Populer di Medsos Bukan Tolok Ukur Elektabilitas Paslon Pilpres 2019

30 Januari 2019 21:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas melakukan pengecekan kualitas surat suara Pilpres 2019 saat pencetakan surat suara di Jakarta. (Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
zoom-in-whitePerbesar
Petugas melakukan pengecekan kualitas surat suara Pilpres 2019 saat pencetakan surat suara di Jakarta. (Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
ADVERTISEMENT
Jelang pemilihan umum presiden 2019, kedua kubu pasangan calon (paslon) berlomba-lomba menjadi tokoh yang paling disoroti masyarakat. Berbagai lembaga survei juga turut memetakan popularitas kedua kubu di media sosial dengan menggunakan teknologi machine learning.
ADVERTISEMENT
Media sosial memang menjadi patokan yang sangat baik untuk mengetahui tingkat popularitas seseorang. Namun, apakah sebenarnya 'kemenangan' popularitas juga merupakan tolok ukur elektabilitas paslon?
Pakar media sosial dan pendiri Media Kernels Indonesia Ismail Fahmi, berkata lembaga survei dari kedua kubu bisa dibilang menghasilkan data yang biased. Artinya, hasil riset yang dirilis dari kedua belah pihak berbeda-beda tergantung siapa yang dimenangkan dalam hasil surveinya.
"Timses bangga dengan popularitas yang tinggi tapi mereka enggak melihat sentimennya," ujar Ismail dalam acara Machine Learning Indonesia x kumparan Meet Up di kantor kumparan, Jakarta, Selasa (29/1). "Ini kalau kita lihat di sini, machine learning melihat sentimennya. Tinggi (popularitas) kalau sentimennya negatif percuma."
Ismail Fahmi (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ismail Fahmi (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Ismail dan timnya kemudian mencoba ikut menganalisis tren pilpres di media sosial. Analisis memanfaatkan sistem Drone Emprit buatannya yang bertumpu pada teknologi big data dan berbasis teknologi machine learning dan natural language processing (NLP).
ADVERTISEMENT
Hasil Analisis Sistem Drone Emprit
Berdasarkan hasil analisis dengan sistem Drone Emprit setelah debat pemilihan presiden pertama, kubu paslon Jokowi - Ma'ruf Amin (JKW-MA) lebih populer dibandingkan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno (PS-SU) dengan persentase interaksi 57 persen. Interaksi netizen di berbagai media sosial tentang JKW-MA mencapai 184,4 ribu, sementara PS-SU 139 ribu.
Namun berdasarkan analisis sentimen percakapan, JKW-MA mendapatkan sentimen negatif lebih tinggi dibanding PS-SU. Interaksi positif tentang JKW-MA hanya 58 persen, sementara PS-SU mencapai 62 persen.
Berdasarkan dua patokan tersebut, analisis popularitas dan sentimen, pasangan JKW-MA lebih populer, namun pasangan PS-SU lebih disukai lebih banyak orang.
Untuk analisis sentimennya sendiri, Drone Emprit menggunakan machine learning yang diperiksa dan diperbaiki akurasinya secara semi manual.
Prabowo dan Presiden Jokowi berpelukan bersama dengan peraih emas final pencak silat Asian Games 2018, Rabu (29/8/18). (Foto: Instagram: @prabowo)
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo dan Presiden Jokowi berpelukan bersama dengan peraih emas final pencak silat Asian Games 2018, Rabu (29/8/18). (Foto: Instagram: @prabowo)
Popularitas kedua paslon saat debat pilpres juga dilihat pada interaksinya, apakah itu organik atau bot. Hasilnya, kedua paslon mengerahkan akun-akun bot untuk menaikkan popularitas di Twitter, namun paslon JKW-MA memiliki bot yang lebih banyak. Bagaimana cara mengetahuinya?
ADVERTISEMENT
Cuitan organik di Twitter bisa terlihat dari rata-rata interaksi di cuitan. Rumus rata-rata interaksi tersebut adalah IR=(RT/Reply)/Mention. Hasilnya, semakin besar rata-rata interaksi, maka semakin banyak cuitan yang organik.
Di hari yang sama menjelang debat pilpres, statistik interaksi PS-SU di Twitter menunjukkan grafik yang stabil, sementara JKW-JK naik-turun. Saat debat dimulai hingga selesai, hasil Retweet (RT) kedua kubu melonjak.
Namun hasilnya, pasangan PS-SU mendapatkan hasil interaksi yang lebih tinggi dengan 6,06. Sementara JKW-MA hanya 3,54.
Akun Bot Bantu Dorong Popularitas Paslon di Media Sosial
Berdasarkan rata-rata interaksi, Ismail mengatakan bahwa kedua paslon menggunakan andil bot untuk meningkatkan popularitas, namun kubu JKW-MA memiliki lebih banyak bot. PB-SU memiliki rasio interaksi yang lebih besar, sedangkan JKW-MA menghasilkan banyak cuitan dan share namun sedikit interaksi.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, popularitas kedua paslon di media sosial sama sekali bukan tolok ukur untuk melihat siapa yang akan memenangkan pilpres 2019. "Yang bisa sampai ke titik atas sini (yang paling populer dan disukai) itu yang bakal menang," jelas Ismail.
Fahmi Ismail, Founder at Media Kernels Indonesia menjadi salah satu pembicara di acara Machine Learning Indonesia x kumparan. (Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Fahmi Ismail, Founder at Media Kernels Indonesia menjadi salah satu pembicara di acara Machine Learning Indonesia x kumparan. (Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan)
Drone Emprit menciptakan bahasa pemrogramannya sendiri yang dinamakan, Perl. Dengan Perl, Drone Emprit menganalisis tren pilpres di media sosial, yaitu Twitter, Instagram, Facebook dan YouTube.
Untuk proses analisisnya, Drone Emprit menggunakan teknik Social Network Analysis (SNA), pemetaan terhadap relasi antar orang, organisasi topik, lokasi dan entitas informasi lainnya. Di dalam SNA terbagi lagi menjadi beberapa teknik, mulai dari clustering, analisis opini, analisis sentimen hingga pengenalan nama.
Dalam teknik pengenalan nama, mesin pembelajaran akan dilatih untuk mengetahui asosiasi lain dari sebuah nama. Teknik ini membantu mempermudah analisis opini dan sentimen untuk menentukan apakah bunyinya negatif atau positif.
ADVERTISEMENT