news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Perjalanan Stephanie Handojo, Atlet Down Syndrome Berprestasi Dunia

21 Maret 2019 8:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Stephanie Handojo bersama medalinya. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Stephanie Handojo bersama medalinya. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Banyak yang bilang bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Bisa saja kesempurnaan itu datang dari dia yang menerima segala kekurangan dalam hidupnya.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana jika Anda melihat seorang down syndrome? Mungkin saja akan terbesit pikiran negatif atau rasa kasihan. Lalu muncul pertanyaan, ‘akan jadi apa nanti?’
Seorang perempuan bernama Stephanie Handojo bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Anak pertama dari tiga bersaudara yang sekarang berusia 27 tahun tersebut terlahir dengan kondisi down syndrome
Down syndrome merupakan gangguan genetika. Dan anak yang terlahir dengan kondisi down syndrome biasanya mempunyai perbedaan dalam kemampuan belajar. Kelainan yang berdampak keterbelakangan perkembangan fisik dan mental.
Stephanie Handojo. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Terlahir sebagai penyandang down syndrome tentu membuat Stephanie Handojo yang biasa dipanggil Fani, menjalani kehidupannya yang berbeda dari orang biasanya.
Di awal usia belajar, Fani tidak bersekolah di TK umum. Ia diajarkan menulis, membaca, dan komunikasi oleh ibunya sendiri, Maria Yustina (52). Perjuangan tak ada hentinya dilakukan Maria untuk kemajuan Fani. Perannya sebagai seorang ibu ingin memberikan yang terbaik untuk Stephanie. Apapun harus dilakukannya agar putri pertamanya bisa maju.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, di usia lima tahun Fani sudah bisa komunikasi dua arah dan masuk sekolah umum di bangku kelas tiga SD.
Bertekad agar anaknya bisa tumbuh seperti anak-anak lain, Maria mencari-cari kegiatan apa yang bisa mengembangkan kondisi anak sulungnya, terutama dalam hal motorik, sebab down syndrome lambat terhadap gerakan.
Saat kecil Fani senang bermain air, seperti memindahkan air ke dalam botol. Melihat itu, Maria mendapatkan ide untuk mengajarkan Fani berenang. Ia pun mencarikan pelatih untuk mengajarkan Fani renang. Menurut Maria, olahraga renang akan sangat bagus untuk motorik Fani.
“Dari kecil diajarkan Mama berenang, karena saya suka air. Kata Mama renang bagus buat saya, untuk melatih motorik supaya kuat,” kata Fani saat ditemui kumparan di kediamannya beberapa waktu lalu.
Stephanie Handojo saat latihan berenang. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak usia delapan tahun, Fani pun rutin mengikuti latihan renang. Hanya saja, saat mengikuti suatu lomba, Fani pernah tenggelam. Sejak itu, selama hampir tiga tahun ia trauma dan tidak mau mendekat ke kolam renang lagi. Tapi Maria terus berusaha menyemangati Fani .
Dukungan dari sang ibu membuat Fani kembali bangkit. Dengan gigih Fani terus berlatih. Dalam seminggu ia melakukan empat kali latihan renang, dan minimal harus menempuh jarak 2,5 km. Fani berlatih teknik renang yang baik dan dilatih khusus untuk penguatan stamina.
Hanya saja jika Fani terlalu kelelahan atau lama berkonsentrasi, matanya akan menjadi juling. Ini memang biasa dialami penyandang down syndrome. Mereka memiliki otot yang lemah, termasuk otot di sekitar matanya.
ADVERTISEMENT
Bagi Fani itu tidak masalah, karena dengan istirahat sebentar akan mengembalikan matanya seperti semula. Fani pun bisa melanjutkan latihannya. Menurut sang ibu, ia adalah tipe orang yang pantang menyerah dan tekun dalam melakukan sesuatu.
Stephanie pun mulai mengikuti lomba sejak usia 12 tahun. Dimulai dari lomba daerah, provinsi, Pekan Olahraga Cacat Nasional (Porcanas), hingga Pekan Olahraga Nasional (Pornas) pada 2010 lalu ketika Fani sudah berusia 19 tahun. Pada lomba tersebut Fani mendapatkan peringkat 1 untuk kategori renang gaya dada 50 meter. Juara utama itu membawa Fani ke Special Olympics World Summer Games 2011 di Athena. Tanpa diduga, dalam perlombaan bergengsi tersebut ternyata Fani meraih medali emas.
“Mulanya tidak terpikirkan, akhirnya terwujud karena dia juga punya kegigihan dan ketekunan,” ucap sang ibunda Maria Yustina.
Stephanie Handojo dan Ibunya. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Apa yang dilakukan Fani memang luar biasa. Dia belum pernah merasa ingin menyerah dengan kesulitan latihan yang dihadapinya.“Enggak pernah merasa nyerah, ya tetap berusaha saja, tingkatkan lagi prestasi,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Prestasi Fani tidak hanya di bidang olah raga. Selain memegang prestasi olimpiade, Fani juga merupakan pemusik berbakat. Ia memiliki skill khusus dalam memainkan piano. Pada 2009 lalu, Fani bahkan mendapatkan penghargaan Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri), sebagai anak berkebutuhan khusus yang mampu memainkan piano dengan 22 lagu secara non-stop pada 2009.
Di balik kekuatan Fani, ia memiliki seorang yang sangat tangguh. Sumber kekuatan itu berasal dari ibunya. “Dukungan dari Mama, supaya Fani tetap semangat. Karena tanpa usaha yang keras, tidak mungkin bisa mencapai hasil yang maksimal. Semua butuh perjuangan,” jelas Fani.
Stephanie Handojo saat memainkan piano. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Fani mengaku bahwa ia tidak pernah merasa ingin menyerah. Ia tetap semangat, dan ingin lebih baik lagi. Dia selalu ingin jadi yang terbaik, dengan berusaha semaksimal mungkin. Tujuan lainnya, ia mau memberikan semangat terutama pada teman-teman yang down syndrome.
ADVERTISEMENT
Ia pun menjadi role model bagi orang-orang yang memiliki kondisi yang sama dengan dirinya. Pada 2015 Fani terpilih menjadi duta International Global Messenger (IGM) oleh Special Olympics International, di Washington DC, Amerika Serikat. Dalam kesempatan itu ia menyampaikan pesan inklusi dan respek untuk anak-anak Tunagrahita di seluruh dunia. Ia ingin teman-temannya tahu bahwa semua akan bisa, dengan usaha, dan keberanian.