Womanpreneur: Helga Angelina Kampanyekan Hidup Sehat Melalui Burgreens

7 Februari 2019 16:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Helga Angelina Co-Founder Burgreens. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Helga Angelina Co-Founder Burgreens. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Menjadi seorang pengusaha di usia muda tentu bukanlah hal mudah yang dapat dilakukan begitu saja. Namun kecintaannya terhadap hidup sehat dan lingkungan membuat Helga Angelina Tjahjadi (28) berani meninggalkan zona nyamannya di Belanda dan kembali ke Tanah Air untuk mewujudkan mimpinya merintis bisnis makanan sehat berbasis lingkungan, Burgreens. Helga merupakan Co-founder Burgreens Organic Eatery and Home Delivery, sebuah restoran makanan sehat berbasis makanan nabati dan organik di Jakarta yang berdiri sejak November 2013. Bersama sang suami, Max Mandians, Helga mencoba meracik makanan sehat dengan cita rasa yang enak dan menyehatkan. Dengan prinsip social entrepreneur yang tak sekadar mengejar profit, melalui Burgreens Helga dan Max juga ingin berusaha memecah mata rantai distribusi bahan mentah yang acap kali merugikan petani. Caranya, mereka membeli bahan baku langsung dari petani dan memberdayakan perempuan berpendidikan rendah untuk turut bekerja di bagian produksi dan mengedukasi mereka. Beberapa waktu lalu di sela-sela jadwalnya yang padat dan kesibukannya dalam membuka gerai keenam Burgreens di BSD, Helga Angelina menyempatkan diri untuk duduk berbincang dengan kumparanSTYLE. Ia berbagi tentang kisahnya membesarkan Burgreens, passionnya akan pola makan sehat, dan perannya sebagai leader dalam bisnis yang ia rintis.
ADVERTISEMENT
Bisa diceritakan bagaimana proses dan ide awal terbentuknya Burgreens? Awalnya karena pengalaman pribadi, saya sudah jadi praktisi makanan sehat dan vegetarian sejak usia 15 tahun. Sejak kecil saya memiliki penyakit kronis yang tak kunjung sembuh, padahal sudah melalui berbagai tindakan medis. Saat itu saya memiliki 20 jenis alergi sehingga mudah terkena asma, eksim, sinusitis dan lain-lain. Pokoknya tiap hari ada saja penyakit yang kambuh. Nah, saat itu, saya yang masih duduk di bangku SMP akhirnya mulai baca-baca buku soal alternatif penyembuhan penyakit yang saya idap. Waktu itu saya sempat merasa terganggu dengan efek samping dari minum obat yang berkepanjangan, dan dari bacaan itu, saya menemukan alternatif penyembuhan melalui konsumsi makanan berbasis nabati utuh. Jadi buku-buku ini bilang tubuh kita memiliki daya untuk menyembuhkan dirinya sendiri, self healing, dan pada dasarnya kalau tubuh kita terbiasa diberi makanan yang sehat, tubuh kita akan ikut sehat juga. Sejak itu saya paham, jika ingin semua penyakit dalam tubuh sirna, harus benahi asupan nutrisi dulu. Alhasil saya convert pola makan saya ke vegetarian. Saya juga menghindari makanan yang mengandung gula berlebih dan dairy food. Dengan menerapkan pola makan yang baru tersebut, dalam waktu 2 tahun penyakit saya berangsur-angsur hilang. Mulai dari sana lah, saya passionate dengan makanan sehat. Kebiasaan makan sehat ini terus berlanjut waktu saya kuliah di Belanda. Dan kebetulan partner saya Max Mandian, sering masak menu vegetarian food. Karena rasa ingin tahu dia yang besar, Max juga menemukan bahwa ada hubungan antara perubahan iklim dan pola makan manusia. Jadi pada tahun 2010, PBB mengeluarkan sebuah laporan bahwa perubahan iklim itu salah satunya disebabkan over consumption of meat. Pokoknya apapun makanan yang mengandung animal protein memiliki andil besar dalam proses perubahan iklim. Hal tersebut membuat Max juga mulai tertarik dengan konsep makanan sehat. Karena kita berdua sama-sama suka makan, kita pun coba-coba masak masakan vegetarian. Ternyata hasilnya enak, bahkan sampai teman kami di Belanda yang tidak vegetarian pun ikut suka. Sejak itu kami juga sadar bahwa rupanya semua orang terbuka loh untuk ide makanan sehat dan mau berbuat baik pada lingkungan, tapi mereka sulit mengorbankan taste dan kepuasan saat makan. Karena makan itu kan sifatnya sentral sekali, apalagi bagi orang indonesia. Sejak itu terbesit ide untuk membuat restoran di mana orang-orang bisa makan sayur yang enak dan menyenangkan. Dan kemudian ketika kami pulang ke Indonesia, kami coba-coba garap healthy food di tempat teman di Rempoa yang kemudian jadi gerai pertama Burgreens. Dan ya, pada November 2013 pun akhirnya Burgreens lahir.
Max Mandias & Helga Angelina Co-Founder Burgreens Foto: dok.Instagram @helgaangelina
Burgreens merupakan salah satu pionir dalam mempromosikan gaya hidup sehat di Jakarta. Dan dalam beberapa tahun terakhir tren ini kian digandrungi oleh masyarakat kita. Bagaimana Anda melihat tren hidup sehat ini? Tentunya senang sekali ya, karena lima tahun lalu saat pertama kali mendirikan Burgreens itu susah sekali. Saat itu edukasi market yang kami lakukan memang cukup ekstra, karena waktu itu kami benar-benar the only one yang focusing on organic plant based food. Memasuki tahun ketiga Burgreens, baru ada healthy food player lainnya yang muncul. Jadi saat ini lebih beragam, dan tidak hanya satu brand saja yang melakukan market education ke pasaran dan itu dampaknya dapat lebih meluas lagi. Tentu dengan adanya player-player lain yang membuka healthy food serupa kami turut senang. Makin kesini juga memang makin banyak orang yang mencari pengetahun dan alternatif makan sehat. Jadi setidaknya kami merasa apa yang telah kami lakukan itu sudah memperlihatkan hasilnya. Burgreens sendiri punya program tiap bulan untuk mengedukasi masyarakat, misalnya program Burgreens Goes to Office dan Burgreens Goes to School, berupa talkshow untuk mempromosikan gaya hidup sehat dan pola makan sehat. Menurut Anda, seberapa pentingnya mengkonsumsi makanan organik untuk gaya hidup masyarakat urban sekarang? Burgreens sendiri tidak 100 persen menyediakan makanan organik, tapi dalam mengolah makanan kami menggunakan bahan-bahan alami yang semuanya whole food (makanan utuh). Misalnya untuk burger, isi patty dan sosis kami terbuat dari bahan-bahan seperti gandum, jamur, pokoknya semua yang plant based. Semua bahan whole food kami proses sedemikian rupa yang akhirnya memberi cita rasa makanan yang enak dan tidak terlihat seperti sayur semata.
ADVERTISEMENT
Jadi kami sangat mengedepankan konsumsi makanan yang sealami mungkin yakni makan makanan nabati, baru makanan organik. Organik menjadi opsi kedua kami karena daya beli masyarakat juga menjadi pertimbangan. Di Indonesia tidak semua orang memiliki daya beli yang sama untuk selalu konsumsi makanan organik. Karena bagaimanapun, makanan organik harganya 2-3x lipat lebih mahal dari makanan biasa. Memang makanan organik selain baik bagi tubuh juga baik bagi lingkungan, karena bebas pestisida dan secara nutrisi lebih baik bagi kesehatan tubuh. Tapi daya spending orang kan beda-beda. Jadi untuk tetap hidup sehat dengan daya beli terjangkau, konsumsi makanan utuh (nabati) berbasis tanaman dapat menjadi opsi yang bijak. Salah satu limbah terbanyak di Indonesia adalah limbah makanan. Sebagai bisnis yang bergerak di bidang restoran, bagaimana Burgreens menyikapi isu tersebut? Food waste di Indonesia sendiri menyentuh persentase 60 persen dari total sampah makanan yang ada. Kami di Burgreens melalui central kitchen sudah mengaplikasikan konsep being zero waste. Jadi bagaimana seminim mungkin kami memproduksi sampah. Ini kami lakukan melalui inovasi resep dan cara memasak. Jadi saat mendesain resep, kami sebisa mungkin memanfaatkan semua bahan dasar dan semuanya terpakai 100 persen. Misalnya ubi nih kita olah buat chips , terus ujung-ujungnya ubi yang tidak terpakai kita manfaatkan untuk olahan dessert. Kemudian dari sisi waste management, kami termasuk salah satu usaha yang limbah sampahnya paling sedikit. Ini karena kami mengolah makanan organik dan plant based yang sangat mengurangi jumlah limbah sampah. Selain limbah makanan, packaging juga berperan besar sebagai limbah. Hal tersebut juga menjadi concern kami. Misalnya dari packaging makanan yang dikirim central kitchen ke tiap gerai , kami menggunakan plastik seminimal mungkin dan beberapa kami ganti dengan daun pisang. Kemudian kami juga menggunakan peralatan makan yang ramah lingkungan, seperti menggunakan sedotan bambu yang bisa dipakai berulang dan jikalau rusak pun bisa dikompos jadi pupuk. Sedangkan untuk packaging take away kami pakai plastik singkong yang mudah terurai.
Founder Burgreens, Helga Angelina. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Sebagai sebuah bisnis social enterprise, apa yang dilakukan Burgreen untuk memberdayakan para pekerja dan petani lokal terkait? Memberi dampak sosial itu sudah menjadi hal yang Burgreens lakukan sejak awal berdiri, dan itu kami lakukan melalui ranah supply chain. Sebanyak 60 persen bahan makanan Burgreens langsung kami dapatkan dari petani lokal dengan harga yang lebih menguntungkan bagi petani ketimbang dibeli melalui tengkulak. Melalui sistem ini petani langsung memperoleh pendapatannya tanpa melalui tangan-tangan lain. Dari segi pekerja, di kitchen kami merekrut para ibu yang berasal dari low social economy yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Biasanya orang-orang yang ada di posisi tersebut cenderung dieksploitasi dan diperlakukan tidak semestinya dengan gaji minimal yang sangat kecil dan tidak ada jenjang karier. Nah, di Burgreens kami tidak hanya memberi upah yang pantas untuk pekerja kami, tapi juga memberikan edukasi berupa technical training dan managerial training. Jadi kalau memang pegawai kami menunjukkan performa yang baik saat bekerja, mereka akan kami promosikan. Selain itu kami juga punya peraturan terkait sumber daya manusia, bahwa lebih dari 50 persen staf yang kami rekrut itu harus perempuan. Ini kami lakukan untuk memastikan adanya keseimbangan antara jumlah perempuan dan laki-laki di lapangan kerja. Karena jika dilihat secara statistik, di lapangan kerja kita sedikit sekali perempuan yang duduk di posisi-posisi strategis. Sudah berjalan selama lima tahun, bagaimana Burgreens menghadapi kompetitor? Kalau saya mikirnya gini sih, market Jakarta Indonesia itu besar banget. Jadi menurut saya kalau kita focusing on winning competitor, itu buang-buang energi dan waktu. Jadi kami fokus ke internal dan visi kami dari awal membuat makanan sehat yang ramah lingkungan untuk semua orang. Jadi goalsnya ini akan jadi makanan mainstream yang semua orang bisa konsumsi, tidak hanya seorang vegetarian saja. Jadi sebagai perusahaan kami berkembang untuk semakin mendekati visi itu, tanpa terlalu mikirin kompetitor ngapain.
ADVERTISEMENT
Apa prinsip Anda dalam memimpin? Di Burgreens sendiri kami memiliki prinsip yang juga diturunkan kepada tim manajemen, yakni BITAS. B adalah balance, I untuk integrity, T itu team work, A itu achieving and above the line, dan S untuk sustainability. Jadi itu yang kami jadikan sebagai guideline untuk selalu berkembang. Kami bergerak untuk bagaimana perusahaan ini berkembang secara finansial, sekaligus memberi dampak positif pada lingkungan dan sumber daya manusianya.
Founder Burgreens, Helga Angelina. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Adakah tantangan khusus yang Anda rasakan sebagai leader perempuan dalam membangun bisnis ini? Kalau di industri healthy food saya rasa tidak, dan di industri ini begitu banyak perempuan yang terlibat. Misalnya di Burgreens sendiri, banyak store leader kami yang perempuan. Tapi tetap jumlah perempuan dan laki-laki harus sama dalam industri ini, karena dibutuhkan berbagai perspektif yang dapat membuat bisnis ini semakin berkembang. So far bagi saya tidak ada tantangan khusus sebagai leader perempuan, actually malah sangat menguntungkan. Bahkan saat ini makin banyak investor yang ingin menginvestasikan uangnya di perusahaan yang dipimpin oleh perempuan karena jarangnya perempuan yang menduduki posisi tersebut. Jadi it’s a good thing for woman entrepreneur saat ini. Apa saja tantangan yang Anda hadapi dalam membesarkan Burgreens hingga saat ini? Pada dua tahun pertama mendirikan Burgreens saya dan Max hampir burn out. Jadi benar-benar kelelahan karena kami mulai ini semua benar-benar dari nol. Dan modalnya berasal dari dana pribadi yang memakai hampir 95 persen dari tabungan kami. Jadi dua tahun pertama itu benar-benar struggle. Karena bisnisnya juga belum pick up, di lima bulan pertama pun kami tidak membayar diri sendiri. Di tahap awal berdirinya Burgreens saya dan Max benar-benar hanya berdua saja, mulai dari masak, melayani tamu yang datang, bersih-bersih tempat, literally semuanya sendiri. Seiring berjalannya waktu kami rekrut pegawai. Namun kemudian muncul juga masalah lain seperti people problem, cash flow problem, pokoknya macam-macam. Pada tahun kedua, kami sempat merasa capek banget akibatnya sering berantem sampai hampir batal nikah saat itu. Tapi akhirnya, kami ingat lagi tujuan awal balik ke Indonesia untuk mendirikan Burgreens. Kemudian kami belajar untuk tetap bisa kerja bareng dan relasi kita tidak rusak saat itu . Kemudian tahun keempat masuk ke fase perkembangan, Burgreens mulai masuk mall dan customer banyak banget. Sayangnya saat itu sistem kontrol kami belum bagus, di saat bisnis berjalan begitu cepat saya juga kehilangan uang hingga Rp 500 juta akibat penggelapan dana internal. Jadi ada store leader yang sudah kami hire lama, dalam waktu setahun itu ia mencuri pemasukan Burgreens setiap harinya. Sempat terpukul banget, stres dan shock juga saat itu, bahkan saya butuh waktu recover hingga dua bulan. Karena selain penggelapan dana yang membuat kami merugi, juga tidak menyangka saja jika orang yang telah kami training dari awal dari posisi kurir dan akhirnya kita promote jadi store leader kok bisa-bisanya melakukan tindakan seperti itu. Namun dari itu semua saya juga belajar banyak, saat bisnis berkembang secara internal memang kita harus kuat dulu baik dari segi sistem dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Founder Burgreens, Helga Angelina. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Pada 2016 lalu, Anda masuk daftar 30 under 30 oleh Majalah Forbes. Bagaimana perasaan Anda masuk dalam list tersebut? Awalnya saya pikir ini benar tidak ya, soalnya saat itu Burgreens masih kecil sekali, baru punya dua outlet saja. Bahkan waktu dapat email Forbes, saya khawatir ini hanya scam yang bakal minta uang segala macem. Dan waktu benar-benar terpilih, tentu saja senang dan kaget juga karena kesempatan ini datang begitu cepat di kala usia Burgreens yang masih belia. Setelah ini, apa rencana Anda untuk Burgreens ke depannya? Jadi bangunan Burgreens Menteng ini kan terdiri dari beberapa lantai lain. Rencananya kami ingin buat tempat ini jadi pusat wellness, health and sustainability lifestyle. Hal ini ingin kami awali dengan memanfaatkan mezzanine yang ada di depan. Di mezzanine itu kami ingin membawa pengalaman berbelanja di pasar tradisional, tapi dengan konsep zero waste shopping. Kami ingin membuat orang-orang mengalami experience tentang seberapa besar sih sebenarnya sampah yang kita hasilkan saat kita berbelanja. Kemudian di lantai dua akan ada Dandelion, tempat eyelash yang menggunakan bahan-bahan organik. Dan di lantai tiga terdapat Jeda Wellness pusat yoga dan meditasi yang berdiri sejak Oktober 2018 kemarin, saya dan Reza Gunawan merupakan salah dua co-foundernya. Kemudian mezzanine di depan juga akan kami gunakan untuk tempat diskusi dan talkshow woman entrepreneurship and sustainability di tiap minggunya. Bukan tanpa alasan diskusi ini kami jadikan berkala, karena menurut riset, gerakan sustainability di dunia inisiatornya banyak dari kalangan perempuan.
ADVERTISEMENT
Simak cerita perempuan inspiratif lainnya di topik sheinspiresme.