Inspirasi Ida Fiqriah, Kapten Pilot Perempuan Pertama Garuda Indonesia

21 April 2019 10:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kapten Pilot Perempuan Pertama Garuda Indonesia, Ida Fiqriah. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kapten Pilot Perempuan Pertama Garuda Indonesia, Ida Fiqriah. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Pilot merupakan salah satu profesi yang identik dengan pekerjaan laki-laki. Tetapi meski didominasi laki-laki, bukan berarti perempuan tidak ada dalam profesi ini. Bahkan banyak yang mampu menunjukkan bahwa mereka juga bisa berprestasi di dunia penerbangan.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang berhasil sebagai kapten pilot adalah Ida Fiqriah. Tak tanggung-tanggung, perempuan kelahiran Jakarta, 4 Desember 1976 ini merupakan kapten pilot perempuan pertama maskapai Garuda Indonesia. Posisi kapten di penerbangan merupakan posisi yang jarang ditempati perempuan.
Ida Fiqriah dilantik sebagai kapten pilot pada April 2017 lalu. Di hari bersejarah bagi Ida dan Garuda Indonesia itu, pangkat “Bar4” disematkan kepadanya. Ia pun resmi bertugas sebagai kapten pada pesawat B737-800 NG.
Menjadi kapten pilot bukanlah hal mudah, terlebih bagi seorang perempuan. Banyak perjuangan yang harus ditempuh Ida.
Perjuangannya dimulai sejak lulus SMA 29 Jakarta pada 1994. Ia melanjutkan pendidikan di PLP (Pendidikan dan Latihan Penerbangan) Curug, Tangerang - sekarang bernama Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI). Mengenyam berbagai teori dan praktik selama masa pendidikan sejak Januari 1995, Ida lulus pada September 1996.
ADVERTISEMENT
Setahun berikutnya Ida mengikuti seleksi di Garuda Indonesia. Melewati berbagai tahap seleksi, ia dinyatakan lolos sebagai penerbang.
Di Garuda Indonesia, Ida memulai karier penerbangannya sebagai First Officer (FO) atau biasa dikenal dengan Co-Pilot pada 1999. Hingga kini, dalam perjalanan 19 tahun kariernya sebagai penerbang, Ida telah menerbangkan berbagai jenis pesawat seperti Boeing B737-300/400/500 dan Airbus A330-300/200. Di rentang waktu tersebut, Ida juga telah mencatatkan jam terbang lebih dari 12.500 jam.
Kapten Pilot Perempuan Pertama Garuda Indonesia, Ida Fiqriah. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Perjalanan karier Ida tak selalu mulus. Tahun 2015, pesawat Garuda Indonesia tergelincir di Bandara Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan. Saat itu Ida bertugas sebagai Co-pilot. Beruntung Ida dan Kapten Nikodemus Elim berhasil mengatasi hal tersebut.
Peristiwa itu tidak menyurutkan semangat Ida. Baginya itu adalah pelajaran penting dalam perjalanan kariernya.
ADVERTISEMENT
“Semua menjadi hikmah dan pelajaran, serta banyak yang bisa diambil dari detik-detik kejadian itu. Kalau yang lain misalnya setelah kejadian itu menjadi drop, itu merupakan hal yang normal, tapi kalau saya ada hal yang mau saya capai yaitu pembuktian diri,” ucap Ida Fiqriah.
Meski sekarang memiliki posisi sebagai kapten dengan perjuangan yang keras, Ida tetap memiliki pembawaan yang santai dan ceria. Ia mengungkapkan bahwa ia adalah orang yang simpel dan tidak mau repot.
Beberapa waktu lalu kumparan berkesempatan berbincang dengan ibu dua anak tersebut. Ia menceritakan perjalanan dan hambatan selama berkarier serta bagaimana membagi waktu dengan keluarga di antara jam penerbangannya yang tinggi.
Terinspirasi dari mana ingin menjadi Pilot?
ADVERTISEMENT
Sebenarnya waktu itu tidak punya figur untuk menjadi seorang penerbang karena latar belakang keluarga bukan keluarga penerbang. Intinya adalah, lulus SMA cari sekolah yang ada beasiswa, lulusannya mudah diserap, cepat mendapat pekerjaan, bisa mandiri, dan bermanfaat bagi banyak orang. Jadi awalnya tidak terpikirkan menjadi pilot.
Akhirnya memutuskan untuk jadi pilot bagaimana?
Sekolah kedinasan kan banyak, jadi orang tua mengharapkan saya masuk STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) dengan alasan dekat rumah atau pilihan lainnya Angkatan Udara TNI. Lalu saya berpikir daripada WARA (Wanita Angkatan Udara), lebih baik sekalian saja melamar di sekolah penerbang. Jadi akhirnya melamar beasiswa di sekolah penerbangan itu (STIP).
Sejujurnya, setelah masuk tidak tahu sebenarnya mau belajar apa. Cuma ingat salah satu teman pernah memberikan nasihat, bahwa di sekolah yang akan kami lalui ini semua orang berawal dari titik yang sama. Semua orang mulai dari nol. Dari yang tidak tahu ilmu penerbangan, dari yang tidak tahu bagaimana pesawat. Semua mulai dari titik yang sama. Saat lulus dan diterima rasanya senang bisa mengalahkan ribuan pelamar.
Kapten Pilot Perempuan Pertama Garuda Indonesia, Ida Fiqriah. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Saat baru belajar menjadi pilot, apa tantangan yang paling berat?
ADVERTISEMENT
Tantangan yang paling berat adalah ketika kita harus menerima ilmu yang banyak dalam waktu cepat dan bisa diaplikasikan. Pelajarannya banyak, harus cepat diterima dalam waktu yang singkat dan harus bisa diaplikasikan.
Jadi misalnya kenapa pesawat bisa terbang? Teorinya seperti apa, ada hukumnya, ada penjabarannya. Setelah dicerna, dievaluasi dan diterapkan. Di bidang lain, terkadang kita menguasai teorinya tapi tidak di praktiknya, itu tidak masalah. Tapi kalau kami harus semuanya dikuasai, baik itu teori, praktik dan aplikasinya.
Saat menjadi co-pilot, Anda pernah tergelincir ketika melakukan pendaratan di Bandara Hasanuddin pada 2015 lalu. Bagaimana pengalaman Anda soal itu?
Itu adalah hal yang ingin saya lupakan. Dalam proses pembelajaran, proses hidup pastinya akan ada pengalaman (buruk). Tapi intinya adalah bagaimana kita evaluasi diri dan mengendalikan diri. Hal paling sulit dalam hidup ini adalah pengendalian emosi dan pengendalian diri. Kalau misalnya kita masih mengingat jejak-jejak kurang baik nanti akan memberatkan langkah kehidupan selanjutnya. Makanya kalau ditanyakan itu saya akan jawab sudah lupa. Tapi memang itu memang terjadi, tidak dipungkiri itu ada, tidak bisa dihapus.
ADVERTISEMENT
Namun kalau ditanya seperti apa kejadiannya, lebih baik tidak dijelaskan, kasihan penumpang nanti malah merasa khawatir. Lihat saja survive Ida sekarang, bisa kembali ceria seperti sekarang.
Apakah Anda sempat trauma?
Sedih, kecewa, trauma, itu adalah kodrat manusiawi setiap individu. Kalau manusia tidak punya rasa itu berarti dia tidak berperasaan. Tapi kalau ditanya seperti apa traumanya, kata anak milenial "Hello, move on! Lets go move on!" gitu aja. Jadi semua menjadi hikmah dan pelajaran, serta banyak yang bisa diambil dari detik-detik peristiwa itu.
Kapten Pilot Perempuan Pertama Garuda Indonesia, Ida Fiqriah. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Apa yang membuat Anda terus maju dan melawan segala hambatan menjadi pilot perempuan?
Kalau yang kemarin poinnya adalah pembuktian diri dan kata-kata yang paling tepat memang adalah pembuktian diri. Alasannya, di Garuda Indonesia belum ada pilot perempuan, belum ada kapten perempuan. Itu sangat susah. Untuk menjadi pilot dengan kriteria seperti diinginkan perusahaan itu juga susah. Pertama, saya sudah mendapatkan izin dari suami, mendapat doa dan restu beliau. Kedua, anak-anak dan urusan rumah tertangani. Jadi saya pikir, apalagi yang memberatkan?
ADVERTISEMENT
Maka saya terpicu untuk tetap melanjutkan hidup dan berkarier di dunia penerbangan. Kalau yang lain, setelah kejadian itu (tergelincir) jadi drop, silakan. Tapi saya, ada hal yang mau saya capai, yaitu pembuktian diri. Apakah sesudah itu berpuas? Tidak. Teknologi semakin berkembang, pesawat semakin bertambah teknologinya, jenisnya dan variannya. Jadi saya ingin ke pesawat selanjutnya.
Lantas, bagaimana perjuangan Anda menjadi kapten?
Mungkin orang melihat saya sudah berhasil, tertawa lepas. Tidak tahu bahwa saya juga (pernah) menangis, terpuruk, merasa sangat ingin menyerah. Bagaimana saya menanggulangi itu, semua orang tidak tahu. Makanya saat ditanya soal itu, mata saya jadi berkaca-kaca begini.
Saya ambil semua pelajarannya dan saya ambil hikmahnya. Apapun yang terjadi sama saya saat itu, entah itu disengaja atau tidak, saya lalui prosesnya. Prosesnya pasti banyak, jatuh bangunnya pasti banyak baik dari segi karier dari segi kehidupan sosial dan lain-lain, semuanya pasti banyak. Semua dilalui saja.
Ida Fiqriah, saat tugas penerbangan dari Jakarta ke Makassar Foto: Istimewa
Motivasi apa yang Anda pegang, sehingga Anda bisa menjadi kapten perempuan pertama?
ADVERTISEMENT
Kata-kata suami saya, "Kalau kamu menangis, mereka yang tertawa. Kalau kamu tertawa mereka yang akan menangis. Walaupun kamu jangan berharap mereka yang menangis, tapi buktikan kamu bisa tertawa di depan semua orang". Nah, saya memilih di posisi yang tertawa saja. Itu saja, waktu menghadapi saat-saat sulit, sedih, kebetulan punya pasangan yang bisa mengerti dan bisa memahami. Bisa jadi teman curhat. Makanya saya selalu ingat kalimat dari suami saya itu.
Saya hanya berpikir, yang sudah terjadi diikhlaskan, diambil hikmah dan pelajarannya sebagai bekal menuju kehidupan yang mendatang.
Setelah pengukuhan, Anda menerbangkan penerbangan Kartini di Hari Kartini pada April 2017 dan April 2018 serta mencetak sejarah sebagai kapten perempuan pertama. Bagaimana perasaan Anda?
ADVERTISEMENT
Waktu pelantikan jadi kapten, saya berpikir ini adalah hal tertunda. Malahan ketika ditanya antusiasnya bagaimana sudah lupa, karena itu perolehan yang menurut saya tertunda. Jadi bagaimana rasanya penerbangan Kartini, dinikmati saja dibuat nyaman, supaya tidak tegang. Kalau tidak tegang hasilnya rileks. Bukan terlalu percaya diri tapi pengendalian emosi.
Apa yang biasa dilakukan untuk mengobati rindu pada keluarga jika sedang ditugaskan dalam waktu lama?
Teknologi sekarang lebih bagus dibanding dulu, kalau sekarang kita bisa terus berkomunikasi asal tidak mengganggu. Video call, mendekatkan yang jauh. Kalau dulu hanya bawa foto cetak, hanya itu satu-satunya harapan. Kalau sekarang sudah enak, bisa video call atau telepon.
Ida Fiqriah Kapten Garuda Indonesia, saat bertugas Foto: Istimewa
Biasanya Anda ditugaskan terbang ke mana? Adakah kesan tertentu dalam menjalankan tugas penerbangan?
ADVERTISEMENT
Jalur penerbangan saya domestik dan internasional. Paling jauh India, Alhamdulillah semua penerbangan baik.
Adakah pesan untuk perempuan yang berjuang untuk kesuksesan di dunia penerbangan?
Niat harus timbul dari diri sendiri dulu, jadi bukan karena pengaruh orang. Atau kalau memang ada pengaruh dari orang lain, tetap harus dikuatkan dari diri sendiri dulu. Jadi pondasi yang kuat itu adalah harus keluar dari diri sendiri, mau memilih pekerjaan apapun itu harus ditetapkan dari diri sendiri dulu. Setiap orang mempunyai kategori kesuksesan yang berbeda. Kuatkan niat, sehingga jika ada hambatan dan tantangan, itu bisa cepat teratasi. Seperti saya, kalau bukan karena diri saya, saya mungkin sudah tumbang tidak ada di sini hari ini, saya bukan siapa-siapa. Jadi semakin banyak ditempa, diasah semakin mengkilat mudah-mudahan saya bisa seperti itu
ADVERTISEMENT
Apakah masih ada lagi yang ingin dicapai?
Manusia pasti berharap akan lebih baik, menjadi lebih ahli, sama seperti teknologi. Setiap hari teknologi berkembang, tentunya kami terpacu untuk bisa bagaimana mengoperasikannya. Harapannya menjadi orang yang lebih baik, jadi pilot yang lebih baik, ibu dan istri yang lebih baik dan jadi anggota masyarakat yang lebih baik.
Jika tidak ada jadwal penerbangan, apa yang Anda lakukan? Apakah ada rutinitas kecantikan?
Saya melakukan hal yang sama dengan ibu rumah tangga lainnya. Untuk kecantikan, sebenarnya saya tidak ada perawatan yang khusus, standar saja. Saya pakai pelembap, vitamin wajah, dan sabun wajah.