Marak Kejahatan, Saatnya Aplikasi Transportasi Online Punya Tombol SOS

7 September 2017 20:36 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Taksi Online. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Taksi Online. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Di tengah banyak manfaat yang telah diberikan layanan jaringan transportasi online, ada banyak cerita juga soal kejahatan yang dialami para penumpang atau pengemudi ketika memakai, entah itu Grab, Go-Jek, atau Uber.
ADVERTISEMENT
Selama tiga tahun terakhir layanan transportasi online hadir di Indonesia, kita sudah banyak mendengar modus kejahatan yang terjadi di layanan mobil panggilan maupun ojek online. Tidak semua mitra pengemudi curang, dan tidak semua penumpang licik, tetapi nyatanya ada oknum yang tega dan merancang skenario kejahatan memanfaatkan celah pada layanan transportasi online.
Dua bulan terakhir ini, ada kisah seorang mitra pengemudi Go-Ride dan GrabBike yang dihipnotis penumpang dan dicuri motornya. Para pengemudi ojek motor ini juga tidak lepas dari incaran begal di tengah jalan. Ada juga cerita penumpang bernama Ekky Luciano yang mencoba merampok mobil Suzuki Ertiga milik mitra pengemudi GrabCar di Pasar Minggu, tetapi upaya itu gagal dan pelaku berhasil ditangkap warga setempat.
ADVERTISEMENT
Di tempat lain, seorang mitra pengemudi UberMotor ditangkap karena mencoba merampok penumpangnya di Tangerang. Ada mitra Go-Send di bulan September ini yang dilaporkan membawa kabur 4 ponsel pintar. Tidak terlepas pula kita sudah mendengar akal bulus mitra pengemudi mobil panggilan yang memakai fake GPS untuk mencurangi tarif.
Ini mungkin sudah waktunya para penyedia layanan transportasi online untuk membekali aplikasi mereka dengan tombol SOS, emergency, atau apapun namanya, demi menjaga keselamatan para penumpang dan pengemudinya.
Belajar dari New Delhi
Tiada yang tahu pasti kapan keadaan darurat datang, tetapi kita bisa belajar dari kasus di New Delhi, India, di mana Uber dan aplikasi transportasi online lain telah membekali "tombol panik" di aplikasi. Fitur ini terhubung dengan sistem tanggap darurat milik kepolisian dan mereka mampu mendeteksi GPS secara real-time. Sistem tombol panik Uber akan secara otomatis menghubungi nomor telepon kantor polisi terdekat dari lokasi kejadian.
ADVERTISEMENT
Di saat bersamaan, Uber juga menyediakan tim lokal yang akan merespons laporan pengguna saat tombol panik ditekan.
Uber membekali tombol eksklusif ini setelah ada kasus seorang penumpang perempuan yang diperkosa oleh sopir di New Delhi, pada Desember 2014. Perempuan ini kemudian menggugat Uber di bulan Januari karena tidak memberikan cukup keamanan terhadap penumpang. Pemerintah setempat kemudian mendesak Uber untuk menyediakan fitur keselamatan yang benar-benar memberi jaminan.
Fitur keselamatan lain yang diberi Uber di New Delhi adalah "safety net," yang memungkinkan para mitra pengemudi atau penumpang untuk berbagi rincian lokasi dengan maksimal lima orang.
Kantor Uber di Queens, New York. (Foto: Brendan McDermid/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Kantor Uber di Queens, New York. (Foto: Brendan McDermid/Reuters)
Fitur di atas mirip dengan salah satu fitur yang telah dibawa ke Indonesia. Di sini penumpang bisa membagikan detail perjalanannya, termasuk rute dan perkiraan waktu tiba. Teman atau keluarga yang dibagikan data ini bakal menerima tautan untuk melihat waktu, nama, dan foto pengemudi.
ADVERTISEMENT
Uber juga berkata kepada kumparan (kumparan.com) bahwa mereka menerapkan Real Time ID Check untuk mitra pengemudi, yang secara acak akan meminta pengemudi mengambil foto diri sebelum memulai perjalanan guna memastikan bahwa mitra pengemudi yang sedang memakai aplikasi sesuai dengan identitas yang tercantum.
Sementara Grab, ternyata punya rencana untuk membawa fitur ini ke Indonesia dalam waktu dekat setelah mereka sudah membawa fitur serupa ke sejumlah negara. Perusahaan berkata kehadiran fitur tombol SOS ini masih dalam "proses" karena harus mengurus integrasi dengan berbagai macam pihak di Indonesia.
Membangun Sistem Tanggap Darurat yang Baik
Di tengah kebutuhan semacam ini, aparat penegak hukum seperti kepolisian, seharusnya juga menyiapkan sistem tanggap daruratnya agar bisa diintegrasikan dengan layanan yang banyak dipakai untuk publik. Jika polisi bisa melakukannya, bukan tidak mungkin hal semacam ini juga dipakai di TransJakarta, kereta api, atau mungkin Kopaja dan Metro Mini. Kita masih sering mendengar ada upaya pencopetan atau perampokan di sarana transportasi bus ukuran sedang.
ADVERTISEMENT
Khusus kasus tombol panik Uber di India, salah satu alasan perusahaan membawa fitur itu karena sistem tanggap darurat di sana tidak berjalan dengan baik. Kurang lebih sama seperti di Indonesia. Kita sudah punya nomor tunggal 112 untuk kondisi darurat, tetapi nomor ini tidak tersosialisasi dengan baik.
Sementara di Amerika Serikat, "911" adalah tombol panik untuk segala kondisi darurat. Kebakaran. Ambulans. Ancaman kejahatan. Semua kondisi darurat bisa menghubungi kontak tersebut.
Yang tak kalah penting untuk dipikirkan, adalah akses terhadap fitur tombol emergensi itu. Tentu saja kita tidak berharap ada begitu banyak langkah untuk harus dilewati untuk mencapai tombol emergensi, perusahaan macam Grab, Uber, dan Go-Jek, harus putar otak agar penggunanya yang sedang dalam keadaan darurat tetap bisa mengakses fitur itu dengan cara mudah dan kilat.
ADVERTISEMENT
Satu lagi catatan untuk perusahaan penyedia aplikasi. Berbenah lah dalam proses perekrutan mitra, jangan cuma mementingkan pertumbuhan jumlah mitra, karena sudah tiba saatnya mengedepankan keamanan untuk tujuan jangka panjang.