news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pundi Uang, Luka, dan Obsesi Cantik Perempuan

8 Maret 2018 13:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ketiak Audrey berdarah.
Seingatnya, ia sudah melakukan semua langkah sesuai petunjuk. Semua telah tersedia: spatula, wax paper, dan sebuah buli-buli berisi cairan lilin kental yang jadi aktor utama upaya waxing rambut ketiaknya sore itu.
ADVERTISEMENT
1. Ia mengambil cairan lilin kental menggunakan spatula, 2. Mengoleskannya ke ketiak hingga rata, 3. Menempelkan wax paper ke permukaan cairan lilin kental tersebut, 4. Tepuk-tepuk sedikit, 5. Biarkan sebentar beberapa menit sampai cukup kering, dan 6. Ketika hati telah mantap, ia cabutlah kertas itu lewat satu embusan napas.
...dan terdengarlah teriakan pilu cukup panjang.
Ketiak itu berdarah. Bulir-bulir kecil merah semakin kentara di situ. Rambut ketiak yang dimaksud memang tercerabut menghilang, tapi begitu pula dengan kulit arinya. Audrey merana.
Tapi tanggung, batinnya. Harga diri tak rela kalau ketiak yang sebelah kiri bersih (lecet-lecet, saat itu) sementara kanan masih gondrong. Tapi, apa harus sampai berdarah hanya demi ketiak mulus?
ADVERTISEMENT
Kayaknya ini ada yang salah deh. Ada sesuatu yang kurang, batinnya. Padahal brosur yang menyertai peralatan waxing yang dibelinya di internet itu menjanjikan ketiak bersih mempesona, bukan yang panas-perih dan berdarah.
Sebelum gegabah melakukan hal serupa pada ketiak kanannya, Audrey menyempatkan bertanya pada ‘makhluk’ paling bijak bestari di muka bumi ini: Google. Dan dari Mesin Maha Tahu itu, Audrey jadi tahu baiknya cairan lilin kental itu dipanaskan terlebih dahulu.
“Setelah gue lihat di Google, itu musti diangetin dulu, gitu loh. Itu kan dingin, jadi keras banget. Supaya lebih cair, mustinya agak diangetin dulu, baru diaplikasikan,” kenang Audrey, terlambat. “Hanya saja, di brosur instruksinya tidak ada.”
Audrey pantang mundur. Usai dipanaskan, cairan lilin itu menjadi lebih encer. Ia lalu mengulangi semua langkah yang diambilnya tadi. Sreeeet!
ADVERTISEMENT
“Berkurang sakitnya dan enggak ada darahnya,” ujar Audrey malu-malu. Kini setelah kejadian jahanam itu berlalu beberapa bulan, ia lepas saja bercerita sambil mesam-mesem.
Dulu, sampai beberapa hari setelah ‘Tragedi Ketek Berdarah’ itu, ia harus rela tak nyaman lantaran rasa perih kerap menyerang ketiaknya.
Pertanyaan “Kenapa, Drey?” cuma bisa ia jawab dengan senyum-senyum, “Enggak apa-apa.” Padahal, sumpah mati ketiak Audrey gatal tapi tak mungkin menggaruk-garuknya di depan umum.
Waxing (Foto: thinkstock)
Perempuan melakukan banyak hal untuk menjadi cantik, termasuk menyakiti diri sendiri. Seluruh tubuh dipahatnya: alis disulam, bibir disumpal, rahang dipotong, bulu-bulu dicabut, bahkan kulit wajah disobek, ditarik-kencangkan, lantas dijahit lagi untuk mewujudkan kulit wajah segar kencang.
Namun di balik itu semua, ada lingkaran setan berputar. Obsesi untuk cantik dibaca sebagai peluang oleh industri. Industri lalu menyediakan jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan itu dengan menawarkan rupa-rupa produk. Iklan ditebar untuk menggemakan standar kecantikan ideal. Dan akhirnya masyarakat menerima dan meneguhkannya sebagai suatu hal yang harus dicapai demi kesempurnaan diri.
ADVERTISEMENT
Terus begitu berulang kali. Misal saja, suatu saat putih menjadi warna kulit ideal, lain waktu giliran gigi putih bak kertas yang jadi idaman. Padahal, sering kali cara-cara untuk memperoleh tubuh ideal itu tak hanya menyakitkan, tapi juga mahal luar biasa.
Derita Demi Paras Jelita (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Apa yang dialami Audrey menjadi contoh nyata. Pemilihan metode swa-waxing ketimbang melakukannya di klinik atau salon berpengalaman, didasari alasan yang sangat personal.
Pertama, ia tak nyaman harus menyerahkan kendali atas bagian tubuh pribadinya ke orang lain. Kedua, tak ia pungkiri, ada masalah harga. Membeli peralatan waxing secara mandiri dari internet hanya menghabiskannya bujet Rp 80 ribu.
“Gue beli satu, dan bisa menggunakannya berkali-kali. Kan kalau waxing butuhnya cuma dikit. Jadi satu jar itu bisa dipakai berkali-kali,” kata Audrey. Bila harus ke salon atau klinik kecantikan, uang Rp 150 ribu hingga 350 ribu dipastikan akan amblas.
ADVERTISEMENT
Itu baru waxing.
Belum lagi facial, creambath, spa, manicure-pedicure, sulam alis-bibir, ekstensi bulu mata, sampai tanam benang dan suntik botoks yang kini seakan wajib bagi banyak orang. Per bulannya, masing-masing orang menghabiskan biaya perawatan kecantikan rata-rata antara Rp 500 ribu sampai Rp 5 juta.
Itu baru satu orang.
Ilustrasi facial (Foto: Thinkstock)
Di Puncak Tertinggi
Secara global, bisnis produk kecantikan dan perawatan tubuh tak pernah lebih menjanjikan ketimbang sekarang ini. Menurut data Racounter dalam The Beauty Economy (2017), penjualan kosmetik dan barang-barang kecantikan sepanjang 2016 mencapai USD 445 miliar atau Rp 6.120 triliun, catatan tertinggi selama ini.
Angka penjualan kosmetik dan produk perawatan tubuh selalu meningkat dalam 12 tahun terakhir. Laporan L’Oreal pada 2016 menyebut, penjualan seluruh produk kosmetik dan perawatan tubuh pada 2016 meningkat 4 persen dari capaian tahun sebelumnya. Sejak 2004, rata-rata pertumbuhan penjualan produk perawatan tubuh mencapai 3,82 persen.
ADVERTISEMENT
Asia Pasifik Terbang Tinggi
Tren menyenangkan bagi industri kosmetik dan produk perawatan tubuh secara khusus dirasakan oleh negara-negara di Asia Pasifik. Dibanding kawasan lain, pertumbuhan perdagangan kosmetik dan produk perawatan tubuh di Asia Pasifik jauh melesat.
Negara-negara macam China, Jepang, dan India mulai merangsek ke posisi ‘Big 10’ pasar kosmetik dan produk perawatan tubuh dunia. China menempati posisi dua setelah Amerika Serikat. Jepang di posisi ketiga, sedangkan India masih cukup jauh di posisi delapan di antara Italia (tujuh) dan Prancis (sembilan).
Selain tiga negara tersebut, pasar-pasar di Asia Tenggara menjadi salah satu yang paling menjanjikan. Promosi UBM India --event management asal India yang membikin pameran tahunan produk dan perusahaan kosmetik terbesar di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Vietnam-- bahkan berani sesumbar bahwa Indonesia dan India akan jadi kunci pertumbuhan pasar kosmetik pada 2019.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, mereka juga menyebut 51 persen pertumbuhan pasar kosmetik dan produk perawatan tubuh global sudah dikuasai emerging markets --tempat negara-negara pameran mereka diadakan. Janji buat Indonesia bahkan lebih tinggi lagi. Mereka memprediksi Indonesia akan menggantikan AS sebagai kontributor pertumbuhan pasar kosmetik terbesar kedua di dunia (tempat pertama tentunya akan diklaim oleh China).
Meski terkesan membangga-banggakan diri, kenyataan soal pasar kosmetik dan produk perawatan tubuh sebenarnya memang tak jauh klaim UBM India itu. Di Indonesia, segala grafik dan angka-angka menunjukkan prakondisi yang menjanjikan buat pasar kosmetik dan produk perawatan tubuh.
Perawatan anti aging. (Foto: Thinkstock)
Indonesia Pangsa Terdepan?
Estimasi L’Oreal sebagai brand yang tiap tahunnya rutin menyuguhkan laporan soal pasar kosmetik dan produk perawatan tubuh dunia, menunjukkan bahwa pasar kosmetik Indonesia berkembang rata-rata 12 persen dalam 10 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Laporan yang sama juga menyebut industri kecantikan di Indonesia akan menjadi nomor satu di Asia Tenggara pada 2020.
“Pertumbuhan konsumen rata-rata 3 juta orang setiap tahunnya menjadikan industri ini sangat menjanjikan kini dan seterusnya,” ungkap Umesh Phadke, Presiden Direktur L’Oréal Indonesia (26/4/2017), dikutip dari laman resmi L’Oréal.
Tak berlebihan. Kementerian Perindustrian RI menjadikan kosmetik --bersamaan dengan kefarmasian dan peralatan kesehatan-- sebagai satu dari 10 kelompok industri prioritas dalam Visi Misi Pengembangan Industri Indonesia 2015-2035. Kosmetik berada sejajar atau satu level dengan industri makanan, pakaian, bahkan transportasi.
Saleh Husin saat masih menjabat menteri perindustrian mengatakan, Indonesia memiliki potensi sangat besar di sektor kosmetik. Dalam sambutannya di Konferensi Nasional Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika Indonesia (1/6/2016), ia menyebut terdapat 760 perusahaan yang mempekerjakan 75 ribu buruh secara langsung dan 600 ribu secara tidak langsung di industri kosmetika Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Industri kosmetik menjadi industri strategis dan potensial,” kata Husin kala itu.
Dari 760 perusahaan kosmetik tersebut, menurut data Global Business Guide Indonesia, 23 di antaranya merupakan perusahaan besar, sedangkan sisanya unit Usaha Kecil dan Menengah.
Dan dari 23 perusahaan besar di industri kosmetik dalam negeri itu, lima di antaranya telah go public dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Laporan tahunan masing-masing perusahaan menunjukkan, hampir semua berhasil mempertahankan tren positif keuntungan dan menjadikan kosmetik serta produk perawatan tubuh sebagai sektor ‘seksi’ di bursa saham.
Kelima perusahaan tersebut adalah PT Unilever Indonesia TBK (UNVR) dengan produk dari Rexona, Ponds, hingga Dove; PT Mandom Indonesia TBK (TCID) lewat produk seperti Gatsby, Pixy, dan Pucelle, PT Mustika Ratu TBK (MRAT), PT Martina Berto TBK (MBTO) lewat produk-produk Martha Tilaar; dan PT Akasha Wira International TBK (ADES) dengan produk-produk perawatan rambut seperti Makarizo.
Keuntungan lima perusahaan kosmetik 2012-2016 (Foto: Tio/kumparan)
Di atas adalah jumlah keuntungan pada periode tahunan 2012 hingga 2016 (kecuali data 2016 yang hanya sampai September), dengan satuan angka dalam miliar rupiah. Di situ, tampak bahwa selain PT Mustika Ratu TBK di 2013 dan 2016, serta PT Martina Berto TBK di 2015, semua perusahaan meraih keuntungan setiap tahunnya sejak 2012 hingga 2016.
ADVERTISEMENT
Perawatan wajah. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Semakin Tinggi
Sempat ditakutkan, salah satunya oleh Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika, bahwa industri kosmetik nasional akan kesulitan bersaing dengan influx kosmetik dan produk perawatan tubuh yang deras dari luar negeri.
Kementerian Perdagangan mencatat, neraca perdagangan produk kecantikan dan perawatan tubuh masih lumayan berat sebelah. Meski ekspor naik, impor produk kecantikan ke Indonesia juga terus meningkat (lihat grafik di bawah).
Apalagi, pasokan bahan baku, biaya energi yang mahal, serta investasi dalam negeri selama ini juga tak cukup memadai bagi pelaku usaha.
Tak usah jauh-jauh bicara soal persaingan dengan luar negeri, 700-an perusahaan kosmetik dan produk perawatan tubuh di Indonesia yang kebanyakan UKM, bakal sulit bersaing dengan 30-an perusahaan besar.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, agaknya kekhawatiran tersebut tak harus terlalu lama dipendam. Seperti ditunjukkan dalam Facts and Figure 2017 Kementerian Perindustrian, pelan namun pasti, terjadi peningkatan jumlah investasi --baik berasal dari domestik maupun luar negeri-- yang stabil terhadap industri farmasi, kimia, dan kosmetika di Indonesia.
Hal-hal positif bagi industri kecantikan dan perawatan tubuh di Indonesia tak hanya sampai di situ. Di balik peningkatan investasi, jumlah pelaku bisnis, hingga kinerja perusahaan kosmetik dan perawatan tubuh yang baik, ada pula faktor lain yang menyebabkan pelaku industri ini masih akan tersenyum sampai beberapa terakhir.
Indikator terakhir, dan mungkin jadi yang paling penting buat proyeksi kejayaan pasar kosmetik dan produk perawatan tubuh di Indonesia, adalah pergeseran paradigma para penggunanya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data yang dikemukakan Markplus.inc, tujuan konsumen menggunakan jasa perawatan dan produk kecantikan di Indonesia telah banyak berubah. Kini, perawatan tubuh tak lagi bersifat fungsional (menyelesaikan sebuah masalah yang muncul), namun telah menjadi estetis (menaikkan harga diri dan pengakuan sosial).
Dari situ, proyeksi industri kecantikan yang bermula dari perasaan cantik-tampan yang didambakan, hanya akan menemui satu jalan: terus naik menuju tak terhingga.
Pasar Kosmetik di Indonesia (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
------------------------
Ikuti isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.