Kala Republik Diserbu Candu Selfie

2 April 2018 7:49 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Selfie adalah candu.
Satu kali selfie tak bakal puas. Kamu akan mengulang setidaknya sekali lagi (untuk jaga-jaga kalau pose pertama ternyata tak memuaskan), lalu lagi (siapa tahu kali ini lebih bagus), dan lagi (mana tahu ini mendekati sempurna), dan lagi, lagi, lagi…
ADVERTISEMENT
Padahal kesempurnaan hanya milik Tuhan.
Sialnya, Indonesia mungkin salah satu negara dengan penduduk paling getol mengejar kesempurnaan selfie. Tengok saja riset 100 kota paling selfie di dunia oleh Majalah TIME tahun 2014.
Tiga kota di Indonesia masuk dalam daftar 100 kota terselfie di dunia, yakni Denpasar di peringkat ke-18 (75 pelaku selfie dari 100.000 orang), Yogyakarta di peringkat ke-43 (51 dari 100.000 orang), dan Bandung di peringkat ke-88 (33 dari 100.000 orang).
Ya, Bandung. Yang baru bikin geger gara-gara salah satu tempat wisata selfienya, Rabbit Town, ketahuan meniru karya seni orang asing. Ia dituding melakukan plagiarisme--menjiplak tanpa menyertakan kredit kepada sang seniman asli.
Kembali ke jumlah populasi selfie di Indonesia, angka tahun 2014 itu tentu kini berlipat ganda. Terlebih, selfie expert smartphone makin menjamur, menggoda konsumen untuk terus mengabadikan sisi terbaik dirinya.
ADVERTISEMENT
Pokoknya, selfie merajalela. Di mana saja, kapan saja, semua selfie. Mau libur, mau kerja, mau membaca, mau mengaca, mau rapat, mau arisan, mau makan, yang penting selfie dulu. Enggak selfie, enggak asyik.
Republik Selfie (Foto: Shutterstock)
Selamat datang di Republik Selfie.
Ini negeri tempat banyak orang suka selfie. Tua-muda, laki-perempuan, rakyat-pejabat, semua selfie. Kompak, seru, asyik.
Presiden Republik Selfie menjadi representasi rakyatnya yang berjiwa kekinian. Ia tak canggung berselfie bersama para pemimpin dunia. Sebut saja dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud, Perdana Menteri Canada Justin Trudeau, Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull, dan lain-lain.
Selfie bersama Raja Salman. (Foto: ANTARA FOTO/SETPRES/Agus Suparto)
Misi diplomatik tingkat tinggi boleh berlangsung, selfie jadi penyegar suasana.
Republik Selfie (Foto: Istimewa/youtube-Jokowi/AFP-Mohd Fyrol-Rusman)
Selfie-selfie Jokowi bersama pemimpin dunia itu selalu mendapat ratusan ribu hingga satu jutaan respons di berbagai akun media sosialnya, mulai Instagram, Facebook, sampai Twitter.
ADVERTISEMENT
Wajar saja Jokowi luwes berselfie, soalnya putra bungsunya, Kaesang Pangarep, terhitung gaul. Lihat saja bagaimana Jokowi ikut-ikutan Kaesang nge-vlog.
Gairah selfie menyebar cepat.
Banjir Untung dari Selfie (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
Republik Selfie sudah pasti punya spot-spot terbaik wisata selfie yang dijamin Instagramable alias layak diunggah di Instagram.
Ada kafe-kafe kekinian, kota warna-warni, lukisan-lukisan tiga dimensi, dan tentu saja pameran-pameran seni instalasi yang dirancang lebih sebagai latar selfie ketimbang untuk dikagumi nilai seninya.
Lokasi wisata berbahaya pun kini kerap menyediakan spot selfie. Para pemandu tur akan dengan senang hati memberitahukan. Di tepi tebing, di karang garang, di bibir jurang.
Pokoknya, kalau selfie di tempat-tempat itu, apalagi pakai kamera khusus selfie, kita bakal kelihatan keren, bak adventurous traveler di ujung dunia. Sekali unggah di Instagram, pasti mengundang decak kagum.
ADVERTISEMENT
Roda bisnis selfie pun berputar kencang, namun faktor keamanan terpinggirkan. Batasan bahaya dan terjaga jadi kabur.
Ini, misalnya, terjadi ketika Dewi bepergian ke Nusa Lembongan, Bali. Ia disarankan seorang penduduk lokal--yang kerap menemani para wisatawan jalan-jalan--untuk mencoba berselfie di ujung tebing yang menjorok ke lautan.
Dewi terbelalak mendengar saran itu. Ia memang senang menjelajah, tapi tidak cari mati. Maka dengan halus, Dewi menolak usul selfie gila itu.
Syahrini, kiri: The Holocaust Memorial, kanan: Tol (Foto: Instagram/@princessyahrini)
Lokasi--selain kamera--adalah kunci. Para pegiat selfie dituntut kreatif memilih lokasi berfoto. Kalau pas benar, Instagram pasti banjir likes.
Di sisi lain, pemilihan lokasi kadang bukan cuma meminggirkan segi keamanan, tapi juga menyingkirkan etika. Padahal tak semua tempat pantas jadi lokasi selfie.
Syahrini termasuk yang bandel soal itu. Dua kali dalam sebulan terakhir, dia bikin sebal netizen. Pertama, karena selfie di jalan tol--yang berpotensi membahayakan dan mengganggu pengguna jalan. Kedua, saat ia selfie dan nge-vlog di The Holocaust Memorial di Berlin, Jerman dengan senyum semringah sambil berucap, “Bagus ya di tempat Hitler bunuh-bunuhan dulu.”
ADVERTISEMENT
Padahal, The Holocaust Memorial adalah tempat untuk mengenang orang-orang Yahudi yang menjadi korban genosida oleh Nazi selama Perang Dunia II. Jelas saja Syahrini menuai kecaman. Ia dianggap ‘maniak’ selfie yang tak peduli tata krama.
Masalahnya, soal etika dan tata krama itu bukan cuma kurang diperhatikan ‘jemaah’ selfie, tapi juga pebisnis tertentu yang mereguk untung dari meledaknya selfie sebagai gaya hidup masa kini.
Rabbit Town di Bandung, seperti disinggung di atas, menjadi contoh. Destinasi wisata selfie yang mengusung slogan “The Way to More Happiness” itu ternyata meniru kreasi seniman lain. Ia bagai memindahkan sejumlah instalasi selfie di dunia ke satu kompleks di Bandung, dan membuatnya menjadi lokasi hits baru.
Patricco Sticker Room atau ruangan berhias stiker polkadot warna-warni di Rabbit Town ternyata hampir setali tiga uang dengan Obliteration Room karya seniman Jepang Yayoi Kusama. Sementara Love Light, deretan tiang lampu nan elegan, ternyata ‘kembaran’ Urban Light karya seniman Amerika Chris Burden yang ditempatkan di Los Angeles Country Museum of Art (LACMA). Belum lagi instalasi Pink Ice Cream yang menyerupai karya seni di Museum of Ice Cream, Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
“Kami terinspirasi dan dapat ide dari karya orang. Tapi bentuk dan jumlah (detail instalasi)nya tidak sama,” kata General Manager Rabbit Town, Ferdi Candra, Kamis (29/3).
Rabbit Town & Museum of Ice Cream (Foto: Lish Creative)
Apapun alasan Rabbit Town, Bandung yang dimasukkan UNESCO ke dalam salah satu kota pusat kreativitas dan kewirausahaan inovatif, jadi harus menanggung malu di mata masyarakat dunia.
Hey @rabbittown.id… it’s cool you wanna bring some LA flavor to Indonesia, but blocking the people tagging @LACMA in the comments doesn’t really go with chill west coast vibes. Chris Burden’s Urban Light installation is pretty iconic,” sindir @diet_prada, akun Instagram yang menyoroti plagiarisme di dunia seni.
Konsultan Koleksi Benda Seni Istana Presiden RI, Agus Dermawan, menyesalkan kasus Rabbit Town tersebut. “Ini menimbulkan image bahwa Indonesia, khususnya Bandung, tidak punya seniman kreatif.”
ADVERTISEMENT
Bisnis selfie yang menggiurkan rupanya bikin orang lalai menjaga etika. Meski begitu, Rabbit Town tak lantas sepi. Selfie jalan terus.
Awal Mula Selfie. (Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan)
“Selfie adalah wujud mutakhir kecenderungan narsisisme pada Me Generation,” tulis Yasraf Amir Piliang dalam bukunya, Dunia yang Berlari.
Salah satu ciri dari narsisisme selfie adalah, orang memotret diri bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk dibagikan pada banyak orang di media sosial.
Sekadar contoh kecil, pengguna #selfie di Instagram pada Rabu (28/3) mencapai 338.722.631. Dua hari kemudian, Jumat (30/3), angka tersebut bertambah 188 ribu menjadi 338.911.237 pengguna. Dan itu belum semua, sebab tak seluruh foto selfie menggunakan tagar #selfie.
ADVERTISEMENT
“Orang punya kebutuhan memperkenalkan diri ke banyak orang, dengan terlihat menarik,” kata pakar filsafat teknologi informasi LIPI Ikbal Maulana kepada kumparan.
Teknologi dan media sosial memang mengubah pola hubungan masyarakat. Bila dalam interaksi langsung secara tatap muka, informasi dari tubuh kita (gesture) yang sampai ke orang lain tak bisa diatur cermat karena melibatkan spontanitas, tidak demikian dengan komunikasi via media sosial.
Media sosial membuat penampilan seseorang bisa “dimanipulasi” sesuai yang ia inginkan. Dengan kata lain, tak selalu sesuai realita. Kebutuhan ingin terlihat menarik, misalnya, bisa diselesaikan dengan ragam aplikasi editing foto macam Lightroom, Hypocam, Cymera, Snapseed, dan lain-lain.
Digital cosmetic atau virtual cosmetic memungkinkan orang untuk bisa pakai makeup secara digital. Orang enggak pakai bedak pun bisa dibuat seperti pakai,” kata Ikbal.
ADVERTISEMENT
Makin banyak komentar atau like pada unggahan foto seseorang, artinya kian diakui eksistensi dia di jagat maya.
Republik Selfie (Foto: AFP/Romeo Gacad)
Tapi hati-hati, jangan keranjingan selfie. Sebab penyakit mental mengintai. Ini misalnya terjadi pada seorang remaja Inggris bernama Danny Bowman. Mari simak kutipan ceritanya.
Hari itu saya mengikuti audisi menjadi fotomodel. Lalu mereka bilang bentuk tubuh saya tidak menarik untuk difoto.
Karena merasa tersinggung, setibanya di rumah, saya berdiri di depan cermin dan mengambil foto diri saya sendiri. Saya terus merasa tidak puas. Kemudian tanpa sadar saya telah mengambil tidak kurang dari 30 foto.
ADVERTISEMENT
Pagi harinya, saya selfie 10 kali sebelum mandi, 10 kali lagi setelah mandi, dan 10 lagi setelah menggunakan pelembab. Melihat hasil yang tak kunjung memuaskan, saya pindah ruangan, mengganti pencahayaan, lalu berselfie puluhan kali lagi.
Di Facebook, orang-orang berkomentar hidung saya terlalu besar. Kemudian saya mengambil lebih banyak selfie untuk mendapatkan pengakuan (bagus) dari teman-teman di media sosial.
Begitulah Danny menghabiskan waktunya setiap hari selama dua tahun. Ia mencandu selfie, dan terus gonta-ganti pose serta posisi sampai mendapat foto yang benar-benar sempurna.
Puncaknya, pada Desember 2012, Danny melakukan 200 kali selfie dalam sehari, dan berusaha mengakhiri hidupnya dengan minum obat penenang.
“Saya terus mencari kesempurnaan dalam foto selfie, dan ketika saya tidak juga mendapatkannya, saya merasa ingin mati,” kata Danny kepada Mirror, Maret 2014.
ADVERTISEMENT
Ia yang saat itu berusia 19 tahun lalu divonis mengalami gangguan obsesif kompulsif (kekhawatiran berlebih yang menyebabkan perilaku repetitif) dan gangguan dismorfik tubuh (kecemasan berlebih atas penampilan diri).
Danny harus dirawat dan direhabilitasi.
Danny Bowman setelah sembuh dari candu selfie (Foto: Instagram/@dannyb122)
“Jangan sampai selfie merusak diri dan menjadi beban mental,” kata Ikbal.
Selfie memang kini tak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari. Itu sungguh tak masalah, asal dalam batas wajar, asal tak sampai jadi budak selfie.
Kalau terlalu fokus pada diri sendiri, bagaimana bisa menikmati apa yang ada di sekitar?
------------------------
Ikuti isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.