Peneliti Garap Teknologi AI yang Deteksi Alzheimer 6 Tahun Lebih Cepat

9 Januari 2019 10:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Alzheimer (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Alzheimer (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Bisa mengantisipasi atau memprediksi sebelum sesuatu terjadi membuat kita dapat mempersiapkan diri. Hal ini sangat penting terutama dalam bidang kesehatan, di mana diagnosis awal dapat menambah kesempatan bagi seseorang untuk menyembuhkan penyakitnya.
ADVERTISEMENT
Sekelompok peneliti di University of California San Francisco melakukan penelitian yang mengembangkan teknologi artificial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan untuk mendeteksi penyakit alzheimer enam tahun lebih cepat sebelum diagnosisnya benar-benar diberikan.
Dalam studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal Radiology, Jae Ho Sohn, salah seorang anggota peneliti dari UC San Francisco, mengombinasikan neuroimaging (pemindaian otak) dengan teknologi machine learning untuk memprediksi apakah pasien akan menderita penyakit alzheimer atau tidak.
Untuk melakukannya, dilakukan pemindaian Positron emission tomography (PET) yang mengukur tingkat molekul spesifik, seperti glukosa, di dalam otak. Menurut studi tersebut, glukosa adalah sumber 'bensin' utama bagi jaringan otak dan semakin aktif jaringannya, maka semakin banyak glukosa yang digunakan.
Jika jaringan otak itu terpapar penyakit dan mati, maka semakin dikit glukosa yang digunakan, bahkan sama sekali tidak digunakan.
Pemindaian PET pada otak pasien penderita alzheimer. (Foto: National Institute on Aging)
zoom-in-whitePerbesar
Pemindaian PET pada otak pasien penderita alzheimer. (Foto: National Institute on Aging)
Sebenarnya para ahli radiologi telah melakukan pemindaian ini untuk mendeteksi alzheimer dengan mengurangi tingkat glukosa di otak. Tapi, karena alzheimer adalah penyakit yang berkembang dengan lambat, perubahan tingkat glukosa ini sangat sulit dideteksi dengan mata telanjang.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, Sohn memakai algoritma machine learning pada pemindaian PET yang dilakukan untuk membuat diagnosis tersebut jadi semakin dapat dipercaya.
"Ini adalah pengaplikasian ideal dari deep learning karena teknologi ini dengan kuat dapat menemukan proses yang tajam tapi menyebar. Radiolog manusia sangat kuat dalam mengidentifikasi penemuan kecil seperti tumor otak, tapi kesulitan mendeteksi perubahan yang lebih lambat dan luas," ujar Sohn, dalam situs UC San Francisco.
Untuk melatih algoritma machine learning-nya, Sohn memberinya 'makan' dengan foto-foto yang berasal dari Alzheimer's Disease Neuroimaging Initiative (ADNI), yang memiliki data publik besar terkait pemindaian PET pada pasien.
Ilustrasi otak manusia. (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi otak manusia. (Foto: Shutterstock)
Algoritma mesin pembelajaran tersebut kemudian akan menganalisis foto-foto tersebut untuk memprediksi diagnosis penyakit alzheimer nantinya.
ADVERTISEMENT
Ketika algoritmanya dilatih pada 1.921 pemindaian, para peneliti mengujinya terhadap dua data untuk mengevaluasi kemampuannya. Pertama, ada 188 gambar yang berasal dari database ADNI yang sama tapi belum disajikan dengan algoritma tersebut.
Kedua adalah kumpulan pemindaian dari 40 pasien yang telah diberikan kepada UCSF Memory and Aging Center dengan kemungkinan adanya gangguan kognitif.
Hasilnya, algoritma itu dapat mengidentifikasi dengan benar 92 persen pasien yang terpapar penyakit alzheimer dalam pengujian pertama dan 98 persen di pengujian kedua. Prediksi ini dibuat dalam rata-rata 75,8 bulan, yang berarti sedikit lebih dari enam tahun, sebelum pasien menerima diagnosis akhir yang menyatakan mereka mengidap alzheimer.
Alzheimer (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Alzheimer (Foto: Thinkstock)
Sohn mengatakan tahap selanjutnya adalah untuk menguji dan mengkalibrasi algoritmanya pada kumpulan data yang lebih besar dan beragam dari berbagai rumah sakit serta negara.
ADVERTISEMENT
"Saya yakin algoritma ini memiliki potensi besar untuk digunakan secara klinis. Namun, sebelum kita bisa melakukannya, kita harus memvalidasi dan mengkalibrasi algoritmanya dalam data pasien yang lebih besar dan beragam, idealnya dari berbagai benua dan pengaturan berbeda," jelas Sohn.
Jika algoritmanya bisa melalui pengujian itu nantinya, maka Sohn berpikir teknologi tersebut bisa dipakai oleh para neurolog dalam memprediksi penyakit alzheimer dan memberikan perawatan lebih dini.