolah menjadi ruang penghakiman bagi mereka yang gagal. Aku cuma berdiri mematung dalam bus yang tidak henti-hentinya menyapu semua pelari di depannya.
Rasanya campur aduk. Sedih, kecewa, marah, merasa gagal, semua menjadi satu. Mimpiku meraih medali WMM pertama musnah. Tapi tak ada air mata, entah bagaimana aku meluapkannya.
Ketika diturunkan di area Medical Center, aku tetap tanpa ekspresi, termasuk ketika petugas menanyakan kondisi kesehatanku. Aku hanya menjawab, "I'm good, only need hot tea."
Rasanya tak percaya jauh-jauh dari Indonesia hanya untuk gagal di Tokyo Marathon yang notabene menjadi prioritas utamaku. Perjuanganku bangun jam 4 subuh tiap weekend seolah sirna dalam hitungan menit. Semua gara-gara bus kuning sialan ini.
ADVERTISEMENT
Aku masih sanggup berlari dan menyelesaikan 12 kilometer terakhir, tapi kenapa para marshall menggiringku keluar dari lintasan? Aku juga tidak mengalami kram atau kesulitan bernapas. Hanya kedinginan yang masih bisa diatasi dan itu tidak bisa menjadi alasan untuk berhenti.
Aku ingin marah, teriak, dan meluapkannya. Tapi pada siapa, saya sendiri di Tokyo. Rekanku, Kevin Liliana, sudah lebih dulu diangkut bus kuning di kilometer 15.
Tokyo Marathon 2019. Foto: Dewi Rachmat Kusuma/kumparan
Akhirnya aku memutuskan kembali ke hotel. Tak mau sedikit pun menengok lokasi garis finish. Itu membuatku sakit.
Tapi Tuhan Maha Baik. Aku yang sudah menggigil kedinginan menunggu taksi untuk pulang mendapat tawaran syal untuk sekadar menghangatkan leher. Awalnya saya menolak tapi warga Jepang itu memaksa dan memakaikannya. Rasanya sangat hangat dan sejenak mampu melupakan kegagalanku. Dia kemudian menyarankan untuk naik kereta saja daripada menunggu taksi yang tidak kunjung datang. Oiya, di Tokyo memang susah sekali mencari taksi, kalau pun ada, cukup lama dan tentu tarifnya selangit.
ADVERTISEMENT
Saya memutuskan mengikuti saran dari orang Jepang itu untuk naik kereta dan mencari makanan untuk menghangatkan badan. Sekali lagi. Tuhan Maha Baik, dalam perjalanan pulang di stasiun bawah tanah, aku berpapasan dengan Melanie Putria, Putri Indonesia 2002, dia ada di Tokyo untuk mendampingi pelari dari Pocari Sweat Team Indonesia.
Aku sontak menyapanya. Dia menoleh kaget, senyumnya langsung mengembang dan menanyakan saya kenapa? Finish atau tidak? Ketika tahu aku gagal dan diangkut bus kuning, tangannya langsung mengembang dan memelukku erat sekali. Ini yang aku butuhkan, pelukan orang yang benar-benar mengerti situasiku yang gagal menyelesaikan marathon.
Jurnalis kumparan Dewi Rachmat Kusuma (kanan) bersama Puteri Indonesia 2002 Melanie Putria di Tokyo Marathon 2019. Foto: Dok. Istimewa
Tanpa gengsi, langsung aku tumpahkan semua emosi dengan derai airmata dalam pelukannya. Tak peduli, dia tidak mengenalku secara pribadi atau sebaliknya. Perasaan sebagai sesama orang Indonesia, menyukai lari, dan perempuan menghapuskan jarak antara kami.
ADVERTISEMENT
Cukup lama dia meluangkan waktu untuk memelukku dan memberiku kesempatan meluapkan emosi yang sejak tadi tertahan. Dia juga membesarkan hatiku karena tetap dalam kondisi sehat dan tidak mengalami cedera di tengah cuaca Tokyo Marathon yang kurang bersahabat.
Melanie mencontohkan Zee zee Shahab yang terkena hipotermia dan dilarikan ke rumah sakit. Aku masih beruntung hanya gagal finish dan tetap bugar.
Ucapan Melanie ada benarnya. Ketika di Medical Center, sepertinya hanya aku yang tidak memiliki keluhan. Puluhan orang bergelimpangan di atas tempat tidur darurat dengan beragam ekspresi kesakitan atau pun gejala hipotermia.
Bagaimana jika sesuatu terjadi kepadaku dan sendirian di Tokyo? Siapa yang akan mengurusi segala keperluanku? Ini cukup membuatku bisa berbesar hati untuk saat itu.
ADVERTISEMENT
Akhirnya Melanie pamit sambil tetap menguatkanku untuk tidak larut dalam kegagalan marathon. Satu pesannya yang amat sangat melekat dalam kepalaku, masih banyak marathon lain menunggu, beruntung sekarang tidak terjadi apa-apa. Tetap dalam keadaan sehat dan bugar. Setelahnya, perasaanku menjadi lebih ringan. Beban yang tadi membuncah sedikitnya banyak terluapkan.
kumparan di Tokyo Marathon 2019. Foto: Dokumentasi: Pribadi
Tapi perasaan gundah kembali mendera ketika di dalam kereta dengan pakaian basah dan hanya berselimut plastik dengan aneka tulisan tentang Tokyo Marathon.
Fakta jika aku hanya mendapatkan selimut plastik tanpa medali ini sontak membuat sedih kembali mengiris hati.
Sesampainya di hotel, baju race yang sudah basah kulemparkan begitu saja, tak ada minat untuk merapikannya. Kutumpahkan semua kesedihanku dengan tangisan. Kuratapi kegagalanku. Kenapa aku harus gagal di event pemuncak? Ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya.
ADVERTISEMENT
Aku menatap rintik hujan dari balik jendela kamar yang seolah menertawakanku. Aku membencimu, geramku dalam hati.
Perlahan-lahan, suhu badanku mulai normal. Pikiranku juga sudah mulai jernih meski kepalaku masih terasa berat dan tenggorokan sakit.
Kuulang kembali semua memori persiapan menghadapi Tokyo Marathon. Tidak ada yang salah meskipun latihan hanya di akhir pekan, maklum namanya juga pelari kantoran.
Masalahku sebenarnya adalah sejak tiba di Tokyo. Mood-ku sudah tidak nyaman dengan kota ini dan berujung stres. Kelelahan secara mental membuat kondisi fisikku drop sehingga berujung demam dan radang tenggorokan.
Faktor lain yang mungkin berperan dalam kegagalanku adalah slot start di Grup K. Nyaris berada di grup paling belakang, aku sudah menghabiskan 22 menit waktu COP (Cut off Point) sejak gun time ditembakkan. Jika berada di kelompok agak di depan, aku optimistis tidak akan disapu bus kuning menyebalkan itu.
ADVERTISEMENT
Satu lagi, hujan sama sekali tidak masuk dalam skenarioku. Padahal, sejak tiba di Tokyo, hujan enggan reda. Seharusnya, aku tidak melupakan ponco. Padahal, saat di area expo, deretan ponco aku cuekin di saat runners lain sibuk memilih ukuran yang pas. Bodoh bukan?
Tokyo Marathon 2019. Foto: Dewi Rachmat Kusuma/kumparan
Tapi sudahlah, toh faktanya aku tetap gagal. Hanya jersey dan selimut plastik Tokyo Marathon yang bisa kubawa pulang. Medali? Ah itu jadi mimpi! Tapi jika ditawari untuk kembali mengikuti Tokyo Marathon tahun depan, jawaban aku hingga saat ini, TIDAK!!!
Aku masih trauma dengan Tokyo. Aku benci bus kuning. Aku berjanji tidak akan menaiki bus dengan warna serupa termasuk di Tanah Air. Kalau hujan, dari dulu aku tidak menyukainya. Mereka menyebalkan!!!.
ADVERTISEMENT