Semarak Penerbit Indie: Bukan Soal Untung, Tapi Cinta

5 Oktober 2017 11:07 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
“Untung ada sih, tapi kalau bikin kaya, belum. Hahaha...”
ADVERTISEMENT
Begitu kata Prima Sulistya--yang akrab dipanggil Cik Prim--dengan tawa berderai ketika bicara soal keuntungan yang diraih penerbit indie Buku Mojok, Yogyakarta.
Kehadiran Buku Mojok selama dua tahun terakhir tak berorientasi pada keuntungan semata. Ada kesenangan dan cinta pada dunia literasi yang mendorong Buku Mojok untuk terus mengorbit hingga saat ini.
“Rata-rata yang jadi penerbit indie itu orang yang memang cinta buku--pembaca, penulis,” kata Cik Prim.
Mulai dibangun pertengahan 2015, Buku Mojok terus mengepakkan sayap hingga saat ini. Dengan modal dan tenaga kecil, ia bertahan dengan cara menerbitkan buku-buku berkualitas baik.
Bukan cuma perkara angka buku yang terjual, namun untuk menumbuhkan kepercayaan pada diri pembaca bahwa mereknya memegang jaminan kualitas.
Reputasi itu kini mulai kukuh terbentuk setelah beberapa buku terbitan Buku Mojok masuk sebagai kategori buku terbaik versi beberapa media di Indonesia.
Buku terbitan Buku Mojok. (Foto: Dok: @bukumojok)
“Coba tengok lima buku terbaik 2016 versi Rolling Stone Indonesia, empat di antaranya terbitan penerbit bukan big three Gramedia-Gagas Media-Mizan. Dua di antaranya buku kami: Endorphin dan Bakat Menggonggong. Lalu tengok long lis Kusala Sastra Khatulistiwa tahun ini. Buku Mojok masuk lewat Bakat Menggonggong,” kata Prima kepada kumparan, Senin (2/10).
ADVERTISEMENT
Buku Mojok bukan satu-satunya penerbit indie yang sukses berkembang di Indonesia. Tersuar pula nama penerbit OAK yang digarap Wijaya Kusuma Eka Putra.
Memulai lebih awal sekitar tahun 2013, Eka melihat peluang niaga buku mulai marak via media sosial. Eka tak mau meloloskan kesempatan begitu saja, dan turut menggunakan media sosial untuk memperkenalkan merek dagang, utamanya buku-buku sastra, sosial budaya, sejarah, dan filsafat.
Memasuki tahun 2015, Eka mulai mengembangkan Pojok Cerpen, kanal informasi seputar literasi dan perbukuan. Bersama 3-4 orang lain, Eka membangun beberapa program lain seperti bukupocer.com dan standbuku.com, hingga bukuku (lini self publishing)
Melihat peluang yang semakin baik, Eka mengeksekusi ide penerbitan indie yang ia beri nama OAK. Bersama beberapa kawan, Eka membangun OAK--beriringan dengan PoCer yang sudah lebih dahulu dibangun.
ADVERTISEMENT
“Saya memulai dengan OAK pada tahun 2015. Saya mengajak tiga rekan: Hengki Eko Putra, Widya Mahardika Putra, dan Dewi Kharisma Michelia. Ia (OAK) sudah ada sejak dalam pikiran, tapi belum bisa dieksekusi. Sebab, pangsa pasar belum terbentuk. Itulah mengapa Pojok Cerpen muncul duluan. PoCer memang dimaksudkan untuk membentuk pasar, menjaring pembaca yang suka pada wacana-wacana sastra, sosial budaya, sejarah dan filsafat,” kata Eka.
“Sekiranya jalur yang dibangun (PoCer) sudah terbentuk, produk-produk OAK muncul dan tanpa kesulitan membangun pasarnya lagi.”
Buku terbitan Penerbit OAK. (Foto: Instagram: @penerbitoak)
OAK kemudian menjadi satu dari puluhan penerbit indie yang marak berkembang di negeri ini. Eka lebih senang menyebutnya penerbit alternatif. Meski persaingan dengan industri penerbit raksasa tetap ada, penerbit alternatif kini mulai memegang kendali barometer industri buku di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi menjadi elemen yang mampu merevolusi dunia penerbitan saat ini.
“Media sosial jadi ruang promo paling murah dan efektif. Dibandingkan zaman poster, spanduk, dan lain-lain, penerbit berkantong pipih maupun chubby punya akses ke media sosial. Tinggal bagaimana berkreasi saja,” kata Eka.
Roda bisnis Buku Mojok dan Penerbit OAK hampir seluruhnya dimotori oleh media sosial. Kanal promosi hingga penyebaran konten banyak dilakukan melalui akun media sosial, semisal Twitter, Facebook, maupun Wordpress.
“Kami sangat mengandalkan media sosial untuk blow up konten, dan reseller sebagai ‘pasukan’ pengganti toko buku,” lanjutnya.
Tak hanya media sosial, perkembangan teknologi mesin dan pola print on demand pun turut memberi wajah pada revolusi dunia penerbitan. Print on demand memungkinkan penerbit untuk mencetak buku sesuai dengan jumlah pasar yang ingin dijamah.
ADVERTISEMENT
“Dulu semua (buku) hampir mesti dicetak di angka 3.000--yang bilamana tidak laku, akan diretur dan jadi bad stock. Sekarang, tidak. Anda bahkan bisa mencetak hanya 20 eksemplar buku. Tentu biayanya beda dengan mencetak 3.000 buku. Tapi jika pangsa pasar kita hanya 20 orang, maka mengapa harus mencetak 3 000?” ujar Eka.
Tak hanya mengurangi kerugian bad stock, pola print on demand pun membuat penerbit alternatif bisa berhemat dan memutar bisnis dengan lebih efisien.
“Tolok ukur itu menguntungkan penerbit alternatif agar hemat. Indie = hemat. Hehe,” kata Eka diselingi canda.
Keramaian di Kampung Buku Jogja 2017. (Foto: Twitter: @bukumojok)
Dengan perkembangan pesat pada teknologi dan pola percetakan buku, angka penerbit alternatif di Indonesia pun meningkat tiap tahunnya.
Sebagai salah satu penggerak hajatan buku bertajuk Kampung Buku Jogja yang menjadi wadah kumpul antarpenerbit dan penulis indie, Eka menghitung jumlah penerbit indie tahun ini telah meningkat hingga 100 persen dari tahun 2015.
ADVERTISEMENT
“Saat itu ada 25 penerbit alternatif di tahun 2015, sekarang sudah 57 yang aktif--walaupun beberapa penerbit baru punya satu buku terbitan,” imbuhnya.
Walau begitu, bukan berarti tumbuh kembang penerbit alternatif di Indonesia bebas masalah. Persaingan dengan penerbit raksasa yang memonopoli distribusi hingga minimnya akses distribusi, menjadi kelindan soal yang tak jarang menjerat.
Penggagas sekaligus Pemimpin Redaksi Marjin Kiri Ronny Agustinus pun turut merasakan tantangan dan jatuh bangun membangun penerbitan alternatif di Indonesia. Baginya, monopoli toko buku menjadi masalah utama yang kerap dihadapi.
“Diskonannya minta terlalu besar dan itu mematikan penerbit kecil. Makanya banyak penerbit indie mengandalkan toko buku kecil dan indie juga, karena penerbit indie mungkin nggak akan bisa bertahan kalau jaringan distribusinya mengandalkan yang mainstream,” kata Ronny.
Buku yang dijajakan Post Santa. (Foto: Instagram/@post_santa)
Masalah lain terkait akses juga acap kali mengganggu distribusi dan pemerataan buku. Ronny dan Marjin Kiri-nya yang mengikuti perhelatan Frankfurt Book Fair pada 2014 dan 2015 lantas membandingkan alur distribusi dan penjualan buku yang dilakukan penerbit alternatif di luar negeri dengan yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penerbit alternatif di luar negeri dimudahkan dengan sistem perpustakaan yang baik, sehingga mereka tahu persis pasar mana yang akan menjadi target.
“Mereka bisa memetakan universitas mana yang akan beli buku mereka. Juga perpustakaan umum. Misal di Amerika ada sekian puluh ribu perpustakaan. Dari jumlah itu, berapa persen di antaranya sudah pasti beli (dari mereka),” kata Ronny.
Sementara Indonesia belum memiliki sistem pustaka yang komprehensif dan merata. Meski kini perpustakaan daerah telah berkembang, sistem distribusi buku masih sporadis dan terbatas. Pun sistem pengadaan melalui proses pitching dirasa membatasi distribusi buku penerbit alternatif.
Eka mengamini. Tak meratanya fasilitas dan perkembangan teknologi menjadi masalah dan tantangan yang menjerat penerbit alternatif. Padahal potensi literasi di Indonesia ia pandang sangat tinggi.
ADVERTISEMENT
“Dengan merek Pojok Cerpen, kami berkeliling ke kota-kota, ke pameran-pameran. Dan di sana saya melihat sendiri, bahwa potensi literasi sangat tinggi. Tidak seperti tulisan yang bilang rendah-rendah itu. Asal akses lancar, semua akan terlihat. Kita tidak bisa membandingkan ‘literasi Yogya’ dengan ‘literasi Ponorogo’ misalnya. Karena secara akses dan fasilitas beda. Jadi menurut saya, literasi kita tinggi, tapi akses dan fasilitas yang rendah dan belum merata,” ujar Eka.
Diskusi di Post Santa, Jakarta. (Foto: Instagram: @post_santa)
Problem pun muncul dari segi jaringan. Belum adanya wadah formal guna menyatukan--atau setidaknya membangun jaringan--antarpenerbit alternatif yang tersebar di berbagai daerah. Sehingga, penerbit alternatif kerap bergerak sporadis tanpa ada acuan.
Hal lain yang juga jadi perhatian penerbit alternatif adalah belum adanya agen penengah yang berperan sebagai jasa konsultasi hingga kontrol kualitas terjemahan. Ini membuat kualitas terjemahan penerbit indie masih cukup sering menuai kritik.
ADVERTISEMENT
“Kontrol terjemahan dan editorial kan bukan pekerjaan mudah. Bagaimana ada kontrol terhadap terjemahan paling harus diperhatikan, karena ada banyak juga yang komplain kalau terjemahannya jelek,” ujar Eka.
Terlepas dari ragam masalah itu, mereka terus berjuang untuk bertumbuh di pasar buku yang kerap sepi dan minim atensi. Bukan semata tentang uang, tapi sebagai bentuk wujud idealisme, katarsis, dan kesenangan untuk terus berpusar dalam dunia literasi--yang acap kali dipandang membosankan dan merugikan.