Usai Asian Para Games, Jangan Bunuh Mimpi para Penyandang Disabilitas

4 Oktober 2018 11:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Transportasi penyandang disabilitas. (Foto: ANTARA/Aprilio Akbar)
zoom-in-whitePerbesar
Transportasi penyandang disabilitas. (Foto: ANTARA/Aprilio Akbar)
ADVERTISEMENT
Menganggap Asian Para Games 2018 sebagai kompetisi olahraga biasa adalah sebuah kesalahan. Sebab, pada dasarnya ia lebih dari itu. Asian Para Games adalah gong; sebuah momentum lahirnya Indonesia yang ramah terhadap disabilitas.
ADVERTISEMENT
Bicara keramahan terhadap penyandang disabilitas, Kota Surakarta (Solo) layak dikedepankan. Kota itu adalah negerinya para manusia hebat yang ditandai dengan keberadaan kantor pusat National Paralympic Committee (NPC).
Di Solo pula pernah digelar ASEAN Para Games 2011 yang diikuti 11 kontingen se-Asia Tenggara. Lingkupnya memang masih regional kala itu, tak seperti Asian Para Games 2018 yang diikuti 43 negara dan merupakan multievent disabilitas terbesar se-Asia.
Setelah Solo, kini Jakarta yang mendapat giliran jadi tuan rumah. Jakarta sendiri sebelumnya sudah dipercaya untuk menggelar Asian Games dan kini, Asian Para Games mampir ke ibu kota Indonesia tersebut.
Kedatangan Asian Para Games ke Jakarta disambut dengan berbagai respons. Ada yang tersenyum semringah mengikuti Pawai Obor, ada yang bersemangat memberikan masukannya soal venue, ada yang tak sabar menonton pertandingan 18 cabang olahraga (cabor) bersama rekan difabel lain.
ADVERTISEMENT
Dengan masifnya promosi Asian Para Games, para penyandang disabilitas itu lebih percaya diri. Mereka tak lagi menutup diri karena saat inilah terhampar panggung besar bagi mereka untuk tampil di depan publik.
Namun, sampai kapan kita, bangsa Indonesia, bisa menjaga momentum kebangkitan ini?
"Fasilitas khusus disabilitas jangan dihilangkan. Harus dipelihara, diteruskan, dan justru ditingkatkan. Kadang banyak yang sulit keluar karena kendala akses, itu pembunuhan hak. Kami punya hak untuk ke lapangan, melihat taman misalnya," ucap Purwadi, atlet Tim Nasional (Timnas) voli duduk Indonesia.
Ditemui di kawasan Senopati, Jakarta, Kamis (27/9/2018), bergulir kisahnya melawan kesenjangan di kehidupan sosial. Saat ini, ayah tiga anak itu fokus berkarier sebagai atlet. Dari profesinya itu juga, ia membawa pesan bahwa para difabel bisa berjuang, melakukan pekerjaan berat, hingga berprestasi.
ADVERTISEMENT
Sayang, belum ada fasilitas lengkap yang menunjang dan menjangkau disabilitas di seantero Tanah Air. Sehari-hari, pria asal Sragen, Jawa Tengah, itu menggunakan seperda motor sebagai transportasi untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Purwadi sendiri tidak memiliki satu kaki karena kecelakaan, sehingga tongkat menjadi andalannya untuk bergerak.
Presiden Joko Widodo Meninjau Venue Voli Asian Para Games 2018. (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo Meninjau Venue Voli Asian Para Games 2018. (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
"Banyak akses yang sudah bisa dijangkau, ada yang masih kurang, jadi tidak merata. Tapi, kalau di perkantoran dan gedung-gedung besar sudah mudah. Untuk transportasi saya pakai motor. Yang sulit itu pengguna kursi roda, kesulitan di trotoar," tutur Purwadi.
Dengan adanya Asian Para Games, Purwadi mengaku masyarakat kini lebih terbuka dan menerima para penyandang disabilitas. "Terasa bedanya, lebih welcome. Itu yang kami harapkan. Kesenjangan pasti ada, tapi jangan begitu mencolok," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
"Saya sangat terenyuh dan bangga, bangga dengan kondisi saat ini. Begitu terbuka lewat promosi di televisi. Dulu tidak ada. Tanding, tanding saja sendiri. Dengan adanya Asian Para Games, masyarakat lebih tahu dan menghargai kami."
"Generasi inilah yang paling spektakuler. Promosi luar biasa, bonus disamakan. Momen tuan rumah ini kebangkitan. Kalau bukan tuan rumah, mungkin tidak bakal seperti ini. Mohon dukungan dan kekompakan untuk menonton. Saya harap berbagai kalangan menyemangati kami," pesannya.
Terpisah, komentar senada diberikan atlet tenis meja kawakan, David Jacobs. Pria berdarah Ambon ini merupakan pegawai Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi DKI Jakarta. Lewat kacamatanya, David menilai akses disabilitas masih terbatas, khususnya bagi pengguna kursi roda.
Atlet tenis meja difabel David Jacobs (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Atlet tenis meja difabel David Jacobs (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Sementara, David yang di Asian Para Games turun di nomor tunggal putra dan ganda putra Kelas 10 (tingkat disabilitas paling ringan), mengaku tidak banyak kendala dengan kondisi tangan kanannya yang kecil.
ADVERTISEMENT
"Fasilitas agak kurang khususnya untuk pengguna kursi roda. Aksesnya masih terbatas, tidak seperti di luar negeri. Tapi saya yakin dengan adanya Asian Para Games, Indonesia akan lebih siap. Harapannya di semua kota bisa lebih ramah disabilitas," ucap David kepada kumparanSPORT.
"Kalau saya sendiri, sih, tidak ada, karena memang tingkat disabilitasnya paling rendah dalam artian tangan masih bisa beraktivitas. Khususnya untuk (pengguna) kursi roda atau yang jalannya susah, itu penting sekali fasilitas yang ramah," imbuhnya.
Lewat momentum Asian Para Games, David pun bercita-cita mengembangkan klub tenis meja K-18 Maestro miliknya menjadi wadah bagi atlet difabel muda berpotensi. Kepada masyarakat, David pun berpesan bahwa Asian Para Games 2018 yang ditutup 13 Oktober nanti bukan akhir, melainkan awal dari pijakan para penyandang disabilitas untuk menggapai mimpinya.
ADVERTISEMENT
"Kalau orang Solo lebih terbiasa, di sana banyak anak-anak disabilitas. Kalau di Jakarta kadang masih banyak yang aneh kalau melihat disabilitas. Yang pasti dengan adanya Asian Para Games, diharapkan anak-anak muda difabel jadi lebih berani tampil dan berprestasi," ujar David.
====
*Simak pembahasan mengenai perhelatan Asian Para Games 2018 dan fasilitas publik untuk difabel di konten khusus “Ramah Difabel”.