Tontowi Ahmad: Memulai dari Nol Bersama sang Junior

6 Maret 2019 18:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemain Bulu Tangkis, PB Djarum Tontowi Ahmad. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pemain Bulu Tangkis, PB Djarum Tontowi Ahmad. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Di usia 31 tahun, Tontowi Ahmad harus memulai semuanya dari awal lagi. Karena sudah tak ada sosok Liliyana Natsir sebagai mentor yang mengantarkannya merengkuh berbagai prestasi di sektor ganda campuran.
ADVERTISEMENT
Yang ada kini adalah Winny Oktavina Kandow dengan umur 11 tahun lebih muda. Bersama Winny, Tontowi harus merangkak dari posisi ke-265 per Februari 2019 lalu. Hingga kini, keduanya baru menduduki peringkat ke-165.
Tak ada waktu terlambat untuk memulai, meski Tontowi telah memasuki akhir kariernya. Toh, beberapa gelar bergengsi belum tertera di curriculum vitae suami dari Michelle Harminc itu.
***
Cerita bermula pada awal 2000-an. Sempat terbesit keinginan meninggalkan bulu tangkis di benak Tontowi ketika itu. Dia berencana menyeriusi pendidikan di tingkat perguruan tinggi dan melibatkan diri di dunia tepok bulu dengan lakon pelatih saja.
Dukungan orangtua mengubah pikiran Tontowi. Terlebih lagi, dia mendapatkan kesempatan masuk Persatuan Bulu Tangkis (PB) Djarum pada 2003. Masa depan cerah di depan mata karena klub yang bermarkas di Kudus itu kerap melahirkan bintang dunia macam Hariyanto Arbi serta Liem Swie King.
ADVERTISEMENT
Dikisahkan oleh Tontowi ketika pulang ke Kudus pada 2016 lalu, kepercayaan dirinya terdongkrak sejak bergabung dengan PB Djarum. Pasalnya, dia merengkuh berbagai gelar di level junior setelah gagal menjuarai turnamen di klub sebelumnya.
Kevin Sanjaya Sukamuljo, Tontowi Ahmad, dan Liliyana Natsir, bersama peserta Audisi PB Djarum di GOR Jati, Kudus, Jawa Tengah, Jumat (7/9). Foto: Aditia Rizki Nugraha/kumparan
Berbekal prestasi di berbagai ajang, Tontowi memberanikan diri untuk mengikuti seleksi nasional pada 2005. Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) sempat tak memilih pria kelahiran Banyumas itu, tetapi berkat lobi PB Djarum, Tontowi sukses merebut status pemain nasional.
Tak seperti ketika masuk PB Djarum, awal karier Tontowi di pelatas sempat mandek. Dia cuma berstatus sebagai pemain pelapis di sektor ganda campuran. Pasangannya pun berganti-ganti dari Greysia Polii, Shendy Puspa Irawati, Yulianti, sampai Richi Puspita Dili.
ADVERTISEMENT
Karena seperti pasangan ganda pada umumnya, chemistry adalah faktor utama. Tak cukup sekadar kualitas teknik dari masing-masing pemain. Dan, chemistry itu baru didapatkan Tontowi di tahun kelimanya bersama pelatnas.
Pada 2010, PBSI tengah mencari pendamping Liliyana Natsir karena Nova Widiyanto menginjak usia 35 tahun. Ada Fran Kurniawan, Muhammad Rijal, dan Devin Lahardi di daftar kandidat, tetapi Tontowi-lah yang terpilih.
Begitu klop Tontowi dengan Liliyana. Terlihat dari kiprah mereka di turnamen pertama. Keduanya sukses menggondol gelar juara Macau Terbuka 2010 setelah menumbangkan kompatriot di pelatas, Hendra Aprida Gunawan serta Vita Marissa, dengan skor 21-14 serta 21-18.
Tak butuh waktu lama bagi Owi/Butet --demikian mereka akrab disapa-- untuk menambah perolehan gelar. Sampai tahun keduanya, Owi/Butet merengkuh enam gelar juara BWF Grand Prix dan dua di BWF Superseries.
ADVERTISEMENT
Grafik Owi/Butet terus menanjak dengan menjuarai All England tiga edisi beruntun sejak 2012. Mereka menjadi wakil Indonesia terakhir yang menorehkan hat-trick di turnamen bulu tangkis tertua tersebut, sebelum Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo coba menyamainya di edisi 2019.
Di antara rentetan tersebut, Owi/Butet juga sempat mencapai salah satu puncak kariernya dengan memenangi Kejuaraan Dunia 2013 lewat kemenangan 21-13, 16-21, serta 22-20 atas Xu Chen/Ma Jin asal China di pertandingan final. Inilah kali pertama mereka merebut predikat juara dunia, sebelum mengulanginya pada edisi 2017 dengan mengalahkan Zheng Siwei/Chen Qingchen 15/21, 21-16, dan 21-15.
Kurun serupa, Owi/Butet juga menaklukkan turnamen BWF Super 1.000 lainnya, yakni China Terbuka. Mereka menumbangkan pasangan Denmark, Joachim Fischer Nielsen/Christina Pedersen, dengan skor 21-10, 5-21, dan 21-17 di partai puncak. Itu artinya, hanya Indonesia Open yang menjadi alpa keduanya di level Super 1.000.
ADVERTISEMENT
Namun, kesuksesan di Kejuaraan Dunia dan BWF Superseries bukanlah raihan tertinggi Owi/Butet. Puncaknya apa lagi kalau bukan raihan emas Olimpiade 2016. Prestasi menjadi semakin klimaks lantaran kemenangan atas wakil Malaysia, Chan Peng Soon/Goh Liu Ying, tercipta bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Tembang 'Indonesia Raya' pun berkumandang di Rio de Janeiro.
Dengan kesuksesan merebut medali emas Olimpiade, Owi/Butet tinggal melengkapi koleksi gelar yang belum pernah diraih. Termasuk bagaimana menaklukkan Istora Senayan dalam ajang Indonesia Open. Impian tersebut terwujud dengan dua kesuksesan beruntun pada edisi 2017 serta 2018.
Tinggal medali emas Asian Games yang belum pernah dimenangi Owi/Butet. Kesempatan terakhir di depan pendukung sendiri cuma berujung medali perunggu pada 2018 lalu.
ADVERTISEMENT
Kesempatan Liliyana tentu sudah habis seiring keputusan gantung raket, tetapi tidak dengan Tontowi. Masih ada beberapa tahun ke depan untuk melengkapi koleksi gelar dengan pasangan berbeda, yakni Winny.
Salah satu ekspresi kemenangan Tontowi ketika berduet dengan Butet. Foto: Istimewa.
Syaratnya, Tontowi harus mengambil alih peran mentor yang diemban Liliyana dulu. Karena Winny yang baru menit karier di bulu tangkis memang memerlukan banyak bimbingan.
Yang tak kalah penting adalah chemistry. Itulah target PBSI terhadap Tontowi/Winny dalam beberapa turnamen ke depan. Paling dekat yakni All England 2019, di mana Tontowi/Winny akan diadang Alfian Eko Prasetya/Marsheilla Gischa Islami di babak pertama.