Mencecap Pahit Hidup Danarto

18 November 2017 15:23 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kami kira Danarto bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam sekejap--maklum, gaya penulisannya yang kuat dalam membaurkan dunia riil dan non-riil membuat sosok Danarto berselimut kabut magis.
ADVERTISEMENT
Ternyata, hanya kami yang salah alamat. Akibat salah alamat itu, pertemuan yang kami jadwalkan pukul 13.00 WIB mau tak mau meleset setengah jam.
“Saya melambai-lambai (tangan) di sini setengah jam,” kata pengarang berusia 77 tahun itu sambil melukiskan senyum di wajahnya ketika kami temui, Senin (6/11).
Berbalut kemeja putih dan celana panjang abu, tubuh tua Danarto tampak bugar, meski berjalan agak kepayahan. Ia menenteng dua buah kantong plastik ringan berisi sebuah majalah dan beberapa macam makanan.
Danarto, sastrawan Indonesia (Foto: Jacinta Nungky/kumparan)
Danarto mengajak kami ke tempat penjual gado-gado langganannya. Namun, sayang, tak ada lagi porsi tersisa. Dari sini, kami mengetahui kondisi kesehatan membuat Danarto mesti menjaga ketat asupan ransumnya.
“Saya tiap hari harus makan sayuran. Saya belanja brokoli, kacang panjang, dan bayam. Saya rebus di rumah, dimakan dengan sambel pecel,” ujar Danarto.
ADVERTISEMENT
Setiap pagi, ia pergi ke pasar untuk membeli sayur-sayuran. Usia tua sudah tentu menggerogoti kemampuan tubuhnya. Pada 2010, Danarto sempat menjalani operasi pemasangan alat pacu jantung di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Menteng, Jakarta Pusat. Kondisi jantung Danarto yang tak cukup baik itu merenggut waktunya untuk menerima perawatan intensif selama beberapa hari.
Tak sedikit biaya yang mesti dikeluarkan. Padahal Danarto dengan pekerjaannya sebagai pengarang dan pelukis tidak memiliki pundi cukup banyak untuk pembiayaan itu. Maka kolega seprofesi dan pejabat waktu itu membantu Danarto, misalnya Goenawan Mohamad, Bambang Tejo, Wakil Presiden Boediono, dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik.
Penulis dan wartawan Rusdi Mathari, melalui blog pribadinya mengisahkan, saat itu Danarto telentang tak berdaya dalam mobil ambulans bercat abu-abu. Padahal Danarto takut naik ambulans. Dia menganggap “ambulans adalah mobilnya orang mati, kendaraan pengangkut jenazah”.
ADVERTISEMENT
Sontak hal itu mengundang gelitik. Agak lucu memang, lantaran orang semacam Danarto yang kerap menulis cerita fiksi yang bersentuhan dengan dunia spiritual, semacam langit ketujuh atau armageddon, ternyata punya rasa takut naik ambulans.
Penulis dan pelukis Danarto (Foto: Wandha Nur/kumparan)
Dari tempat penjual gado-gado itu, kami diajak Danarto beringsut menuju sebuah pusat perbelanjaan di Cilandak, Jakarta Selatan.
“Kita makan salad di sana. Saya yang bayarin,” kata Danarto menggoda kami yang sebenarnya memang tak keberatan menuruti, hitung-hitung jalan-jalan.
Saat ini Danarto hidup seorang diri di sebuah rumah kontrakan di Pamulang, Tangerang Selatan. Meski kesehatan dan usia membuatnya tak lagi produktif, Danarto tidak ingin dan tidak merasa harus berhenti dari kreativitas melukis dan menulis, “karena nafkahnya dari situ”.
ADVERTISEMENT
“Ya setiap hari (melukis dan menulis), tapi sekarang itu lamban sekali, dan boleh dikata saya tidak produktif,” ujar Danarto.
Danarto memang berupaya mencukupkan semua kebutuhan hidupnya dari menjual lukisan dan tulisan--cerita pendek, esai sastra, dan puisi. Dari kreativitasnya itu, selain untuk kebutuhan sehari-hari, ia gunakan pula untuk membeli buku, peralatan melukis, menghadiri acara di luar kota, sampai menjenguk kerabat yang sakit.
“Misalnya begini, ada teman sakit diopname di rumah sakit, saya kalau besuk itu harus mengoleh-olehi. Itu kewajiban saya. Maka saya menjual lukisan semurah mungkin, supaya laku. Nah, lalu saya belanjakan makanan, buah-buahan, dan buku-buku untuk si sakit itu. Tentu saja masih ada sisa untuk sembako saya,” kata Danarto.
Danarto, sastrawan Indonesia (Foto: Jacinta Nungky/kumparan)
Suatu kali Danarto pernah ingin pergi ke Bali menggunakan pesawat Garuda Indonesia. Padahal ia tak punya uang cukup untuk membeli tiket. Maka ia jual--atau mungkin lebih tepat disebut tukar--lukisannya dengan dua buah tiket pesawat pulang pergi Jakarta-Bali. Tak ayal hal itu membuat bingung kawan-kawannya yang tahu bagaimana sulitnya kondisi ekonomi Danarto.
ADVERTISEMENT
“Seolah-olah kan saya kaya raya. Enggak, kan saya itu miskin. Caranya bagaimana? Caranya saya bilang pada kolektor, ‘Eh, saya mau ke Bali. (Beli) satu lukisan (dong)’. Artinya, lukisan saya dibeli, diganti oleh tiket pesawat Jakarta-Bali pulang pergi,” ujarnya sambil terkekeh.
“Sehingga, mereka (teman-teman) bilang, ‘Kamu itu enggak punya duit kok pakai pesawat Garuda.’ (Saya jawab), ‘Iya, tapi ini pakai lukisan. Saya naik lukisan (ke Bali)’. Ya, kan ada waktunya menjual lukisan secara benar, tapi ada waktunya menjual lukisan diobral,” sambung Danarto.
Kehidupan ekonomi Danarto tak secanggih cerita-cerita yang ia tulis dan mendapat sambutan besar di kalangan para pengarang. Kehidupan pelik dan sulit secara ekonomi ia alami hampir sepanjang hidupnya. Pada 2014, sastrawan Taufik Ismail menyampaikan pada Danarto bahwa ia punya firasat Danarto akan semakin jatuh.
ADVERTISEMENT
Entah bagaimana nasib menggariskan demikian. Lukisan-lukisan Danarto tidak laku, begitu pun cerita-cerita pendeknya. Padahal, ia ketika itu memiliki tanggung jawab untuk menghidupi asisten rumah tangganya yang memiliki anak dan cucu.
“Akhirnya, saya jual TV kepada tetangga yang paling miskin. Saya jual ke dia, lalu (saya jual juga) sepeda, cincin, cermin. Itu cermin kesayangan istri, yang beli istri, saya jual juga.Cermin itu (dijual) cuma Rp 100 ribu. Belum lama itu, 2014 atau 2015,” kata Danarto.
Lukisan Danarto (Foto: Jacinta Nungky/kumparan)
Lukisan-lukisan yang tak laku pun ia jual semurah mungkin dari pintu ke pintu. Belum tentu uang hasil menjual lukisan itu bisa digunakan untuk membeli kanvas ataupun cat untuk melukis lagi.
Kesialan memang tak pandang bulu. Danarto yang sudah mengalami kesulitan ekonomi pernah diputus listrik rumah kontrakannya. Bukan lantaran Danarto tak bayar atau telat bayar listrik, melainkan karena penyewa rumah sebelumnya telah menunggak. Akhirnya, Danarto lah yang mesti membayar tunggakan itu. Sial betul. Betul sial.
ADVERTISEMENT
“Waduh, kacau itu. Kok kebetulan saya yang kena, padahal saya sudah beres bayar ke pemilik rumah. Pemilik rumah enggak mau tahu. Kalau saya tidak beres membayar sewa kontrakan ini sih enggak apa-apa, tapi saya beres lho,” ujarnya.
Masa sulit itu, sampai hari ketika kami bertemu dengannya, belum juga berakhir. Danarto memperkirakan bahwa justru--entah cuma seloroh atau ramalan serius--kesulitan yang tengah ia hadapi itu akan kian berlipat seiring berjalannya waktu. Bersandar pada kepercayaan yang ia peluk, Danarto yakin ia akan terus diuji.
Apa strategi Danarto menghadapi ujian itu? Ah, usia. Danarto yang sudah renta dan memiliki catatan medis kurang baik 10 tahun terakhir ini hanya dapat menguatkan diri dan menyerahkan diri pada untaian doa. Ia sadar, ia hanya “barang ciptaan”.
ADVERTISEMENT
“Apalagi saya ini sudah tua. Tenaga sudah berkurang, pikiran sudah berkurang. Bagaimana harus tetap survive, itu yang saya pikirkan setiap hari,” kata penulis Setangkai Melati di Sayap Jibril itu.
Sejak dulu, Danarto sadar kecil sekali kemungkinan untuk mengalami kehidupan yang mapan secara ekonomi sebagai penulis di Indonesia. Penulis itu, kata Danarto--mungkin agak melebihkan, paling miskin secara finansial. Pemasukan utama dompet Danarto pun justru dari melukis, bukan menulis--meski namanya lebih melambung karena cerita-cerita pendeknya.
Pengalaman hidup sulit sebagai penulis memunculkan gagasan dalam benak Danarto tentang koperasi khusus bagi para penulis. Ia berandai-andai, ada sebuah koperasi yang bisa memberi kemudahan bagi para penulis untuk mendapatkan kebutuhan pokok. Walaupun belum jelas betul bagaimana bentuk dan sistem koperasi yang ada di kepalanya itu.
ADVERTISEMENT
“Pengalaman saya enam tahun di Yogyakarta dan lima tahun di Jakarta ngebon terus itu. Seandainya ada koperasi kan tidak perlu begitu. Tapi bentuknya seperti apa koperasi itu, apa kuat koperasi itu menerima beban itu. Banyak sekali kan penulis. Misalnya, 50 orang yang ngebon saja tiap minggu mengambil sembako, apa kuat koperasi itu,” ujarnya berandai-andai.
Buku-buku karya penulis Danarto (Foto: Instagram @penerbitdivapress)
Mungkin nasib Danarto bisa berbeda jika ia menulis buku-buku populer yang memiliki ceruk pasar lebih luas. Tetapi, aduh! Coba saja baca buku-buku Danarto. Ceritanya yang absurd, berat, dan cenderung mengawang-awang itu hanya membuka peluang pasar yang tak seberapa!
“Sebenarnya buku-buku saya tidak begitu laku,” kata Danarto.
Nah, penulisnya saja tahu!
“Buku Godlob itu pernah misalnya sekian puluh buku dimakan rayap, hancur. Itu risiko, bahkan oleh pemilik toko buku pun itu tidak dirawat.”
ADVERTISEMENT
Beruntung banyak buku Danarto yang saat ini diterbitkan ulang oleh beberapa penerbit. Sehingga royalti dari penjualan buku-bukunya bisa menggemukkan kantong celana tempat ia menyimpan sebagian uangnya.
“Saya kuno ya, tidak pakai dompet,” katanya di antara perbincangan kami.
Setelah menghabiskan salad dan membaca sebuah majalah, Danarto mampir ke toko roti. Ia membeli sebuah roti panjang ala Prancis alias baguette. Ia minta kepada pelayan untuk memotong-motong roti itu agar bisa masuk ke dalam tas jinjingnya. Namun, satu-dua menit berlalu dan pelayan toko yang sedang sibuk itu tak juga melayaninya.
Tanpa suara apapun, ia potong roti itu menjadi dua bagian dengan tangan, lalu ia masukkan ke dalam kantong jinjing. Roti itu ia simpan untuk persediaan makanan di rumah kontrakan tempat ia beristirahat dan menggarap lukisan serta tulisan realisme magisnya.
Danarto di toko buku. (Foto: Wandha Nur/kumparan)
Sore menjelang malam hari, ketika percakapan kami berakhir, Danarto meminta kami untuk mengantarnya ke toko buku di sebuah mal sebelum kembali ke rumah kontrakannya.
ADVERTISEMENT
“Hanya lima menit ya di toko bukunya,” kata Danarto kepada kami saat perjalanan.
Tapi ternyata, “Dari lima menit jadi satu jam, ya,” seru Danarto tertawa sambil menenteng tiga buku yang ia beli.
Buku-buku yang ia beli itu akan menambah koleksi pada empat rak buku besar Danarto yang berdiri tegas di salah satu ruangan di rumah kontrakannya. Tak perlu diragukan, ia memang seorang kutu buku.
“Saya masih belanja-belanja buku sampai sekarang, meskipun daya baca saya merosot sekali. Saya membaca lima buku sekaligus, untuk mengejar umur,” kata Danarto.
“Umur saya ini kan tidak terkejar (banyak pengetahuan). Walaupun 10 buku saya baca sekaligus, tidak akan terkejar. Kalau saya nanti selesai (meninggal), kan banyak buku belum terbaca. Sekarang saya sedang baca novel, buku agama, puisi, buku ilmiah, dan komik,” sambungnya.
Danarto, sastrawan Indonesia (Foto: Jacinta Nungky/kumparan)
Rona wajah Danarto tampak segar ketika kami bertanya perkara keinginannya dalam hidup yang belum terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Danarto mejawab, “Saya itu ingin sekali menjadi sutradara film sebenarnya, walaupun cuma sekali. Tapi kelihatannya tidak akan kesampaian, karena tidak ada orang berduit percaya kepada saya bahwa saya bisa bikin film bagus. Itu yang saya kira tidak akan tercapai. Padahal saya sudah empat kali menjadi co-director film layar lebar. Sekarang menyutradarai film layar lebar pun mampu, tetapi tidak ada kesempatan, ya sudah.”
Ia paham betul, dalam hidup ini, tak semua keinginan dapat terwujud. Bahkan mungkin banyak yang tak tergapai. Itulah kehidupan--menjalani dan merelakan.