SQUARE, LIPSUS WELCOME 2020, Ilustrasi resolusi

Mengapa Resolusi Tahun Baru Kerap Gagal?

31 Desember 2017 13:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Resolusi 2020. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Resolusi 2020. Foto: Shutterstock
Di suatu malam tahun baru, Alina Dizik membuat sebuah resolusi bagi dirinya: untuk tidak mudah terdistraksi dengan gawai pintar miliknya.
“Aku tidak akan mudah terganggu dan terdistraksi untuk mengirimkan pesan atau melihat media sosial di gawaiku. Aku akan tetap mawas dan hadir di sini, menikmati momen ini,” kata Dizik dalam artikelnya di BBC.
Namun ternyata, mewujudkan resolusi tak pernah semudah membicarakannya. Sudah empat tahun belakangan harapan itu secara konsisten masuk dalam resolusi tahun baru Dizik. Secara konsisten pula, resolusi itu gagal dari tahun ke tahun.
Dizik bukanlah satu-satunya.
Seperti Dizik, beberapa dari kita sudah menyiapkan sederet panjang resolusi untuk tahun depan—walau sebagian besar lain memutuskan untuk hidup ‘seadanya’.
Dalam Journal of Clinical Psychology, John Norcross dan timnya menemukan 50 persen dari responden menyempatkan diri untuk membuat resolusi tahun baru. Jenis resolusi yang paling sering muncul adalah: 1) penurunan berat badan, 2) disiplin olahraga, 3) berhenti merokok, 4) manajemen keuangan yang lebih baik, dan 5) mengurangi utang.
Bagi Anda yang tidak ingin repot membuat resolusi, tak perlu khawatir tertinggal jauh ketimbang mereka yang sudah punya target di tahun mendatang. Kemungkinan besar, rentetan resolusi tahun baru mereka tak akan berusia lebih lama dari garansi handphone Anda.
Toh, studi yang digarap Statistic Brain dari University of Scranton dan dilansir Forbes menunjukkan hanya 8 persen orang yang mampu mewujudkan resolusi tahun barunya.
Tak hanya tentang kecilnya ‘angka keberhasilan’ resolusi, sebuah artikel lansiran US News menyebutkan temuan menyedihkan lain soal resolusi tahun baru. Dari artikel tersebut, setidaknya 80 persen resolusi seseorang sudah akan gagal tak lama setelah malam pergantian tahun, yakni di minggu kedua bulan Februari.
Alasan gagalnya? Tentu saja bermacam-macam.
Ilustrasi resolusi di tahun 2020. Foto: Shutter Stock
Profesor psikologi dari Carleton University, Timothy Phycyl, menyebut resolusi sebagai bentuk dari ‘penundaan’ yang menjadi budaya. Resolusi menjadi salah satu cara memotivasi diri, dengan menganggapnya sebagai upaya untuk menemukan dirinya yang ‘baru’.
Namun begitu, Phycyl berargumen bahwa manusia cenderung tak siap untuk mengubah kebiasaan, terutama yang buruk. Kecenderungan ini lantas memicu kegagalan resolusi yang lebih ambisius.
Selain disebut sebagai ‘penundaan’ berbasis budaya, resolusi tahun baru erat kaitannya dengan sindrom ‘harapan palsu’. Sindrom ini adalah sebuah kondisi di mana harapan dan target yang dibuat ternyata tak realistis. Resolusi itu bahkan kadang tak sesuai dengan penilaian internal terhadap diri mereka sendiri. Ini, tentu saja, meningkatkan angka kegagalan tercapainya resolusi tahun baru.
Aspek lain yang menghambat terwujudnya resolusi adalah cara pikir ‘jika-maka’ yang tertanam dalam benak.
Misalnya, seseorang percaya bahwa jika ia mampu mencapai resolusi penurunan berat badan dan rutin berolahraga, maka hidupnya akan sepenuhnya berubah. Namun, jika ‘hidup baru’ yang diimpikan tak terjadi, ia akan merasa sia-sia dan kembali menjalani kebiasaan lama.
Padahal, perubahan tak pernah terjadi hanya dalam satu langkah, melainkan melalui langkah-langkah kecil yang tegas dan konsisten.
Bagi sebagian besar orang, alih-alih menjadi motivasi dan penyemangat berkembang, membuat resolusi tahun baru malah menjadi bumerang bagi diri sendiri.
Menurut Joseph Luciani, seorang psikolog yang ahli dalam hal pembinaan diri, kegagalan seseorang dalam mewujudkan resolusi justru akan membuatnya dihantui bayangan kegagalan yang akhirnya mempersulit seseorang menjalankan hidupnya kembali.
"Dalam benak, kita pun berpikir 'ini terlalu sulit'," kata Luciani. Akhirnya, kita merasa lebih putus asa untuk menetapkan tujuan baru di tahun selanjutnya.
Merasa Depresi (Foto: Thinkstock)
Selain karena tingginya harapan yang ternyata tak realistis, resolusi pun bisa gagal tercapai karena faktor lain, seperti kurangnya dukungan untuk mewujudkan resolusi itu sendiri.
Misalnya saja resolusi untuk berhenti merokok. Ini adalah salah satu jenis resolusi yang paling sering dibuat namun juga sering sekali gagal dicapai. Apabila ia tak memiliki sistem dukungan yang cukup—dalam bentuk teman yang juga ingin berhenti merokok, resolusinya itu kemungkinan besar akan gagal.
Tak hanya ihwal kawan dan lingkungan, kemampuan untuk membagi waktu juga menjadi salah satu poin kunci dalam 'menentukan’ keberhasilan (dan kegagalan) sebuah resolusi.
Seseorang kerap gagal mewujudkan resolusinya karena tidak bijak dalam membagi waktu. Waktu untuk mengerjakan kewajiban atau tanggung jawab bertabrakan dengan waktu untuk merealisasikan resolusi. Akhirnya, dengan alasan tak ada waktu, resolusi lagi-lagi menjadi hiburan tahun baru semata.
Selain itu, cara pandang yang salah tentang sebuah resolusi pun berpengaruh besar terhadap tidak tercapainya resolusi secara maksimal.
Fokus terhadap sebagian resolusi yang gagal kerap membuat seseorang lupa akan apa yang pernah ia capai sebelumnya. Sehingga, alih-alih fokus pada apa yang sudah dicapai dan yang masih bisa dilakukan, seseorang malah cenderung dirundung frustrasi karena gagalnya beberapa poin dari keseluruhan resolusi.
Memang, tidak ada yang salah dengan membuat sebuah resolusi. Bisa jadi ia mampu mendorong dan memperkuat motivasi seseorang untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Hanya saja, seberapa teguh kita mengupayakan resolusi yang sudah dibuat?
Akankah Anda menjadi sedikit yang berhasil, atau malah menjadi 80 persen yang gagal?
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten