Alamanda Shantika: Programmer yang Mendobrak Stigma dengan Prestasi

20 April 2018 18:31 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Alamanda Shantika (Foto: Dok. Ridho Robby & Muhammad Faisal Nu'man)
zoom-in-whitePerbesar
Alamanda Shantika (Foto: Dok. Ridho Robby & Muhammad Faisal Nu'man)
ADVERTISEMENT
Perempuan dan teknologi, suatu perpaduan yang dapat Anda temui pada sosok dara kelahiran 29 tahun, Alamanda Shantika.
ADVERTISEMENT
Kecintaannya pada dunia coding dan programming telah tumbuh sejak usia 14 tahun membuat perempuan yang akrab disapa Ala ini, terus berkiprah di bidang teknologi hingga saat ini.
Sosoknya pun mampu mendobrak stereotip yang kerap hinggap di masyarakat bahwa bidang teknologi adalah dunia yang begitu maskulin yang didominasi laki-laki. Melalui prestasinya Ala mampu meruntuhkan anggapan tersebut.
Ia memulai karier dengan membuat startup sendiri sejak usia 21 tahun dan kemudian sempat wara-wiri di berbagai perusahaan berbasis teknologi, hingga akhirnya turut membangun Go-Jek bersama Nadiem Makarim. Tak heran, ia berhasil menjabat sebagai Vice President, People's Journey-People and Culture di Go-Jek. Posisi yang ia pegang selama empat bulan terhitung dari Mei 2016 hingga September 2016 setelah sebelumnya menjabat sebagai Vice President, Technology Product selama setahun.
ADVERTISEMENT
Berada di puncak karier dengan perusahaan sekelas Go-Jek yang menyandang status unicorn startup dengan valuasi di atas US$ 1 miliar (sekitar Rp 13 triliun), tidak serta merta membuat Alamanda terlena begitu saja. Ia justru ingin memberikan kontribusi lebih bagi Indonesia, khususnya dalam dunia teknologi dan pendidikan.
Dengan tekad bulat, pada September 2016 lalu ia memutuskan untuk meninggalkan Go-Jek dan kemudian membangun sekolah programming Binar Academy. Sekolah yang berdiri sejak Maret 2017 ini memberikan sekolah gratis selama tiga bulan untuk melahirkan programmer berkualitas yang siap menghadapi dunia kerja.
Sosoknya yang menginspirasi dan merepresentasikan sosok Kartini masa kini, membuat kumparanSTYLE (kumparan.com) memilih Alamanda Shantika kedalam kompilasi kumparan Inspiring Woman Series. Mari simak obrolan kami dengan Alamanda Shantika.
Alamanda Shantika. (Foto: Instagram/@alamandas)
zoom-in-whitePerbesar
Alamanda Shantika. (Foto: Instagram/@alamandas)
Dunia teknologi merupakan bidang yang identik dengan laki-laki, tercatat belum banyak programmer perempuan yang ada di Indonesia saat ini. Bagaimana pada akhirnya Anda bisa terjun ke dunia teknologi dan membuat aplikasi Go-Jek?
ADVERTISEMENT
History-nya karena memang dari kecil saya orangnya ingin tahu segala sesuatu. Dulu saya tidak suka main boneka, sukanya mobil-mobilan karena bisa dibongkar. Lalu saat ada komputer di rumah dan internet mulai masuk ke Indonesia, saya mulai tertarik untuk bongkar komputer dan penasaran ingin tahu bagaimana cara membuat website. Alhasil sejak saat itu saya mulai tertarik dengan dunia teknologi.
Pada usia 14 tahun tersebut akhirnya saya mulai belajar coding, dan saat memasuki bangku kuliah saya sudah tidak ragu lagi dalam memilih jurusan, dunia teknologi pun menjadi pilihan saya berlabuh. Kebetulan saya menyukai pelajaran matematika, sehingga saya ambil gelar double degree.
Saya memulai karier dibidang teknologi dengan mendirikan startup pada saat berusia 21 tahun. Saya mendirikan e-commerce untuk brand fashion lokal Indonesia. That’s why saat ini saya juga punya beberapa perusahaan fashion yang related dengan industri fashion.
ADVERTISEMENT
Dari e-commerce yang saya dirikan tersebut kemudian berlanjut dengan membentuk 200 website dalam kurun waktu tiga tahun. Kemudian saya banting setir, untuk bekerja di perusahaan orang lain, karena saat itu saya merasa belum siap untuk benar-benar membangun perusahaan sendiri. Akhirnya saya bergabung di perusahaan yang berbasis teknologi seperti berrybenka.com, kartuku, hingga ke Go-Jek. Saat di kartuku saya bertemu Nadiem Makarim, kemudian ia keluar dari kartuku dan mengajak saya untuk membuat aplikasi Go-Jek. Sebenarnya pun saat masih bekerja di kartuku, pada malam harinya saya juga merangkap sebagai consultant di Go-Jek.
Apa benar ada ketimpangan antara programmer laki-laki dan perempuan? Mengapa?
Sejak saat saya masih kuliah dulu, dalam satu kelas jumlah mahasiswi hanya sekitar 10% saja. Jadi soal stereotip bahwa dunia teknologi atau engineering masih sangat maskulin itu sebenernya karena konsep stereotyping itu sendiri. Dan yang banyak saya temui adalah pandangan dari perempuan itu sendiri. Misalnya saya sering dapat message dari Instagram seperti ini, "Mba saya perempuan, ingin belajar coding, tapi saya tidak percaya diri, apa perempuan bisa juga?"
ADVERTISEMENT
Anggapan seperti inilah yang membuat jumlah programmer laki-laki hingga kini lebih banyak ketimbang jumlah perempuan.
Profesi sebagai programmer di kalangan perempuan belum menjadi hal yang umum di Indonesia apalagi era sebelumnya di mana kita belum begitu terpapar dengan teknologi. Apa yang membuat Anda waktu ingin belajar bidang ini?
Karena saya tidak pernah memiliki pemikiran dunia teknologi adalah dunianya laki-laki, jadi dengan mudahnya saya masuk ke sana. Saat berusia 14 tahun, saya tidak memiliki konsep apapun tentang dunia teknologi, saya masuk karena ketertarikan saya membongkar segala sesuatu saja yang akhirnya membuat saya terjun ke dunia tersebut.
Apa tantangan yang Anda alami selama bergelut di bidang teknologi? Apakah ada tantangan yang terkait dengan gender?
ADVERTISEMENT
Sebagai perempuan saya tidak pernah merasakan diskriminasi. Bahkan saat bersama-sama dengan Nadiem memulai Go-Jek, dia tidak pernah meragukan saya. Justru dia bilang “I know you will be the best leader in Indonesia, jaranglah ada orang yang bisa desain, ngerti art juga dan bisa engineering sekaligus.” Sikap Nadiem di situ menunjukkan bahwa, bos saya sendiri saja tidak pernah mendiskriminasi karena saya perempuan. Dia begitu percaya dengan saya.
Namun jika bicara soal tantangan, saat ini ketika saya menjabat sebagai seorang COO atau dulu sebagai VP hingga team lead di Go-Jek adalah bagaimana mencari sosok perempuan yang bisa diangkat untuk posisi strategis.
Saya mengalami kesulitan ketika ingin menunjuk team leader perempuan. Ada kandidat perempuan, tapi saat saya tawarkan posisi strategis mereka malah ragu. “Aduh mba, saya bisa tidak ya.”
ADVERTISEMENT
Jadi, permasalahannya ada di dalam diri kita sendiri, self worth-nya kurang dan sudah merasa terpinggirkan oleh laki-laki. Padahal mereka tidak melakukan apa-apa, mencela juga tidak. Kita sebagai perempuan jangan minder duluan.
Anda ikut merintis aplikasi Gojek dan gojek tumbuh menjadi perusahaan yang besar di Indonesia. Kenapa tiba-tiba Anda memutuskan untuk keluar?
Saya memiliki goal dalam hidup ini, dan goal saya untuk saat ini adalah menjadi menteri pendidikan. Saat ini saya sedang menyusun agenda untuk sampai ke jenjang tersebut. Saya juga sedang disibukkan dengan membantu korporasi dan pemerintahan yang ingin bertransformasi ke dunia digital.
Saya ingin hidup yang saya jalani ini seperti menaiki anak tangga. Setelah dari Go-Jek saya harus naik ke tangga yang baru, dan saat memutuskan keluar dari Go-Jek saya sudah tidak perlu mempertimbangkannya lagi. I just follow my heart.
ADVERTISEMENT
Mungkin pertanyaannya juga perlu ditambah dengan kenapa saya saat itu mau bekerja di Go-Jek. Padahal di masa awal berdirinya, perusahaan tersebut seperti warung, benar-benar tidak ada orang yang mau masuk dan bekerja di sana. So I just folow my heart untuk bekerja di Gojek. Di sini (Go-Jek) saya bisa bantu banyak orang, dan sekarang saya ingin membuat impact yang lebih besar lagi, which is di dunia pendidikan.
Dan saat Go-Jek semakin besar, saya juga sering mendapat tawaran untuk speech. Dari situ saya juga menemukan apa yang saya inginkan, yaitu hasrat untuk berbagi dengan orang lain. Jika masih di Go-Jek, saya tidak akan bisa full berbagi ilmu pengetahuan yang saya miliki.
Alamanda Shantika. (Foto: Instagram/@alamandas)
zoom-in-whitePerbesar
Alamanda Shantika. (Foto: Instagram/@alamandas)
Saat ini, Anda tengah disibukkan mengurus Binar Academy. Bisa dijelaskan hal yang melatarbelakangi didirikannya Binar Academy?
ADVERTISEMENT
Sebenarnya saat saya keluar dari Go-Jek, ide mendirikan Binar Academy itu belum ada. Awalnya ingin istirahat dulu, baru kemudian merancang apa yang selanjutnya bisa saya lakukan. Istirahat yang saya lakukan saat itu salah satunya adalah dengan keliling Indonesia dan mengisi acara-acara serta membantu 1001 stratup digital dalam membuat kurikulum.
Dan dari hal tersebut, saya melihat ekosistem digital di Indonesia seperti inkubator dan permasalahan startup sekarang adalah idenya ada tapi yang eksekusi belum siap. Angka engineering yang ada di Indonesia masih sedikit sekali. Jadi Binar Academy dibentuk agar bisa creating dan mengeksekusi ide-ide startup tersebut dengan menghasilkan programmer yang dibutuhkan oleh startup.
Bagaimana sistem perekrutan di Binar Academy?
ADVERTISEMENT
Cukup dengan mengunduh aplikasi yang baru saja kita luncurkan bulan ini, kemudian mengikuti placement test berupa tes logika yang dikemas dalam game. Lalu jika lolos, bisa langsung belajar di Yogyakarta.
Sudah ada belasan ribu orang mendaftar, namun yang sudah lulus baru sekitar 400 orang, hal ini karena selama masa pendidikan ada juga yang mundur ditengah-tengah karena tidak kuat dengan program pembelajaran kita. Seperti militer soalnya ha...ha...ha.
Ada satu murid kami yang sering saya promosikan. Namanya Misra dari desa kecil di Indramayu, bahkan rumahnya masih terbuat dari bambu yang bisa dipindah-pindah. Dia datang ke Binar pada malam hari sebelum hari pertama belajar dimulai dengan bermodalkan uang Rp 300 ribu untuk bekal hidup selama tiga bulan, ia tidak punya keluarga di Yogyakarta. Dan saat saya tanya mau tinggal di mana dia bilang mau tinggal di masjid.
ADVERTISEMENT
Saya juga bertanya, apa yang bisa bikin kamu seberani itu, lalu Misra menjawab, pertama “Saya punya niat membuat e-learning dan e-library untuk warga kampung saya di Indramayu. Karena saya ingin orang-orang di kampung saya suka membaca buku seperti saya. Kemudian saya juga yakin, jika kita memiliki niat yang baik pasti akan ada orang baik yang nolong disini.”
Saat ini Misra sudah lulus bahkan telah menjadi mentor. Anak ini begitu pintar sudah bisa mengajarkan murid-murid di Binar. Misra juga sudah kami salurkan ke partner kita. Karena murid yang sudah lulus dari Binar masuk ke bagian karier hub untuk kami salurkan kepada mitra-mitra kami.
Seberapa penting peran perempuan untuk turut berkontribusi dalam dunia teknologi?
ADVERTISEMENT
Sisi empati dan sosok keibuan yang dimiliki seorang perempuan menjadi elemen yang penting sekali untuk nurturing people. Perempuan dapat berperan penting untuk membuat sebuah tim kerja layaknya seperti keluarga. Itu yang saya ciptakan di tim saya, kantor sebagai tempat bekerja bukanlah sebuah momok.
Alamanda Shantika. (Foto: Instagram/@alamandas)
zoom-in-whitePerbesar
Alamanda Shantika. (Foto: Instagram/@alamandas)
Apakah ada tips untuk perempuan yang memiliki minat untuk terjun ke dunia programming (teknologi) ?
Sebenarnya untuk belajar, siapapun bisa. Bahkan dari Youtube sekalipun, sudah banyak platfrom pendidikan. Sekarang pertanyaannya ada di diri kita sendiri bagaimana berani tidak mau belajar dan sudah percaya diri belum?
Kepercayaan diri dan self worth harus ditingkatkan karena sebenarnya tidak ada apa-apa kok di situ. Terkadang kita hanya menakuti diri kita sendiri pada hal tidak ada yang perlu ditakutkan dan dikhawatirkan.
ADVERTISEMENT
Untuk bisa meraih prestasi hingga saat ini, apakah ada sosok yang menginspirasi Anda?
Sosok yang menginspirasi saya adalah papa saya sendiri. Dia membangun rumah singgah untuk anak-anak jalanan. Beliau sering ajak saya main ke sana, dan bermain dengan mereka. Inspirasi saya yang kedua adalah anak-anak jalanan tersebut.
Kadang kita mencari inspirasi jauh-jauh padahal di sekitar kita banyak sekali inspirasi.
Apa harapan Anda untuk masa depan dunia teknologi di Indonesia dan kaitannya perempuan?
Harapan saya mudah-mudahan makin banyak perempuan yang mendobrak stererotip di dunia ini. Sebenarnya saya sendiri kurang suka dengan acara-acara yang mengkhususkan perempuan. Karena semakin kita dikhususkan semakin pula kita membuat kotak-kotak (antara perempuan dan laki-laki) tanpa disadari.
ADVERTISEMENT
Sebentar lagi saya juga mengeluarkan buku berjudul ‘Equal’ yang membahas tentang kesetaraan yang bersifat universal. Bukan hanya soal gender tapi di semua hal.
Saya belajar ketika saya mengobrol dengan driver Go-Jek, saya bisa terkoneksi dengan mereka karena saya merasa kita harus equal, setara. Tidak boleh merasa lebih tinggi.
Seorang sahabat pernah bilang ke saya “La, sadar tidak? Tuhan saja tidak pernah membeda-bedakan kita, entah kulit kita hitam atau putih, agama kita Islam atau Hindu. Tuhan memberi kita, manusia dengan matahari yang sama, napas yang sama, kok kita masih saja membeda-bedakan.
Simak cerita perempuan inspiratif lainnya di topik sheinspiresme.