Perempuan Inspiratif: Aktivis dan Dosen Filsafat Saras Dewi

14 November 2018 14:56 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
ADVERTISEMENT
Alunan lagu Lembayung Bali di tahun 2002 sempat melambungkan nama Saras Dewi, salah satu perempuan inspiratif Indonesia. Album berjudul Chrysan, meraih sukses dengan terjual 30 ribu kopi dan masuk nominasi AMI Award untuk kategori Best Ballad serta Best Single.
ADVERTISEMENT
Tergolong sebagai one-hit wonder, Saras Dewi tak melanjutkan langkahnya sebagai penyanyi komersil. Ia malah mundur dan akhirnya fokus menjadi seorang pengajar filsafat, profesi yang telah ia idamkan sejak lama.
Mbak Yayas, begitu sapaan yang disematkan oleh mahasiswa dan koleganya, sempat menjadi ketua Program Studi Filsafat di Universitas Indonesia tempatnya mengenyam pendidikan (2010 - 2016).
Saras meraih gelar doktor filsafat pada usia 29 tahun, istri musisi Coki Bollemeyer tersebut amat menikmati peran sebagai pengajar. Tak hanya filsafat, ia juga banyak menulis di beberapa topik mengenai sastra, feminisme, HAM, filsafat timur dan isu-isu lingkungan.
Kiprahnya dalam dunia sastra juga terukir dari terpilihnya ia secara berturut-turut sebagai juri untuk penghargaan sastra bergengsi Khatulistiwa Literary Award dan juga merupakan anggota dewan pengarah untuk ASEAN Literary Festival.
ADVERTISEMENT
Saras juga seorang aktivis lingkungan, ia terlibat dalam perjuangan melawan reklamasi di Teluk Benoa, sebuah proyek pariwisata megastruktur yang mengancam kelestarian dan keseimbangan ekologis dan kehidupan spiritual masyarakat Bali. Tak hanya itu, ia juga berjuang bersama para perempuan petani dari Gunung Kendeng di Jawa Tengah untuk memperjuangkan dan menjaga tanah mereka dari hantaman industri semen. Bahkan baru-baru ini perempuan kelahiran Denpasar, 16 September 1983 tersebut ditantang untuk menjadi penyaji pidato kebudayaan. Pidato kebudayaan merupakan sebuah tradisi yang mulai ada sejak 1968 sebagai bagian perayaan ulang tahun Taman Ismail Marzuki. Para penyaji pidato berusaha menjawab tantangan yang tengah melanda Indonesia dengan pemikiran-pemikiran jernih dari perspektif kebudayaan.
Beberapa waktu lalu kumparanSTYLE pun berkesempatan menyambangi tempat kerja Saras Dewi di FIB Universitas Indonesia. Di tengah kesibukannya mengajar dan melakukan riset, kami berbincang mengenai bagaimana dirinya berproses. Mari simak kisah hidupnya.
ADVERTISEMENT
Kecintaan Terhadap Filsafat
Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Tumpukan buku, lukisan, dan barang-barang kesukaan tertata rapi di meja kerja Saras Dewi. Pernak-pernik tokoh kartun asal Jepang Doraemon cukup mendominasi tiap sudut meja kerjanya. Seketika kami tahu, Saras Dewi adalah Doraemon fangirl.
"Ini adalah salah satu kegemaran saya selain filsafat, mengoleksi hal-hal yang identik dengan Doraemon, kadang juga Totoro," ujarnya seraya menebar senyum.
Matanya yang bulat kerap memandang menyeluruh ke ruangan kerjanya di lantai tiga gedung tujuh Prodi Filsafat Universitas Indonesia, Depok. Seraya menggali ingatan beberapa belas tahun kebelakang akan masa kecilnya di Pulau Dewata.
"Dibesarkan di Bali sejak kecil membuat kesenian menjadi bagian dari hidup saya. Waktu pindah ke Jakarta dikenalkan oleh Bibi dengan Purwacaraka dan Anang waktu itu. Hingga akhirnya sempat membuat satu album berjudul Chrysan. Tapi memang panggilan hati lebih ke pendidikan karena dari dulu sekali memang suka baca buku. Kepindahan saya dari Bali ke Jakarta memang dengan tekad untuk mengambil sekolah filsafat," ujar perempuan bernama lengkap Luh Gede Saraswati Putri tersebut.
ADVERTISEMENT
Sejak kecil, Saras dikenal oleh almarhum kakek sebagai gadis yang gemar menanyakan berbagai hal, singkat kata, kritis. Tak ayal keluarga sampai kewalahan untuk meladeni berbagai pertanyaan yang dilontarkan Saras kecil.
"Di umur yang sangat dini, saya pernah bertanya kepada orang tua saya tentang apa sih makna manusia hidup? Awalnya orangtua saya heran dan kerepotan jika pertanyaan sejenis itu saya lontarkan. Rasa ingin tahu yang besar bahkan terkesan annoying, sangat membuncah di masa-masa tumbuh kembang saya.
Namun untungnya keluarga menanggapi itu semua dengan anggapan bahwa rasa ingin tahu itu memang harus dikembangkan. Saat memasuki bangku kelas menengah atas, saya berfikir kira-kira bidang ilmu apa yang dapat menampung rasa ingin tahu saya. Oh, ternyata ada yang namanya filsafat. Sejak itu saya jatuh cinta dan ingin belajar filsafat terus seumur hidup tidak habis-habis, kebetulan keluarga (Khususnya kakek saya) mendukung akan hal itu. Akhirnya saya pun mengambil kuliah filsafat di tahun 2001," papar Saras.
ADVERTISEMENT
Perempuan yang telah mulai membaca buku Plato saat SMA ini berujar, kariernya di dunia akademik dimulai saat ia ditawari untuk menjadi asisten dari dosen yang sangat ia teladani. Memasuki tahun 2006, saat usianya masih 23 tahun ia mendapat tawaran untuk mendapat beasiswa S2 ikatan kerja di UI. Setelah lulus, Saras pun mengajar cukup lama dan melanjutkan S3 yang selesai di tahun 2012 kemarin.
Perempuan di Dunia Filsafat
Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Tak banyak perempuan di Indonesia yang memiliki gelar doktor filsafat. Beberapa stigma dan anggapan terhadap ilmu filsafat itu sendiri yang membuatnya terkesan tidak 'ramah' terhadap kita (tak hanya saja perempuan).
"Filsafat itu kan stereotipikalnya ilmu yang sangat laki-laki ya, maskulin. Penggiatnya sebagian besar didominasi oleh laki-laki. Namun ketika melihat guru-guru saya seperti seperti Profesor Toeti Heraty, guru besar Gadis Arivia, dan filsuf Karlina Supelli yang berasal dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, saya jadi terinspirasi dan menyadari bahwa diperlukan banyak perempuan di dunia filsafat yang punya kiprah di bidang keilmuan filsafat," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Saras, tak hanya di kalangan perempuan, tapi di masyarakat umum pengertian tentang ilmu filsafat masih belum dipahami secara menyeluruh.
"Saya rasa selain stigma bahwa filsafat adalah ilmu yang tidak ramah terhadap perempuan, juga ada stigma mengenai fungsi dari ilmu filsafat. Itu adalah dua hal stigma yang ingin kami ubah dari departemen filsafat. Bahwa filsafat itu menjejak ke bumi, pendekatannya dapat terhubung dengan disiplin ilmu lainnya yang bisa jadi pemahaman dasar dari ilmu-ilmu lainnya," lanjutnya.
Sebagai contoh Saras menjelaskan, kerangka berpikir kritis yang dibangun dalam filsafat dapat menjadi jawaban dalam memecahkan suatu permasalahan. Misalnya dalam gerakan #metoo movement yang sekarang marak. Di Indonesia kasus-kasus soal kekerasan dan pelecehan seksual juga makin mencuat.
ADVERTISEMENT
"Dengan pendekatan filsafat dapat membuat basis filosofis, apa sih sebenarnya yang terjadi di balik kekerasan seksual. Oh, di sana ada relasi kuasa yang timpang. Dalam hal ini filsafat sebagai kerangka berpikir kritis melakukan elaborasi dengan ilmu disiplin lain seperti hukum, psikologi, dan budaya untuk membedah itu semua. Lebih jauh lagi, dari sisi ilmiah, apa sih sebenarnya yang terjadi dengan ketimpangan atau inequality yang ada di masyarakat. Ketimpangan gender yang ada di masyarakat, itu semua sangat terkait dengan cara berfikir kritis dalam filsafat," jelas Saras.
Aktivis Lingkungan
Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
"Cinta sejati saya adalah Teluk Benoa. Pertemuan kami pertama kalinya terjadi pada saat saya masih kanak-kanak. Kakek dan Nenek mengajak saya melakukan Segara Kertih, yaitu persembahyangan serta napak tilas ke berbagai pura yang terletak di pesisir Bali. Cinta dari perjumpaan pertama itu tidak surut oleh waktu. Meski saya berada jauh di kota untuk merampungkan studi," begitu bunyi kutipan Saras Dewi di pidato kebudayaan sembaHYANG Bhuvana di Teater Jakarta TIM, (10/11) lalu.
ADVERTISEMENT
Kedekatannya dengan lingkungan hidup telah tertanam sejak kecil. Alam merupakan personifikasi dari kepercayaan yang ia yakini sehingga menjadi suatu kewajiban untuk menjaga keseimbangannya.
Di tahun 2013, pemerintah daerah Bali bersama investor hendak membangun mega proyek pariwisata di perairan Teluk Benoa yang mengancam ekosistem alam sekitar. Sontak hal tersebut menimbulkan kekalutan pada diri Saras. Ia pun terlibat dalam perjuangan melawan reklamasi di Teluk Benoa. Setelah melewati berbagai aral serta rintangan, Teluk Benoa dinyatakan oleh Pesamuhan Sabha Pandita sebagai kawasan suci, komite khusus yang beranggotakan para pendeta Hindu yang mengkaji bahwa Teluk Benoa merupakan kawasan sakral yang harus dipertahankan.
Kesucian dalam konteks Teluk Benoa dapat dipahami secara kritis. Alam dipandang sebagai sesuatu yang sakral tetapi kesakralan ini datang dari suatu kesadaran bahwa alam yang seimbang dan lestari akan merawat manusia menjadi lebih baik.
ADVERTISEMENT
Melalui disertasinya, Ekofenomenologi, setidaknya Saras Dewi dapat mengkontribusikan kajian ilmiah mengenai teori-teori filsafat yang bisa digunakan untuk memperkuat argumen lingkungan hidup.
"Khususnya mengenai persoalan Teluk Benoa, saya menolak reklamasi bukan karena semata-mata karena saya sayang dengan Teluk, tapi memang ada kajian ilmiah, bukti atau argumentasi yang kuat soal dampak lingkungan hidup bahwa teluk juga punya hak biotik. Mereka bukan objek semata tapi juga subjek seperti kita manusia," jelasnya.
Menurut Saras, di saat orang perlu dikuatkan soal argumen lingkungan hidup, pendekatan secara ekofenomenologi dapat dijadikan kerangka berpikir untuk memperkuat argumen lingkungan hidup yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Seorang Workaholic
Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Di tengah kesibukannya mengurus keluarga, suami, mahasiswa, dan 24 anjing hasil penyelamatan di rumahnya. Saras selalu menyempatkan diri untuk membaca buku, selain itu merupakan kewajibannya sebagai akademisi, ia juga terlampau cinta dengan buku.
ADVERTISEMENT
Tulisan karya Aldo Leopold dan Upanishad adalah dua buku yang paling Saras sukai.
“Setiap saya baca Upanishad selalu saja ada kaitannya dengan problema yang terjadi saat ini yang ada di sekitar kita, padahal buku itu sudah ribuan tahun lalu ada. Jadi Upanishad itu sangat timeless tidak lekang oleh waktu,” ujar Saras.
Selain itu, sebagai akademisi Saras Dewi juga memiliki kewajiban publikasi riset.
“Saat ini saya sedang dalam tahap pengembangan publikasi hasil riset yang sedang saya lakukan beberapa waktu lalu. Hal ini memerlukan waktu yang lama, karena saya merancang cara agar hasil kajian ini dapat disampaikan ke masyarakat dengan bahasa yang lebih luwes,” jelas Saras.
Selain itu, disertasi 'Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam' juga telah diterbitkan dalam bentuk buku oleh Marjin Kiri dan kini sedang dalam proses penerjemahan ke bahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
Kemudian buku puisinya yang berjudul Kekasih Teluk juga sudah dipublikasikan oleh PBP dan telah diterjemahkan oleh penerjemah senior Debra Yatim. Buku tersebut baru saja dirilis saat Ubud Writer Festival kemarin dan mendapat apresiasi yang cukup bagus.
"Tak sekadar menerbitkan buku, PBP ini memang menerbitkan buku yang spesialisasinya penulis perempuan. Di sini kami berupaya melakukan subsidi silang untuk saling membantu perempuan lainnya di wilayah Indonesia Timur yang memiliki kendala dalam menerbitkan karyanya," papar perempuan yang mengaku sebagai workaholic ini.
Simak cerita perempuan inspiratif lainnya di topik sheinspiresme.