Jerat Selfie: dari Kamera ke Pusara

2 April 2018 13:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ya, sembrono dan sia-sia adalah dua term yang banyak mengimpit hidup manusia. Syahdan, keduanya membuka lebar jurang nestapa. Ini misalnya, terjadi kala nyawa tergadai karena soal sepele: mati karena selfie.
Satu hari, di tengah debur ombak pantai selatan, Eka dan Dedi tengah menghirup segar perairan, dan ingin mengabadikan momen kebersamaan mereka. Mereka lantas mendaki karang-karang untuk mendapat latar istimewa guna berfoto selfie.
Malang tak dapat ditolak, gembira sekejap beralih celaka. Eka terpeleset dari karang dan jatuh tertangkap ombak.
Tubuh Eka diombang-ambing ombak beberapa saat, membuat Dedi, sang kekasih, turun mencoba menyelamatkan. Nahas betul, bukannya berhasil mendekap Eka, Dedi malah ikut terbawa arus entah ke mana.
Nyawa Eka melayang, Dedi pun hilang. Tragis.
ADVERTISEMENT
Jauh dari Lombok, di Negeri Gajah Putih, selfie sepasang kekasih pun membawa petaka.
Diduga di bawah pengaruh alkohol, seorang lelaki dan pasangan wanitanya hendak selfie dengan latar kereta yang melaju kencang. Mereka berada tak jauh dari Stasiun Samsen, Bangkok, Thailand.
Petaka tak pelak datang. Sekitar pukul 04.00 dini hari waktu setempat, sepasang kekasih itu ditabrak kereta. Si perempuan terseret kereta, dan si lelaki tak sadarkan diri. Mereka tewas.
Seorang sejawat mengatakan, pasangan itu memang sempat menenggak minuman keras di dekat lokasi mereka celaka.
Bori' Kalimbuang, Toraja Utara (Foto: Instagram @akhyartamrin)
Gara-gara selfie, bukan cuma manusia pelaku selfie yang pernah jadi korban, tapi juga lokasi wisata yang menjadi latar selfie. Beberapa objek wisata dirusak, dikotori, bahkan dihinakan.
ADVERTISEMENT
Hal itu misalnya terjadi di ujung selatan Sulawesi, ketika dua muda mudi tengah bereksplorasi dengan wisata Kete Kesu di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan.
Muda mudi itu--satu asal Jawa Barat, dan satu asli Makassar--berselfie dengan memainkan tengkorak leluhur Suku Toraja. Mereka menginjak tengkorak itu, dan memainkan tulang belulangnya layaknya sebuah gitar. Entah apa yang mereka pikir (atau justru tak berpikir).
Atas tindakan kurang ajar tersebut, dua sekawan mendapat sanksi. Untuk menebus kesalahan, mereka dihukum memotong seekor babi di lokasi selfie dalam upacara adat mangrambu langi yang akan dipimpin oleh tetua Suku Toraja.
Di Jakarta, seorang mahasiswa Universitas Indonesia ditegur satpam lantaran selfie di patung-patung Museum Gajah yang juga disebut Museum Nasional. Ia kena tegur karena di museum itu, pantang selfie di depan patung yang disebut ‘berpenghuni’.
ADVERTISEMENT
“Kata satpam ada penunggunya. Aku juga ngeri sih kalau selfie ada yang ‘ikutan’ juga,” kata mahasiswa bernama Alex (25) kepada kumparan, Selasa (27/3).
Terancam celaka, diintai maut, hingga peristiwa horor, adalah sisi lain dari polah manusia yang mabuk selfie.
Republik Selfie (Foto: Shutterstock)
Dedi (22), seorang karyawan swasta yang gemar berswafoto, berpendapat selfie adalah kebutuhan untuk diapresiasi dan berekspresi. “Apalagi kita makhluk sosial, ingin keberadaan kita diakui oleh orang-orang terdekat,” ujarnya.
Bagi Dedi, foto selfie yang ia unggah di media sosial menjadi pesan dari dia untuk orang-orang sekitarnya terkait kondisi terkininya.
Sementara beberapa orang lainnya merasa, selfie membuat mereka mengenali diri sendiri.
“Secara teknis, selfie itu lebih baik daripada difotoin orang. Kita tahu bagaimana cara mengambil sudut pandang yang tepat supaya terlihat lebih baik,” kata Ima (22), mahasiswi salah satu universitas di Depok, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Seorang guru SMP di Jakarta yang hobi berselfie, Ramadoni juga berpendapat serupa. “Bisa melihat dan mengagumi diri sendiri melalui persepsi kita sendiri,” ujarnya.
‘Sudut pandang terbaik’ itu memantik dorongan untuk terlihat sempurna, dan selfie memungkinkan seseorang untuk membenahi kekurangan dalam fotonya dengan mengulang terus aksi selfienya, sehingga didapat hasil sempurna.
“Sekarang trennya ke arah eksistensi pengakuan diri, misalnya di media sosial. Yang penting, ‘Berapa nih yang jadi pengikut saya,’” kata Eva Suryani, psikolog, Kamis (29/3).
Maka bagi beberapa orang yang memegang prinsip tersebut, selfie menjadi candu. Tak peduli di mana pun dan kapan pun, hatinya hampa jika tak melakukan selfie.
ADVERTISEMENT
Zlatan Krizan, profesor Iowa State University, menyebut terdapat semacam persaingan di media sosial. Seseorang cenderung ingin menunjukkan kehidupan yang lebih menarik daripada yang lain dengan berselfie. Di sini, selfie menjadi ajang pamer.
“Tidak ada orang yang mau kalah. Selfie adalah bukti seseorang benar-benar berada di suatu tempat dan menikmati keadaan sekitarnya,” ujar Krizan.
Rasa tak mau kalah itu kemudian membuat beberapa orang berlomba-lomba mendapatkan hasil selfie bagus. Ada di antara mereka yang memagari diri untuk berselfie dalam keadaan aman. Namun, sebagian lainnya tak mau repot-repot berpikir soal keamanan, dan itulah penyebab angka celaka akibat selfie meningkat.
Republik Selfie (Foto: Zachary Crockett; Data via Google News Archives, Wikipedia.)
Hasrat untuk memperoleh foto bagus, di tempat tak biasa, membuat kewaspadaan hilang.
ADVERTISEMENT
Namun, apa artinya segala perhatian itu bila berujung celaka? Yang tersisa hanya nestapa.
Republik Selfie (Foto: Zachary Crockett; Data via Google News Archives, Wikipedia.)