news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Bukan Sanggul & Kebaya, Ini 4 Alasan Penting Rayakan Hari Kartini

21 April 2019 17:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
R.A Kartini (kiri). Foto: Dok. Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
R.A Kartini (kiri). Foto: Dok. Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Saya masih ingat betul pengalaman merayakan Hari Kartini saat masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Setiap tanggal 21 April, saya dan teman-teman, baik perempuan atau laki-laki diharuskan untuk memakai pakaian adat ke sekolah.
ADVERTISEMENT
Saat bertanya pada ibu dan guru, mereka hanya menjawab, ‘Ini Kartini-an, jadi harus dandan, pakai kebaya yang cantik seperti Kartini.’ Mereka bahkan tidak menjelaskan siapa itu Kartini dan mengapa ia harus dirayakan. Saya pun tahu bahwa Kartini adalah seorang pahlawan melalui poster gambar pahlawan yang dijual di lapak-lapak jajanan sekolah.
Satu pertanyaan sudah terjawab. Namun, pertanyaan lainnya tentang mengapa Kartini harus dirayakan baru saya dapatkan ketika duduk di bangku SMP, bahwa sebenarnya perayaan Hari Kartini lebih dari sekadar mengenakan pakaian adat. Ada makna besar yang harus dimengerti oleh perempuan mengapa hari tersebut patut dirayakan.
Kartini merupakan sosok pelopor emansipasi wanita di Indonesia. Ia pahlawan perempuan yang berusaha memperjuangkan hak-hak perempuan pada zamannya yang kemudian diketahui publik lewat tulisan-tulisannya.
ADVERTISEMENT
Lewat surat-surat yang ia kirim kepada sahabat-sahabatnya, kita bisa melihat betapa majunya cara berpikir putri Jawa yang masih muda tersebut. Ia mengungkapkan keresahan atas hal-hal yang terjadi di sekelilingnya yang menurut Kartini tidak sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi. Ia ingin berbuat banyak untuk masyarakat di sekitarnya memiliki cita-cita yang sangat tinggi.
Surat-surat itulah yang kini bisa menjadi pedoman dan penyemangat bagi perempuan Indonesia untuk terus maju dan tidak membatasi diri dalam meraih mimpi. Kutipan-kutipan dari surat indah Kartini inilah yang seharusnya dijelaskan kepada perempuan-perempuan muda Indonesia mengapa perjuangan Kartini patut dirayakan.
Namun cerita soal surat-surat Kartini ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia. Hingga saat ini, sebagian masyarakat di daerah atau kota-kota besar masih banyak yang mengidentikkan Hari Kartini dengan atribut seputar pakaian adat dan banyak perempuan yang merayakan Kartini dengan memakai kebaya atau lomba mengenakan kebaya dan sanggul.
ADVERTISEMENT
Sejak dulu, citra ini sudah melekat pada Kartini. Hal ini tidak sepenuhnya salah karena memang dalam setiap foto yang beredar dan yang digambarkan lewat film, Kartini memang mengenakan kebaya dan bersanggul.
"Kebaya yang awalnya hanya pakaian khas orang Jawa, menjadi sebuah ideologi citra ideal perempuan Indonesia… Itulah bagaimana anak-anak dididik oleh negara dalam mencitrakan seorang Kartini. Itu terjadi bertahun-tahun dan sampai sekarang, citra itu belum lepas sampai ke akar-akarnya,” ungkap Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan, seperti dikutip Jurnal Perempuan terkait lekatnya budaya perayaan Kartini dengan kebaya.
Padahal Kartini tak pernah sibuk berkutat dengan kebaya dan sanggul. Apa yang ia kenakan merupakan tuntutan yang harus dipatuhi karena ia berasal dari keluarga bangsawan dan seorang perempuan Jawa. Kebaya juga menjadi pakaian sehari-hari perempuan saat itu,
ADVERTISEMENT
Tidak salah juga sebenarnya jika kita ingin merayakan Kartini dengan mengenakan kebaya, tapi ada berbagai semangat Kartini yang sebenarnya sangat penting dan seharusnya menjadi alasan penting bagi kita dalam merayakan Kartini. Apa saja semangat Kartini yang patut kita rayakan?
1. Sadar akan konsep emansipasi perempuan sejak dini
R.A Kartini. Foto: Dok. Wikimedia Commons
Melihat dan merasakan sendiri penderitaan perempuan Jawa yang dibelenggu oleh adat, tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tidak dikenal, dan harus bersedia dimadu, Kartini merasa sangat tidak setuju.
Ia menganggap bahwa adat Jawa pada saat itu sangat merugikan dan merendahkan perempuan, karena perempuan harus tunduk kepada yang lebih tua, tak boleh menyampaikan pendapat, harus berbicara lemah lembut, tidak boleh tertawa hingga memperlihatkan gigi. Ia geram melihat adik-adiknya yang harus ‘sungkem’ pada kakaknya sendiri setiap kali harus berbicara dan menyudahi pembicaraan.
ADVERTISEMENT
Karena itu, ia sangat menginginkan agar perempuan diberikan kesempatan yang sama dan diberikan derajat yang sama, baik dengan laki-laki maupun dengan sesama perempuan.
“Peduli apa aku dengan segala tata cara itu ... Segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu ... Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini, dan Kardinah) tidak ada tata cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas-batas mana cara liberal itu boleh dijalankan.” (Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899)
2. Memiliki keinginan keras untuk maju dan pantang menyerah
Keluarga R.A Kartini. Foto: Wikimedia Commons
Kartini hanya mengenyam pendidikan sampai sekolah dasar. Setelah itu, mulai usia 12 tahun ia menjalani pingitan sesuai dengan adat Jawa yang harus diterapkan oleh keluarga bangsawan pada zaman itu.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Kartini tak ingin berdiam diri. Sebisa mungkin, ketika dipingit di rumahnya ia memanfaatkan waktu untuk belajar dari buku-buku dan majalah yang ia miliki. Ia melihat bagaimana di luar sana banyak sekali tulisan mengenai perempuan yang begitu gigih memperjuangkan hak-haknya. Dari situ, Kartini yakin jika ia memiliki keberanian dan tekad, ia bisa turut andil dalam memajukan perempuan Indonesia. Ia pun menuangkan semangat dan pandangannya ke dalam surat-surat yang dikirimkan kepada sahabat penanya di luar negeri.
3. Memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap lingkungan
Sekolah R.A Kartini. Foto: Dok. Wikimedia Commons
Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, perempuan Indonesia belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal, salah satunya adalah pendidikan. Perempuan tidak diizinkan untuk mengenyam pendidikan yang tinggi seperti laki-laki. Melihat hal itu, Kartini mengutarakan harapannya kepada Nyonya Van Kool melalui surat yang ia kirimkan. Ia berharap agar perempuan Indonesia diberikan pendidikan yang semestinya.
ADVERTISEMENT
Dan ketika menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Kartini memastikan suaminya tahu apa yang ia inginkan. Kartini pun diberikan kebebasan dan didukung untuk mendirikan sekolah perempuan di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
“Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa behagia baginya.”(Surat Kartini kepada Nyonya Van Kool, Agustus 1901)
Tak hanya itu, sebelum menikah Kartini juga menunjukkan kecintaannya terhadap seni lewat dukungan yang ia berikan kepada perajin ukiran di Jepara. Lewat surat yang dikirim kepada sahabat penanya di Belanda, ia menyinggung sebuah karya seni indah di tanah kelahirannya dan keinginan Kartini untuk mengembangkannya.
ADVERTISEMENT
4. Berpikir kritis dan mampu memanfaatkan kemampuan yang ada (tulisan) untuk menyuarakan pemikirannya
Surat Kartini. Foto: Wikimedia Commons
Surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabatnya merupakan sebuah bukti bahwa kungkungan adat yang ia jalani tak bisa membatasi dirinya dalam menyuarakan pendapat. Ia berhasil memanfaatkan kesempatan membaca buku-buku dari luar yang dimiliki ayahnya dan menjadikan buku-buku tersebut sebagai inspirasi soal pandangannya terhadap dunia, pendidikan, budaya, agama, dan perempuan.
“Saya ingin berkenalan dengan seorang gadis modern, yang berani, yang dapat berdiri sendiri... yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan dirinya sendiri saja, tetapi juga berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan banyak sesama manusia.” (Surat Kartini kepada Stella H. Zeehandelaar, 25 Mei 1899).
Meski dalam segala keterbatasan, Kartini membuktikan bahwa ia ternyata mampu membawa perubahan bagi perempuan dan masyarakat. Tidak bisa membuat aksi, Kartini menyuarakan aspirasi untuk perubahan melalui tulisan. Dan terbukti, hingga lebih dari satu abad, tulisannya semakin menggema dan menginspirasi banyak perempuan modern.
ADVERTISEMENT
Selamat Hari Kartini perempuan Indonesia!