1.000 Remaja Perempuan Indonesia Menikah Setiap Hari

27 September 2017 16:08 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pernikahan (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pernikahan (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Pernikahan merupakan ikatan suci yang terjalin antara sepasang manusia. Biasanya, janji pernikahan diucapkan di depan penghulu dan disahkan oleh negara.
ADVERTISEMENT
Karena hanya berlangsung sekali seumur hidup, maka pernikahan bukanlah sesuatu yang boleh dipandang sebelah mata. Sebuah pernikahan haruslah dilandasi oleh rasa cinta dan komitmen yang kuat. Yang terpenting, dibutuhkan kematangan emosi dari kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Mulai dari faktor materi, fisik, hingga mental.
Di Indonesia sendiri, Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa perempuan baru diperbolehkan menikah setelah berusia di atas 16 tahun. Sedangkan untuk laki-laki berada di usia 19 tahun.
Sayangnya, fakta berkata lain.
Tahukah kamu, bahwa ada 1000 anak perempuan di Indonesia yang menikah setiap harinya? Fakta mengejutkan ini diungkap oleh UNICEF dan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia.
Media diskusi oleh Plan International (Foto: Stephanie Elia/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Media diskusi oleh Plan International (Foto: Stephanie Elia/kumparan)
ADVERTISEMENT
"Lima provinsi penyumbang angka pernikahan anak di bawah umur terbesar adalah Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Bangka belitung, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara," papar Rohika Kurniadi, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan, Keluarga, dan Lingkungan di Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, saat ditemui kumparan (kumparan.com) di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (27/9).
Berdasarkan data dari UNICEF, 1 dari 4 anak perempuan menikah di usia remaja. Jumlahnya hampir 1,3 juta dari 87 juta anak di dunia. Ironisnya, hal ini didukung oleh budaya dan pola pikir masyarakat yang salah: memandang pernikahan sebagai solusi untuk mengatasi masalah ekonomi yang menghimpit.
Padahal, pemikiran ini jelas salah. Menikah di usia muda justru memiliki dampak buruk bagi semua pihak, khususnya perempuan. Karena menikah di bawah usia 16 tahun sejatinya berisiko tinggi untuk perempuan.
ADVERTISEMENT
Pada tahap usia ini (bawah 16 tahun), perempuan belum memiliki kematangan dan kesiapan yang cukup untuk membina rumah tangga. Ia juga belum sepenuhnya paham soal betapa besarnya tanggung jawab yang harus dipikulnya sebagai seorang istri dan ibu dalam waktu bersamaan. Hal ini juga bisa berujung pada masalah kesehatan serius. Seperti gangguan reproduksi, gizi buruk, hingga masalah psikologis.
Sedih berkepanjangan adalah gejala baby blues (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Sedih berkepanjangan adalah gejala baby blues (Foto: Thinkstock)
"Kehamilan merupakan penyebab utama kematian anak perempuan usia 15-19 tahun. Ancaman kesehatan yang berakibat fatal ini terjadi karena remaja perempuan di bawah usia 18 tahun belum memiliki kesiapan fisik yang prima, baik dari stamina jantung, tekanan darah, atau organ reproduksinya," ungkap Dr. dr. Julianto Witjaksono, Sp.OG (KFER), seperti tertulis dalam siaran pers resmi PLAN International.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian jadi masalah yang jamak ditemui. Perkawinan di usia dini juga dianggap sebagai ujung pangkal terjadinya kemiskinan di Indonesia.
Karena dengan menikah, kesempatan perempuan untuk menempuh pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Atas dan universitas jadi terhambat. Tersingkirkan oleh tanggung jawabnya terhadap suami dan keluarga.
Ilustrasi pasangan menikah. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pasangan menikah. (Foto: Thinkstock)
Jika pendidikan terputus, makan kesempatan perempuan untuk berkarier juga sirna. Akibatnya, perempuan hanya bisa 'pasrah' dan bergantung pada suami. Hal ini secara otomatis membuat kondisi perekonomian keluarga semakin memburuk.
Parahnya, kasus ini tak hanya terjadi di daerah terpencil Indonesia, melainkan juga perkotaan besar.
"Kita tadinya dengan data BPS tadinya dipikir bahwa hanya perdesaan saja, tapi di kota juga (angkanya) meningkat. Nilai-nilai anak perkotaan ini juga yang perlu diedukasi dengan tepat mengenai pernikahan," sambung Rohika prihatin.
ADVERTISEMENT
Diakuinya, tak mudah mengentaskan permasalahan ini. Dibutuhkan kerjasama erat oleh berbagai pihak. Mulai dari melakukan edukasi pernikahan pada tingkat keluarga.
Keluarga dan anak perlu mengetahui berbagai bahaya yang mengintai jika memutuskan menikah pada usia remaja. Selain itu, pengaruh lingkungan sosial dan intervensi pemerintah juga memegang peranan penting.