Kominfo: Ada 17.000 Dokumen Bukti Konten Terorisme di Telegram

18 Juli 2017 7:31 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Semuel A. Pangerapan, Dirjen Aptika Kominfo. (Foto: Jofie Yordan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Semuel A. Pangerapan, Dirjen Aptika Kominfo. (Foto: Jofie Yordan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Telegram sering dimanfaatkan kelompok teroris sebagai sarana propaganda dan komunikasi di dalam jaringannya. Hal ini bisa dibuktikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Regulator telekomunikasi di Indonesia itu menemukan banyak konten radikalisme dan terorisme di dalam aplikasi pesan instan asal Rusia tersebut. Total barang bukti yang telah dikumpulkan oleh aparat penegak hukum Indonesia mencapai 17.000 dokumen. "Kami tunjukkan 17 ribu dokumen bukti konten terorisme dan radikalisme Telegram yang kemarin dibilang Pak Menteri (Rudiantara). Kami benar-benar punya dokumennya," ujar Dirjen Aplikasi dan Informatika Kemkominfo, Semuel Abrijani Pengerapan, dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (17/7). Belasan ribu berkas bukti itu juga mengungkap Telegram memiliki peran penting dalam beberapa aksi teror di Indonesia sejak 2015 hingga 2017, yang jumlahnya mencapai 17 serangan.
Bukti konten radikal di Telegram. (Foto: Jofie Yordan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bukti konten radikal di Telegram. (Foto: Jofie Yordan/kumparan)
"Dari tahun 2015 sampai 2016, dari semua aksi teror di Indonesia memanfaatkan Telegram. Hanya dua yang tidak menggunakannya," tambah Semuel. Temuan Kemkominfo tersebut sudah dilaporkan kepada Telegram dan memintanya untuk menghapus dan membersihkan semua konten negatif dari seluruh akun dan kanal yang difasiitasi oleh penyedia layanan. Laporan sudah dilayangkan sebanyak enam kali, mulai dari Maret 2016 hingga Juli 2017.
ADVERTISEMENT
Sayang, semua permintaan Kemkominfo itu tidak ditanggapi oleh Telegram, sehingga langkah tegas diambil regulator telekomunikasi itu dengan memblokir 11 Domain Name System (DNS) terkait layanannya yang berbasis web. Pemblokiran ini membuat layanan Telegram berbasis web tidak bisa diakses, namun aplikasi ponsel masih berjalan normal. Langkah blokir ini membuat Telegram akhirnya angkat bicara. Melalui pendiri sekaligus CEO Telegram, Pavel Durov, mereka menyatakan permintaan maaf kepada pemerintah dan berkomitmen membangun jalur komunikasi dengan Kemkominfo. Dia membenarkan timnya tidak menanggapi permintaan Kemkominfo secara cepat. Jika Telegram menginginkan normalisasi akses Internet ke layanannya, Kemkominfo meminta agar perusahaan tersebut memenuhi empat tindak lanjut yang notabene meminta perusahaan meningkatkan standard operating procedure (SOP) dalam menangani filter konten terorisme, serta meminta agar Telegram menyediakan perwakilan di Indonesia untuk memuluskan komunikasi di antara kedua pihak.
ADVERTISEMENT