Elegi Kawah Ijen

28 Juni 2017 7:11 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Puncak Kawah Ijen. (Foto: Aditia Rijki Nugraha/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Puncak Kawah Ijen. (Foto: Aditia Rijki Nugraha/kumparan)
ADVERTISEMENT
“Yogyakarta merindukan Paris Van Java adalah tangisan terakhir Nugroho untuk Tata. Guratan kekecewaan, kepasrahan dan juga bentuk rindu yang dikonversikan dalam bentuk cerita, di diary elektronik milik Nugroho.”
ADVERTISEMENT
Februari 2016 (Beberapa bulan sebelum keberangkatan)
Kesepakatan mereka untuk berani mengambil risiko dari sebuah hubungan jarak jauh (LDR), nyatanya tak berjalan sesuai kemauan mereka.
Berkali-kali dirombak, mulai dari berapa kali dalam sebulan harus bertemu, siapa yang mendatangi siapa, dan kapan bisa sekadar melakukan video call sebagai pelebur rindu.
Tata yang sedang berjuang di kota yang dielukan sebagai Paris di Pulau Jawa, dan Nugroho yang sedang merantau ke kota pelajar yang apa adanya.
Hingga akhirnya, Tata memilih untuk menyerah pada jarak dan pada perbedaan hidup di antara mereka yang tergambar ibarat langit dan bumi. Tata tinggi di atas langit dan Nugroho menatap dari bawah, di bumi.
Perjumpaan terakhir. (Foto: Dok. Aditia Rijki)
zoom-in-whitePerbesar
Perjumpaan terakhir. (Foto: Dok. Aditia Rijki)
Tata pergi, kemudian kembali, lalu pergi lagi, Kawah Ijen saksinya.
ADVERTISEMENT
Sebulan berlalu ketika Tata memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan Nugroho di bulan Februari, tiba-tiba satu hari tanpa pertanda apa pun, Tata berdiri di depan kamar kos ukuran 4x3 meter yang dihuni Nugroho. Terdengar satu sapaan dari suara yang tak asing lagi kala salam terlontar dari mulutnya.
Nugroho? Tentu coba mengambil waktu beberapa detik untuk memastikan, pikiran dan harapannya harus selaras. Itu Tata, berdiri di depan pintu dan menyapa dengan kata “hai”.
Siang itu, di depan pintu Tata mematung jadi sosok yang hadir tiap malam di setiap lelapnya. Kini sosoknya nyata berada di depan mata, selangkah ia berjalan bisa didapati bentuk wajah yang sudah ia hapal sejak lama.
Hari itu Tata datang membawa teka-teki lain soal perasaaan, katanya beberapa hari ini ia rindu Nugroho. Entah kenapa, kata Tata, raganya lesu, jiwanya lusuh dan perasaannya tak menentu.
ADVERTISEMENT
Katanya lagi, ia tahu persis yang jadi penyebabnya. Tata rindu dan Nugroho mengamininya. Ia lebih merindu Tata.
Nugroho sudah cukup sadar untuk mengerti bahwa semua ini nyata. Kemudian percakapan antara mereka terjadi di teras depan kamar kos. Tata memulai dengan kata maaf, maaf karena meninggalkan.
Nugroho memulai dengan kata “aku kangen karo awakmu”, tak menghiraukan kata maaf dari Tata. Baginya hari itu, melihat Tata lagi adalah penerimaan maaf terbesarnya.
Membahas ini itu, membicarakan tentang kebodohan masing-masing ketika tak bersama, membawa mereka pada pemahaman, mungkin mereka hanya butuh waktu untuk lebih sering berbicara.
Kemudian satu keputusan disepakati, cukup sudah ketegangannya, saatnya untuk berbahagia. Mereka akan melawan dengan tawa, dan yakin bahwa tertawa adalah bahasa paling universal yang bisa dimengerti oleh siapapun, di manapun, di belahan dunia manapun.
ADVERTISEMENT
Untuk sekadar merayakannya, mereka berencana berpergian ke ufuk timur Pulau Jawa?
Dan, Banyuwangi jadi pilihan. Indahnya Kawah Ijen memikat mereka untuk menyambangi gunung setinggi 2.799 mdpl itu. Bertegur sapa dengan alam sembari melepas rindu yang menuntut untuk dilepaskan.
Matahari terbit di perjalanan menuju Kawah Ijen. (Foto: Aditia Rijki Nugraha/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Matahari terbit di perjalanan menuju Kawah Ijen. (Foto: Aditia Rijki Nugraha/kumparan)
***
Mei 2016
Sebuah kertas bertuliskan-- Ekonomi 5 17 D dan 17 E, Kereta Sri Tanjung keberangkatan pukul 07.00 jurusan Lempuyangan (Yogyakarta)-Karangasem (Banyuwangi) menjadi bukti nyata perjalanan hari itu.
22 Mei 2016, dua sejoli yang dirundung rindu melakukan perjalanan dalam misi mencari pemahaman--kemana hubungan akan dilanjutkan. Ia dengan sneaker warna biru dan aku dengan sandal gunung bercorak jingga.
Perjalanan di pagi hari memang lebih menyenangkan, sesekali matamu bisa terus terperanga melihat hamparan warna hijau dan langit yang kebiru-biruan. Sembari bertukar cerita selama perjalanan, mataku tak pernah lepas dari ia yang kurindukan. Di temani cokelat hangat, perjalanan panjang itu lebih manis dan menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Perjalanan dari Yogyakarta menuju Banyuwangi terbilang cukup lama, memakan waktu sekitar 14 jam. Kami tiba di stasiun Karangasem pukul 20.35 WIB, semenit kemudian kami bergegas menuju tempat menyewa sepada motor Pak Thalib yang sudah tenar di kalangan pendaki Kawah Ijen. Usai bernegosiasi, kami putuskan langsung berangkat menuju pos Paltuding-- basecamp pendakian Kawah Ijen.
Tepat pukul 21.00 WIB aku menggeber motor matic sembari mencari tempat makan untuk mengisi tenaga sambil bercakap mempersiapkan perjalanan. Kami melanjutkan perjalanan sekitar pukul 21.45 WIB menuju Pos Paltuding dan kami tak menyangka jalan yang harus dilewati cukup ekstrem dengan kondisi sepi. Selama perjalanan kami melewati hutan dengan trek menanjak yang membuat motor matic kami sedikit kesulitan, ditambah kabut yang mulai turun, jarak pandang saya cukup pendek.
ADVERTISEMENT
Setelah perjalanan yang cukup menyulitkan, akhirnya kami sampai di Pos Paltuding tepat pukul 23.00 WIB. Sembari menunggu waktu mendaki pukul 02.30 WIB nanti, kami habiskan segelas teh hangat dan cemilan ala kadarnya untuk melepas dingin di Pos Paltuding. Kami pun mengistirahatkan mata sejenak di warung penjaja minuman hangat malam itu dan memulihkan tenaga untuk pendakian nanti.
Cokelat hangat peneman perjalanan. (Foto: Aditia Rijki Nugraha/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Cokelat hangat peneman perjalanan. (Foto: Aditia Rijki Nugraha/kumparan)
***
Suara bising nada dering handphone-mu membangunkan tidurku malam itu. Udara dingin disertai kabut tebal menyambut seketika, “Yuk bangun, siap-siap naik," ucapku.
Semenit kemudian, usai menyegarkan diri dengan membasuh wajah, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini hanya dengan berjalan kaki.
Jalur pendakian Kawah Ijen terbilang cukup mudah bagi para pedaki pemula. Jalan yang tak terlalu curam dan trek tanah yang keras membuat pendaki tak terlalu kesulitan. Pun baginya yang pertama kali mendaki gunung.
ADVERTISEMENT
Sepanjang jalan, bersama pendaki yang lain. Kami kembali bercakap soal bagaimana hubungan nanti ke depan. Di antara kalimat yang terbata-bata, ia menyelipkan harap terbaik untuk kami nantinya. Bahwa nanti semua orang yang meragukan kami bisa memahami jika jatuh cinta bukan sekadar cinta kemudian jatuh terluka.
Satu jam pendakian, kami mulai melewati jalur cukup menanjak. Ia mulai kelelahan, fisiknya memang tak terbiasa. Hidupnya terlalu dimanjakan dengan kemudahan ini itu, terkadang berjalan beberapa meter pun malas dilakukan. Satu jam perjalanan, kami putuskan beristirahat.
Dirasa cukup, kami melanjutkan perjalanan. Namun baru beberapa langkah, ia sudah merengek kelelahan. Katanya, dadanya sesak, napasnya pendek. Beberapa pendaki lain yang ikut beristirahat memberikan persedian air dan koyo panas agar badannya hangat. Wajahnya mulai pucat, tangannya dingin, napasnya tak beraturan.
ADVERTISEMENT
Kondisi itu sempat membuat kami memutuskan tak melanjutkan pendakian. Namun ia bilang masih ingin mencoba, usai beberapa menit beristirahat. Setelah melewati pos terakhir, jalur pendakian cukup mudah. Tak banyak tanjakan, namun kami harus berjalan agar jauh karena trek kali ini memutar.
Jalur menuju Puncak Ijen. (Foto: flickr/Muh. Sirojul Munir)
zoom-in-whitePerbesar
Jalur menuju Puncak Ijen. (Foto: flickr/Muh. Sirojul Munir)
*Tanjakan terakhir*
Puncak Kawah Ijen sudah terlihat, sedikit lagi kami sampai puncak. Waktu sudah menunjukkan pukul 04.30 WIB, sebentar lagi matahari terbit.
Tak disangka, ia kembali menyerah dan berkata tak sanggup lagi. Ia menjatuhkan bokonya ke tanah dan bersandar di salah satu batang pohon.
“Aku pusing banget ini, sebentar aku susah napas. Masih jauh ya puncaknya?”
“Istirahat dulu, minum lagi sana. Sebentar lagi kok, itu abis belokan di depan” jawabku sambil menunjuk satu arah.
ADVERTISEMENT
Ia masih di posisi bersender, sedangkan waktu sudah pukul 04.50 WIB. Tak mau melewatkan untuk bisa melihat api biru di puncak nanti, aku pun sedikit memaksanya untul berdiri.
“Ayo lanjut lagi, sebentar lagi puncaknya. Berdiri dulu, ayo sini digendong sampai kamu agak kuat,” pintaku sambil mengambil aba-aba untuk menggendongnya.
Sempat keberatan, akhirnya ia melompat ke punggungku. Setelah memastikan peganganku kuat, kami melanjutkan perjalanan yang tinggal hitungan menit.
“Di bawah langit malam menunggu fajar, bulan bersinar tampak tak malu-malu. Menemani kamu yang ada di punggungku. Sambil melempar canda ini itu, tawamu pecah mengisi hening malam.”
Kakiku gemetar, peganganku mulai kendor. Posisinya semakin turun di punggungku. Tak terasa beberapa meter sudah terlewati, beberapa tanjakan dilalui sembari menggendongnya.
ADVERTISEMENT
Dia menepuk punggungku sembari berbisik.
“Turunin aku di sini, aku udah kuat kok. Sedikit lagi bisa jalan sampai puncak, kamu kasihan,” pintanya sambil mengelap jidatku.
Dia menyambut uluran tanganku, sambil tersenyum manis. “Ayo, dikit lagi puncak kan. Kita datang Puncak Ijen,” pekiknya kegirangan.
Entah kenapa waktu itu adalah momen di mana aku yakin jika kami seharusnya bisa bersama meski perbedaan status sosial yang disoalkan karena berbeda.
Tak sampai 20 menit, kami mulai bisa melihat orang-orang telah ramai berkumpul di satu tempat. Ada asap mengepul ke udara. Beberapa orang sibuk mengumpulkan belerang untuk ditimbang--mereka adalah para penambang belerang yang bersiap menghitung pendapatan hari itu.
Kompak dalam hati kami berkata. Puncak Ijen, kami sampai!
Matahari terbit di Puncak Kawah Ijen. (Foto: Aditia Rijki Nugraha/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Matahari terbit di Puncak Kawah Ijen. (Foto: Aditia Rijki Nugraha/kumparan)
***
ADVERTISEMENT
Usai menikmati pemandangan api biru yang tersohor. Aku mengajaknya untuk sedikit berjalan ke atas Puncak Ijen. Di sana kita bisa melihat Danau Ijen yang disinari matahari.
Setelah menemukan posisi duduk paling pas, kami melempar pandangan ke Danau Ijen yang berwarna kehijauan. Indahnya Ijen membayar lelah hari itu.
Dia masih asik memandangi Kawah Ijen, sementara aku sibuk memberanikan diri untuk memberikan sebuah kotak kepadanya. Kotak itu berisi nama sebuah kejadian yang ia sukai dan diukir pada sebuah cincin.
Keyakinan itu mendorong tanganku menyerahkan kotak berisi cincin itu padanya. Di Puncak Ijen dengan Kaldera Ijen sebagai latar belakangnya. Ku pasangkan cicin yang sengaja ku pesan beberapa hari sebelum ia memutuskan pergi.
Wajahnya merah, semakin manis terlihat. Tak banyak bicara, ia membuka jemarinya. Lingkar jari manisnya telah diselimuti benda berukir nama kesukaannya--Petrichor.
Cicin di Puncak Kawah Ijen. (Foto: Aditia Rijki Nugraha/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Cicin di Puncak Kawah Ijen. (Foto: Aditia Rijki Nugraha/kumparan)
*****
ADVERTISEMENT
Pagi itu, pukul 06.30 WIB di puncak Kawah Ijen laki-laki yang menggendong pujaannya untuk sampai di puncak mencoba meyakinkannya untuk terus bertahan.
Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut dua sejoli itu, mata mereka masih sibuk menikmati pemandangan indah dari Kawah Ijen. Bahunya masih setia menopang kepala perempuan yang menyender sembari mendekap lengan laki-laki itu, erat.
Penambang belerang di Kawah Ijen. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Penambang belerang di Kawah Ijen. (Foto: Wikimedia Commons)
*****
Juni 2016, beberapa minggu usai pendakian Kawah Ijen
Seperti para penambang belerang di Kawah Ijen, Nugroho telah menggantungkan harapan akan hubungan dengan kekasihnya saat itu--Tata pada Kawah Ijen. Berharap Kawah Ijen akan menguatkan keyakinan keduanya-- mereka bisa bersama, seperti Kawah Ijen menguatkan para penambang belerang di sana untuk mendaki ke puncak Ijen setiap hari.
ADVERTISEMENT
Namun Kawah Ijen mengajarkan pada Nugroho, terkadang sebesar dan seberat apa pun usahamu tak akan menjamin orang lain mengerti bagaimana pengorbanan, harapan, dan keyakinan yang dicurahkan.
Nugroho paham, pendakiannya ke Kawah Ijen bersama Tata bukan untuk menguatkan hubungan mereka. Nugroho mendaki untuk menguatkan hatinya ketika Tata memutuskan untuk pergi lagi dan tak mau datang kembali.
Alasan Tata kembali pergi sudah sangat dipahami oleh Nugroho, alasan sama yang Tata lontarkan saban waktu ketika pergi tanpa kabar. Masa lalu Nugroho terlalu berisiko bagi keluarga Tata yang masyhur. Nugroho kuat tapi Tata tak sanggup lagi berjalan dan Tata tak ingin lagi digendong.
Lama dirundung derita, Nugroho berjanji satu hari nanti ia akan kembali mendaki Kawah Ijen dan berdoa agar kali ini, kawah itu dapat menguatkan hubungan Tata dan kekasih barunya.
ADVERTISEMENT