Cerita Perjuangan Rista Aditiawati, Penyintas Kanker Serviks

24 Februari 2019 13:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rista Aditiawati Penyintas Kanker Serviks. Foto: Ratmia Dewi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rista Aditiawati Penyintas Kanker Serviks. Foto: Ratmia Dewi/kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap satu jam, ada satu perempuan Indonesia yang meninggal dunia akibat kanker serviks. Sementara secara global, setiap dua menit, satu perempuan di dunia meninggal karena kanker yang satu ini.
ADVERTISEMENT
Kanker serviks adalah kanker yang muncul pada leher rahim perempuan yang berfungsi sebagai pintu masuk menuju rahim dari vagina. Tak heran selain kanker payudara, kanker serviks menjadi salah penyakit yang paling ditakuti oleh perempuan Indonesia.
Hal tersebut dipahami sekali oleh Rista Aditiawati (44), seorang penyintas kanker yang didiagnosis menderita kanker serviks pada Juli 2016 silam.
"Pertama kali terdeteksi kanker serviks itu saat memasuki bulan puasa di tahun 2016. Saat itu saya haid tidak teratur, bisa tiap dua minggu sekali dengan volume darah yang sangat banyak. Puncaknya adalah saat berhubungan intim dengan keluarnya bercak darah. Karena khawatir, akhirnya saya pergi ke dokter kandungan untuk memeriksanya," ujar Rista kepada kumparanSTYLE saat ditemui pada acara Peringatan Hari Kanker Sedunia di Kementerian Kesehatan beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Usai menjalani sejumlah pemeriksaan dan pap smear, awalnya Rista dinyatakan tidak terjangkit penyakit apa pun. Kemudian dokter pun juga menyarankan dirinya untuk melakukan biopsi dan dirujuk ke dokter onkologi. Setelah dilakukan pemeriksaan kembali secara menyeluruh, Rista pun dinyatakan terjangkit virus HPV yang menyebabkan dirinya positif terkena kanker serviks pada usia 42 tahun.
"Ketika divonis kanker serviks, saat itu rasanya dunia hancur banget. Saya tidak menyangka kalau saya bisa terjangkit kanker serviks, karena memang tidak ada tanda-tanda sakit atau nyeri. Tiba-tiba saja saat menstruasi itu lebih banyak dan lebih sering. Belum lagi dengan stigma orang yang terjangkit penyakit ini identik dengan orang yang suka bergonta-ganti pasangan. Padahal saya sendiri tipikal orang rumahan yang jarang bergaul. Kaget sekali saat itu, hati rasanya campur aduk dan akhirnya mikir yang tidak-tidak. Saat itu saya menyalahkan suami, menyalahkan Tuhan juga kenapa harus saya yang diberi penyakit ini," papar Rista.
Kanker serviks dapat dicegah dengan vaksin dan pemeriksaan rutin. Foto: Shutterstock
Setelah terdeteksi kanker serviks, pada November 2016 perempuan yang telah dikaruniai tiga buah hati ini pun memutuskan untuk segera melakukan operasi besar.
ADVERTISEMENT
"Saya masih ingat dengan jelas, masa-masa sangat emosional di suatu malam menjelang operasi besar di pagi harinya. Dokter memberi tahu kemungkinan terburuk dari hasil operasi nanti. Kata dokter saat itu, jika kanker yang menempel di rahim sudah besar dan menempel terlalu dalam, kemungkinan tidak bisa diangkat jadi tidak bisa dibedah. Karena si kanker serviks ini kan posisinya menempel sekali di rahim dan kandung kemih, jadi memang harus benar-benar hati-hati membedahnya. Kalau terjadi kesalahan akan menyebabkan saluran pembuangan kita terganggu. Misalnya kotoran yang harusnya kita keluarkan saat buang air besar bisa jadi lewat lubang pipis, karena posisinya yang sangat dekat sekali kan. Belum lagi setelah operasi, harus dilakukan kemoterapi dan radiasi lagi. Semua itu tentu membuat saya semakin terpuruk dan menyalahkan Tuhan," papar Rista sambil menghela nafas.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Rista pun bergabung dengan komunitas Cancer Information and Support Center (CISC) untuk membantunya tetap semangat melawan kanker dan berbagi kisah dengan para anggota komunitas. Dengan tekad dan dukungan dari keluarga serta teman-teman di komunitas, Rista pun bisa melewati masa-masa sulitnya.
Usai menjalani operasi pengangkatan rahim, Rista menjalani serangkaian rawat jalan. Ia harus menyesuaikan beberapa perubahan yang terjadi pada tubuhnya, ia pun membutuhkan waktu untuk kembali latihan jalan secara normal, melakukan olahraga tertentu untuk melemaskan otot-otot, dan menyesuaikan diri dengan siklus ekskresinya yang baru.
Rista Aditiawati Penyintas Kanker Serviks. Foto: Ratmia Dewi/kumparan
Beruntungnya dengan hasil screening yang ia dapati setelah operasi, kanker yang ada di tubuh Rista rupanya tidak menyebar, jadi ia tak perlu melakukan kemoterapi atau radiasi. Namun sejumlah pemeriksaan secara berkala masih tetap ia lakukan.
ADVERTISEMENT
"Setelah operasi besar, karena tidak ada penyebaran kanker, dokter menyatakan saya tidak perlu melakukan kemoterapi dan radiasi. Tapi saya harus kontrol secara rutin (USG) seminggu sekali, kemudian berkurang jadi tiap tiga bulan sekali dan saat ini tiap enam bulan sekali. Selanjutnya akan sekali dalam setahun, " jelas Rista.
Menyikapi kondisi yang dialami, Rista mengungkapkan bahwa ia secara perlahan mulai menerima dan memetik hikmah dari apa yang telah Tuhan gariskan untuknya.
"Turning point saya saat itu ketika di malam hari menuju operasi. Di situ saya pasrah dan meminta maaf karena telah menyalahkan Tuhan dan suami. Sudah suudzon juga kan dengan suami, karena belum tentu juga suamiku yang menularkannya. Anak-anak juga dukung banget, minta saya harus sembuh. Saat itu saya mulai berangsur-angsur menerima keadaan, mungkin memang sudah begini jalannya. Dan saya menyadari bahwa di saat kita masih mau berjuang pasti ada jalan, karena setiap pengidap kanker tidak berakhir dengan kematian," jelas Rista.
ADVERTISEMENT
Saat ini Rista aktif di komunitas penyintas CSIS dan kerap bicara mengenai perjuangannya menghadapi kanker serviks.
"Saya mengakui pernah mengidap kanker serviks, tapi itu bukan akhir dari dunia. Memang butuh waktu untuk menerima diri, namun dukungan suami, anak-anak dan teman-teman di komunitas memberi energi bagi saya untuk melawan kanker. Dengan speak up, membuat saya lebih lega dan dapat membuat orang lain lebih bisa aware dan dapat mencegah kanker serviks dengan melakukan pemeriksaan dini," jelas Rista.