Kisah Maria Yustina Besarkan Anak Down Syndrome hingga Berprestasi

21 Maret 2019 16:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Stephanie Handojo dan Ibunya. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Stephanie Handojo dan Ibunya. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Stephanie Handojo (27) atlet renang down syndrome mempunyai sederet prestasi nasional dan internasional. Kekuatannya dalam melawan keterbatasan membuat kagum banyak orang.
ADVERTISEMENT
Tetapi untuk meraih semua itu tentu Stephanie Handojo tidak berjuang sendirian. Ada seorang ibu yang tak pernah lelah memberikan dukungan penuh, yaitu ibundanya Maria Yustina (52).
Sejak Stephanie kecil, Maria sudah memikirkan apa saja yang bisa diajarkan ke Fani, sapaan akrab anak sulungnya tersebut.
Maria tidak pernah memimpikan bahwa Fani akan membuat prestasi besar, yang ia inginkan hanyalah agar Fani bisa memahami berbagai hal dasar dan suatu hari bisa mandiri. Jika Fani bisa mengerti sesuatu hal kecil saja rasanya sudah luar biasa buat Maria.
Selain mencoba mengajarkan Fani banyak hal mulai dari mengenal alam, buah, benda dan lainnya, Maria juga berusaha mengenalkan aktivitas yang membantu meningkatkan saraf motorik.
ADVERTISEMENT
Perjuangan Maria mendidik Fani dengan tekun dari kecil ternyata tidak sia-sia. Tidak hanya mandiri, Fani juga berprestasi tinggi sebagai salah satu atlet kebanggan Indonesia.
Untuk merayakan Hari Down Syndrome Sedunia, kumparanSTYLE berbincang dengan Maria Yustina di kediamannya di Kelapa Gading. Maria bercerita bagaimana perjuangan merawat Fani dari kecil hingga dewasa.
Dengan keterbatasan Stephanie sebagai penyandang down syndrome, bagaimana kemudian bisa mengarahkan Stephanie menjadi atlet renang berprestasi?
Ceritanya itu, saya tidak membayangkan Fani bisa seperti ini, apalagi untuk meraih sebuah prestasi itu tidak mudah, tidak semua orang bisa.
Tapi itu memang suatu proses yang panjang, tidak dilalui dengan mudah. Semua dari jerih payah Fani akhirnya membuahkan hasil.
ADVERTISEMENT
Saya merasa itu semua adalah bonus dari Tuhan, yang mana dulunya yang tidak mungkin, akhirnya menjadi mungkin.
Fani punya keterbatasan, down syndrome dan saat itu saya berpikir apa yang harus saya lakukan untuk dia? Supaya dia nantinya bisa mandiri.
Medali Stephanie Handojo Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Usia 1,5 tahun saya mengajaknya berenang. Renang itu sangat bagus untuk anak yang mempunyai berkebutuhan khusus, anak down syndrome. Dengan berenang itu kan akhirnya motoriknya bagus. Lalu saya lihat Fani suka dengan air dan ada kemajuan. Akhirnya usia delapan tahun saya carikan pelatih renang.
Dari situ diajari mulai teknik yang benar, dan dia bergabung di Special Olympic Indonesia pada 2002. Di usia 12 tahun Fani sudah mengikuti lomba. Jadi mulai banyak lomba dalam negeri juga dalam negeri. Puncaknya di Special Olympic World Summer Games, di Athena 2011 dia memperoleh medali emas.
ADVERTISEMENT
Pernah satu kali pada suatu lomba, dia mengalami tenggelam, dan trauma selama tiga tahun tidak mau kembali ke kolam renang. Dia trauma sekali.
Saat itu bagaimana bisa membuat Stephanie kembali renang?
Semua membutuhkan proses panjang, semua tidak ada yang instan. Itu perlu perjuangan, pengorbanan, apapun. Sampai ganti tiga kali pelatih, tapi tidak menghasilkan dia bisa berenang lagi.
Saya sabar, sudah tahun ketiga tidak mungkin kalau terus begini. Dengan terpaksa ini yang harus saya lakukan. Saya paksa, saya turun tangan, dan masuk kolam renang bersama Fani.
Waktu itu saya pegangin. Dia teriak-teriak sampai mungkin orang-orang di sana lihat itu, kok kejam sekali ya Mama-nya seperti itu. Mereka tidak mengerti masalahnya, jadi saya maklumi. Terpenting apa yang harus saya lakukan untuk Fani.
ADVERTISEMENT
Jadi saya merangkul dia supaya harus berdiri. “Fani ini ada Mama. Kamu aman,” saya bilang gitu. “Kamu berdiri di sini, kamu berdiri di sini coba,” Saya merangkul pinggangnya. Dia teriak, mau lari, mau apa. Tapi akhirnya dia mulai menapak. “Nah dari kamu sini, kamu ke pinggir, kamu cepat ke tembok,” Lalu dia renang cepat kepingin mau naik.
Dia mau naik, saya tarik lagi, mulai teriak lagi. Saya ngomong “Kamu sama Mama, pasti aman.” Saya terus kasih support dia, meyakinkan dia pasti pasti bisa. Dulu bisa, sekarang enggak bisa, itu sayang banget.
Stephanie Handojo saat latihan berenang. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Butuh waktu hampir tiga atau empat bulanan. Lalu renangnya mulai menjauh, menjauh, ya bersyukur dia sampai 50 meter. Sampai saya menepi. Itu memang dengan terpaksa saya melakukan itu.
ADVERTISEMENT
Mungkin orang lain tidak sampai tega seperti itu. Tapi saya percaya bahwa dia itu harusnya bisa, karena dia ada ketakutan, dia tidak bisa melakukan.
Akhirnya Fani bisa mengalahkan ketakutannya, itu luar biasa buat saya. Kalau mengingat peristiwa itu saya benar-benar ikut nangis. Sebab mau tidak mau saya harus lakukan itu. Akhirnya dia mulai semangat, dia mulai ikut lomba berikutnya.
Stephanie juga bisa bermain piano, bagaimana awalnya?
Mulai dari kecil saya memang menstimulasi otak kanan dan kirinya. Mulai kecil ketika dia makan, saya suka memutarkan lagu-lagu, sehingga dia senang sekali dengan musik. Saya mulai kenalkan dia dengan piano kecil, supaya mengerti nada.
Anak-anak down syndrome memang sangat bagus diperkenalkan terhadap musik terutama piano. Karena gerakan tangan kanan dan kirinya untuk memainkan piano sangat perlu koordinasi, fokus dan mengikutkan perasaannya. Supaya memainkan lagu dengan baik dan bagus.
ADVERTISEMENT
Di situ dia mulai menyenangi, akhirnya di usia delapan tahun juga saya panggil guru piano. Dia mulai lebih tekun, lebih terarah.
Bisa ceritakan bagaimana proses Stephanie mampu memecahkan rekor MURI?
Pada 2009 dia meraih MURI untuk memainkan 22 lagu non-stop dengan piano.
Awalnya adalah ketika Fani masuk di program televisi swasta, setelah Fani meraih medali emas di Spore National Games tahun 2009. Di acara itu Fani main piano lagu Laskar Pelangi.
Setelah itu saya ditelepon pihak MURI (Museum Rekor Dunia- Indonesia) dan ditantang diberi waktu 1,5 bulan untuk memainkan lagu secara non-stop 22 lagu dengan piano di Semarang. Saya sempat bingung karena tantangan tersebut.
Stephanie Handojo saat memainkan piano. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Setelah saya berunding dengan guru pianonya Fani, saya menyetujui kesempatan ini. Akhirnya saya dan gurunya siapkan Fani untuk MURI. Lagu yang dimainkan Fani itu lagu-lagu klasik, Inggris, Indonesia, Mandarin, Jawa, Pop, dan lagu Natal. Ditambah satu lagu wajib Tanah Tumpah Darahku.
ADVERTISEMENT
Untuk penampilan ini, Fani latihan setiap hari empat sampai lima jam non-stop. Satu jam berhenti, kemudian istirahat sebentar, main lagi setengah jam, kemudian main lagi satu sampai dua jam. Benar-benar latihan yang melelahkan. Tapi Fani tetap semangat.
Saking lelahnya kadang sampai mata Fani jadi juling. Dia itu kalau kelelahan matanya juling karena anak down syndrome lemah otot matanya. Kasihan sekali, tapi dengan istirahat cukup dan saya usap-usap dan relaksasi sekitar matanya baru bisa normal lagi. Seperti itu tiap selama 1,5 bulan.
Bersyukur sekali Fani bisa bekerja sama dengan baik juga guru pianonya. Kita benar-benar harus kompak. Akhirnya Fani berhasil melakukannya.
Banyak sekali prestasi Fani, dan tidak mudah proses latihannya. Apakah Stephanie pernah mengeluh?
ADVERTISEMENT
Saya tahu kalau dia memang capek, jadi saya harus memberikan refreshing sedikit, jadi tidak harus memaksakan. Tapi pada dasarnya dia itu orangnya tekun, dan orangnya tidak bisa tidak melakukan apa-apa. Dia lebih suka kegiatan. Tambah banyak kegiatan, tambah semangat.
Makanya saya arahkan supaya dia tekun, tetap konsisten, dan semangat dia lebih terpacu untuk maju. Jadi saya memberikan hal-hal positif di situ, saya lihat Fani itu pantang menyerah. Memang seperti fight, dia semangat orangnya.
Melahirkan Stephanie, merawatnya saat kecil hingga dewasa seperti ini. Apa tantangan terberatnya?
Apapun dan bagaimanapun keadaan anak saya, itu adalah sebuah anugerah dari Tuhan. Ini yang terbaik diberikan Tuhan, saya menerima dengan apa adanya. Saya tidak akan menyesalinya. Dari Fani kecil sampai dewasa, memang banyak sekali tantangannya, saya tidak bisa ceritakan satu per satu.
Stephanie Handojo dan Ibunya. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Di situ saya tahu bahwa inilah hikmah yang Tuhan berikan pada kami. Saya berkomitmen dengan diri saya, mengabdikan diri untuk kehidupan Stephanie. Dengan cara saya, saya harus mendampingi Fani seumur hidupnya. Saya harus memberi tanggung jawab, supaya dia bisa mandiri dan bisa hidup layak.
ADVERTISEMENT
Peran saya sebagai Ibu ingin memberikan yang terbaik untuk Stephanie, jadi apa yang harus saya lakukan supaya di maju, akan saya lakukan.
Rencana apa yang sudah dibuat supaya ke depannya Stephanie bisa menjadi mandiri?
Saya punya ide dengan Papa-nya untuk membuatkan suatu usaha untuk Stephanie ke depannya. Dia mulai besar dan saya pikir tidak semua orang, perusahaan, yang mau terima dia karena keterbatasannya ini.
Saya buatkan usaha kecil-kecilan yaitu Dress Care Laundry di Kelapa Gading ini. Paling tidak dia bisa ada aktivitas nantinya. Harapan saya dia bisa mandiri secara finansial, jadi tidak sampai merepotkan adik-adiknya. Kan kalau adik-adiknya menikah jangan sampai karena Stephanie jadi tidak enak.
ADVERTISEMENT
Kalau dia punya penghasilan sendiri, dia lebih dihargai. Itu yang saya siapkan untuk Stephanie mulai saat ini dan ke depannya pasti Tuhan kasih jalan lagi. Kita bersyukur saja.
Stephanie Handojo bersama medalinya. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Apa harapan terbesar terhadap Stephanie?
Harapan saya, menginginkan Fani supaya bisa hidup senang, dia bisa hidup sukses. Supaya dia bisa maju dan mandiri. Terutama dia bisa mandiri secara finansial.
Kenapa saya bilang begitu, paling tidak dia bisa hidup layak seperti teman-teman yang lain. Dia bisa bekerja, dia bisa punya penghasilan sendiri. Dia bangga dengan apa yang dia lakukan selama ini. Terutama jangan sampai nantinya dia merepotkan adik-adiknya.
Dengan dia bisa mandiri seperti itu, paling tidak dia bisa menyemangati teman-temannya.
ADVERTISEMENT
Banyak orang yang merasa masih belum bisa terima anak-anak seperti ini (down syndrome). Supaya semangat, anak-anak seperti Stephanie kalau diarahkan dan dibimbing dengan baik, nantinya bisa. Tidak berbeda dengan anak-anak lainnya, dia bisa hidup mandiri. Itu yang paling utama.