Smartfren Ungkap Hambatan Penerapan Jaringan 5G di Indonesia

19 Agustus 2019 18:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perusahaan telekomunikasi Smartfren. Foto: Aulia Rahman Nugraha/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Perusahaan telekomunikasi Smartfren. Foto: Aulia Rahman Nugraha/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Implementasi jaringan 5G di Indonesia memang masih lama. Untuk saat ini, berbagai perusahaan telekomunikasi di Indonesia baru melakukan sebatas pengujian untuk mempersiapkan implementasi jaringan generasi selanjutnya tersebut.
ADVERTISEMENT
Tentunya, ada beberapa hambatan yang menjadi tantangan perusahaan telekomunikasi di Indonesia untuk menerapkan 5G. Merza Fachys, selaku Presiden Direktur Smartfren, mengungkapkan faktor teknis merupakan hambatan utama penerapan 5G di Indonesia.
“Nah apa yang ada saat ini kalau mau diimplementasi 5G, kita belum siap dengan frekuensi-frekuensi yang akan dibutuhkan untuk betul-betul bisa menggelar 5G dengan baik. Kenapa? Karena frekuensi kita itu kavlingnya sudah kepakai semua, tinggal yang kosong yang masih daerah atas-atas,” beber Merza, saat ditemui dalam uji coba jaringan 5G oleh Smartfren, Kominfo, dan ZTE, di Bekasi, Senin (19/8).
“Contoh, misalkan yang untuk trial hari ini, itu 28 GHz. Kalau frekuensi setinggi itu digunakan untuk menggelar jaringan secara full coverage itu enggak efisien," sambungnya.
Presiden Direktur Smartfren, Merza Fachys. Foto: Aditya Panji/kumparan
Sementara itu, menurut Denny Setiawan, Direktur Penataan Sumber Daya dari Kominfo, inefisiensi dari jaringan 5G di Indonesia tidak terlepas dari karakteristik frekuensi tinggi yang digunakan saat ini. Oleh karena itu, perlu ada solusinya.
ADVERTISEMENT
“Teorinya, kalau frekuensinya makin tinggi, coverage-nya makin kecil. Tadi kan (jangkauannya) cuma 200-300 meter. Nah, ini artinya perlu investasi yang sangat banyak,” ujar Denny, dijumpai di tempat yang sama.
Adapun ketersediaan frekuensi yang lebih rendah untuk 5G menjadi perhatian utama bagi Merza. Menurutnya, saat ini frekuensi yang lebih rendah masih digunakan oleh layanan lain, sehingga diperlukan penataan ulang untuk memungkinkan layanan 5G yang lebih efisien di Indonesia.
“In paralel, pemerintah juga sedang mencari jalan keluar untuk mendapatkan frekuensi-frekuensi yang lebih rendah, yang sekarang mungkin masih dipakai oleh beberapa aplikasi atau pelayanan yang lain. Nanti, kalau itu berhasil pun, ya kita ingin juga coba trial, kita bandingkan frekuensi sekian bagaimana, frekuensi sekian bagaimana. Itulah namanya trial. Namanya juga uji coba. Diuji dan dicoba,” kata Merza.
Perusahaan telekomunikasi Smartfren. Foto: Aditya Panji/kumparan
Ia mengatakan, negara-negara lain yang telah mengkomersialkan 5G telah menetapkan frekuensi-frekuensi yang lebih rendah. Ini diharapkan bisa diikuti juga di Indonesia dengan penataan ulang. Merza juga menekankan perlunya regulasi untuk menciptakan ekosistem 5G di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Regulasi yang saya maksud ya semua itu aturan-aturan main, bukan sekadar regulasi Kominfo. Contoh, misalkan, ini contoh ya. Contoh misalkan titik-titik tadi, BTS (Base Transceiver Station), kalau saya harus masang tiap 200 meter, bayangkan seluruh Jakarta mesti berapa puluh ribu yang mesti saya pasang. Mau nggak Pemda-nya? Nah, kayak gitu. Itu termasuk regulasi yang harus dibikin," jelasnya.
Urgensi untuk menghadirkan ekosistem 5G serta regulasi yang menaunginya merupakan upaya untuk menjaga peluang ekonomi yang bisa dihasilkan dari perkembangan telekomunikasi.
“Kalau kita tidak masuk ke arena ini, opportunity-opportunity yang menurut kita akan menimbulkan multiplier effect bagi ekonomi enggak terjadi. Telekomunikasi bukan di depan, telekomunikasi ini enabler. Jangan sampai barangnya jadi duluan, enabler-nya belakangan. Bukan enabler namanya. Enabler artinya dia yang meng-keep mission,” tegas Merza.
ADVERTISEMENT