Perang Topat: Mempersatukan Perbedaan

27 Juni 2017 17:32 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perang Topat Lombok Barat (Foto: Antarafoto/Ahmad Subaidi)
zoom-in-whitePerbesar
Perang Topat Lombok Barat (Foto: Antarafoto/Ahmad Subaidi)
ADVERTISEMENT
Namanya Perang Topat.
Ia bukanlah Lebaran Topat yang diperingati tujuh hari setelah tanggal 1 Syawal, dan dirayakan lebih meriah dengan makan ketupat bersama dan berlibur di pinggir pantai usai berziarah.
ADVERTISEMENT
Ia tak seperti perang lainnya yang dikenal lekat dengan perkelahian, konflik, pertempuran, atau cara mengungkapkan permusuhan. Ia justru penuh rasa syukur, harapan, dan semangat persatuan.
Di permukaan, Perang Topat seperti perang pada umumnya: ada “pasukan” yang siap berperang. Mereka adalah masyarakat Sasak di Lombok Barat, baik yang beragama Islam ataupun Hindu. Senjata yang digunakan adalah ketupat, atau topat dalam bahasa Lombok.
Mereka pun saling lempar, bukan dengan kebencian tapi justru dengan semangat kebersamaan, ungkapan syukur pada Tuhan. Ketupat yang dilemparkan itu nantinya untuk ditancapkan di sawah hingga mengering dengan harapan hasil panen berikutnya akan melimpah ruah.
Perang Topat berada dalam satu rangkaian dengan Upacara Pujawali. Ia adalah bagian dari ritual tak terpisahkan dalam upacara yang bertujuan sebagai ungkapan syukur atas limpahan berkah dari sang pencipta.
ADVERTISEMENT
"Kalau tak ada Pujawali, Perang Topat tak kan dilaksanakan karena Perang Topat satu rangkaian dengan pelaksanaan Pujawali. Prosesi ini tak bisa dipisah-pisah,” kata I Gde Mandia, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Nusa Tenggara Barat.
Di antara 365 hari dalam setahun, masyarakat Sasak memilih tanggal dan hari Purnama Bulan Ketujuh dalam Kalender Sasak, yang biasanya jatuh pada bulan November-Desember, waktu setelah panen dan sebelum masuk musim tanam, untuk pelaksanaan Pujawali. Sementara Perang Topat sendiri biasanya dilaksanakan pada sore hari, setelah salat ashar atau dalam bahasa Sasak rarak kembang waru yang berarti gugur bunga waru.
Masyarakat Lombok memiliki kepercayaan bahwa gugurnya bunga waru pada sore hari sebagai bentuk kepatuhan pada hukum alam semesta. Bunga waru memiliki keunikan, ia dianggap sebagai perlambang jam biologis. Pada pagi hari warnanya akan kuning secerah mentari, beranjak siang warna bunga akan menghangat. Berujung pada waktu sore, warnanya akan semerah jingga. Lalu gugur, jatuh ke tanah.
ADVERTISEMENT
Waktu selama 30 menit di senja hari purnama ketika gugurnya bunga waru pun menjadi waktu sakral. Pada momen terbatas itulah Perang Topat, sebagai ungkapan bersyukur secara bersama-sama, diselenggarakan.
Bukan hanya pemilihan waktu, pilihan tempat diselenggarakannya Perang Topat pun memiliki makna yang mendalam yang juga tak bisa dilepaskan.
Adalah Pura Lingsar lokasi penyelenggaran rangkaian Upacara Pujawali serta Perang Topat selama lebih dari 250 tahun terakhir.
Pura Lingsar Lombok Barat (Foto: lombokbaratkab.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Pura Lingsar Lombok Barat (Foto: lombokbaratkab.go.id)
Siti Sarah, seorang arkeolog dari Nusa Tenggara Barat, menceritakan bahwa Perang Topat tak bisa dipisahkan dari Taman Lingsar. Taman Lingsar mulai dibangun pada 1759, oleh Raja Ketut Karangasem dari Bali, di tahun berakhirnya kekuasaan Mataram.
Pembangunan Taman Lingsar ini bertujuan untuk menyatukan, secara batiniah, masyarakat Sasak Lombok yang menganut Islam dengan wetu telu dan warga Bali yang beragama Hindu.
ADVERTISEMENT
Wetu Telu adalah kepercayaan yang tumbuh ketika awal mula perkembangan penyebaran Islam di Lombok. Saat itu Sunan Prapen, yang merupakan keturunan dari Sunan Giri, bertugas untuk menyebarkan syiar Islam di Lombok. Namun, Sunan Prapen yang masuk dari wilayah barat hingga ke bagian utara, belum secara utuh menyebarkan ajaran Islam.
"Para walisongo itu ketika dia menyebarkan agama Islam penuh strategi, ada yang lewat wayang, ada yang lewat makanan. Tidak langsung dengan kewajiban salat lima waktu," ujar Siti Sarah kepada kumparan (kumparan.com) via telepon, Rabu (20/6). Sehingga terjadi akulturasi budaya antara animisme-dinamisme, Hindu, Budha, hingga awal masuknya Islam di Lombok.
Oleh karenanya di dalam komplek bangunan Taman Lingsar ini terdapat pura yang disebut Gaduh bagi penganut Hindu dan Kemaliq yang berarti keramat bagi penganut Wetu Telu. Kemaliq ada terlebih dahulu dan diyakini sebagai tempat moksa Datuk Sumilir, seorang pendakwah Islam di Lombok pada sekitar abad XV, setelah menancapkan tongkatnya di lokasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Titik lokasi menancapnya tongkat itu menyemburkan air atau yang disebut lingsar oleh masyarakat Sasak. Sebelumnya, daerah itu adalah area yang gersang, namun munculnya mata air yang tak pernah kering menjadikan daerah tersebut subur hingga sekarang.
Gaduh dan Kemaliq boleh dipakai kapan saja sesuai keperluan agama masing-masing, tetapi sekali dalam setahun diadakanlah upacara bersama, yakni Perang Topat.
Maka, Lingsar menjadi salah satu contoh perwujudan sinkretisme tersebut. Bangunannya yang berundak, memiliki tingkatan tertentu. Makin tinggi undakan, artinya semakin sakral. Polanya pun memusat, di mana bagian tengah lebih sakral, dan bagian luar sekelilingnya semakin profan.
"Walaupun tempatnya kecil tapi (Lingsar) menjadi perwujudan dari beberapa golongan yang menjadikan itu tempat suci. Tempat suci yang dipuja oleh 3 kepercayaan," paparnya.
ADVERTISEMENT
Perang Topat, menjadi simbol persatuan, perdamaian dalam akulturasi budaya, yang menyatukan beragam perbedaan.
Persiapan Perang Topat (Foto: lombokbaratkab.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Persiapan Perang Topat (Foto: lombokbaratkab.go.id)