Famadihana, Tradisi Mengganti Kain hingga Berdansa dengan Mayat

22 Maret 2018 16:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tradisi Famadihana (Foto: Flickr / Pier Smith)
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi Famadihana (Foto: Flickr / Pier Smith)
ADVERTISEMENT
Kematian biasanya selalu diselimuti rasa sedih dan juga tangis. Bagaimana tidak? Kehilangan orang terkasih selamanya tentu meninggalkan kesedihan dan luka mendalam.
ADVERTISEMENT
Tak sampai di situ, kesedihan juga bisa hadir kembali apabila kita turut mengantarkan orang terkasih ke tempat peristirahatan terakhirnya. Biasanya, banyak orang yang akan memanjatkan doa untuk mendiang saat berada di pemakaman.
Iring-iringan musik (Foto: Flickr / Claudie)
zoom-in-whitePerbesar
Iring-iringan musik (Foto: Flickr / Claudie)
Namun, hal berbeda justru terjadi di Madagaskar. Bagi warga Suku Malagasi di Madagaskar, bukan tangis yang mengiringi pemakaman, tapi justru dansa lah yang menemaninya ketika 'bertemu' leluhur. Adalah tradisi Famadihana, sebuah upacara penggantian kain kafan yang dilaksanakan antara Juli hingga September.
Masyarakat menggotong mayat bersama-sama (Foto: Flickr / Tee La Rosa)
zoom-in-whitePerbesar
Masyarakat menggotong mayat bersama-sama (Foto: Flickr / Tee La Rosa)
Tujuan dilaksanakan Famadihana sendiri sebagai ungkapan rasa cinta terhadap keluarga yang telah tiada.
Upacara yang dilaksanakan setiap lima, tujuh, atau sembilan tahun itu diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan. Kemudian sanak saudara akan berkumpul untuk menjalin silaturahmi.
ADVERTISEMENT
Setelah berkumpul dan menghabiskan waktu bersama, mereka mengunjungi kuburan leluhur, kemudian menggalinya dari kriptus atau tempat pemakaman. Selanjutnya, mayat yang sudah bertahun-tahun lamanya akan dibuka dan diganti dengan kain kafan atau lamban dengan yang baru.
Mayat dimasukan ke kriptus (Foto: Flickr / Claudie)
zoom-in-whitePerbesar
Mayat dimasukan ke kriptus (Foto: Flickr / Claudie)
Proses pergantian kain ini hanya bisa dilakukan oleh pihak keluarga saja. Sebelum kembali ditutup, kabarnya tulang belulang itu disiram dengan anggur, namun ada juga yang mengatakan cukup dengan parfum saja.
Masyarakat menggotong mayat (Foto: wikimedia commons)
zoom-in-whitePerbesar
Masyarakat menggotong mayat (Foto: wikimedia commons)
Kemudian masyarakat turut bergotong-royong membawa jenazah leluhur. Sambil menggotong, mereka juga menari dengan diiringi musik tradisional Malagasy. Sebelum matahari terbenam, jenazah ini sudah harus kembali masuk ke dalam liang kubur.
Sayangnya, upacara ini menuai kritikan dari berbagai pihak karena diyakini mayat tersebut bisa menularkan penyakit dan virus. Tetapi Suku Malagasi percaya jika upacara Famadihana dapat membawa keberuntungan.
ADVERTISEMENT
Hmm...bagaimana menurutmu?