Kelamnya Pulau Goree di Senegal dan Kisah 'Door of No Return'

13 Desember 2018 9:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pulau Goree di Senegal. (Foto: AFP/MARCEL MOCHET)
zoom-in-whitePerbesar
Pulau Goree di Senegal. (Foto: AFP/MARCEL MOCHET)
ADVERTISEMENT
"Belum ke Senegal kalau belum ke Goree."
Kalimat itu terlontar dari Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Dakar Didik Trimardjono saat menyambut kumparan di Senegal, awal pekan ini.
ADVERTISEMENT
Ada dua hal yang membuat Goree sangat menarik. Pertama, tempat itu masuk daftar situs warisan budaya UNESCO. Kedua, Indonesia berencana mengucurkan investasi besar ke sekitar kawasan tersebut.
Kata yang terucap dari Didik membuat kumparan berupaya mencari cara bagaimana bisa mencapai Goree di tengah waktu sangat singkat dan padat kegiatan di Senegal.
Pulau Goree di Senegal. (Foto: Andreas Gerry Tuwo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pulau Goree di Senegal. (Foto: Andreas Gerry Tuwo/kumparan)
Dorongan untuk menuju Goree pun semakin kuat datang usai salah seorang staf lokal KBRI yang merupakan penduduk asli Senegal bernama Fatu. Ia mengatakan, percuma kalau ke Senegal tapi tidak ke Goree.
Setelah hampir putus asa karena padatnya jadwal, di hari terakhir lawatan ke Senegal, tepatnya pada Selasa (11/12), kumparan akhirnya bisa mengunjungi Goree.
Ada alasan di balik kengototan kumparan untuk bisa ke Goree. Tempat itu, dulunya adalah pusat perbudakan dunia.
ADVERTISEMENT
Demi mencapai Goree kumparan Naik kapal feri cepat dari pelabuhan Dakar. Lewat jalur laut hanya butuh waktu kurang dari setengah jam untuk sampai di bibir pantai Goree.
Aura Kesedihan
Melangkah turun dari feri, aura kesedihan dan penderitaan mendalam langsung menyeruak dari pulau tersebut.
Pulau Goree di Senegal. (Foto: AFP/MARCEL MOCHET)
zoom-in-whitePerbesar
Pulau Goree di Senegal. (Foto: AFP/MARCEL MOCHET)
Di tengah perasaan yang bergejolak tersebut tiba-tiba seorang penduduk lokal Goree menghampiri rombongan kami. Ia bernama Abdoulaye atau biasa dipanggil Abdou.
Dengan ramah dirinya menawarkan menjadi pemandu wisata. Ia hanya mematok harga 8000 CFA atau setara Rp 200 ribu untuk memandu satu kelompok wisata.
kumparan dan rombongan pun menyetujui tawaran tersebut. Dari Abdou kami tahu soal sejarah Goree yang menyedihkan.
Dulu sekitar abad 17, kata Abdou, Goree adalah pusat perdagangan budak kulit hitam di Samudera Atlantik. Seluruh budak diambil dari beberapa negara Afrika dikumpulkan di Goree sebelum dikirim ke Benua Amerika dan Eropa.
Suasana di Pulau Goree, Senegal. (Foto: Andreas Gerry Tuwo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di Pulau Goree, Senegal. (Foto: Andreas Gerry Tuwo/kumparan)
Ada empat negara yang mengambil budak melalui Goree, mereka adalah Portugal, Belanda, Prancis dan Inggris. Namun, Goree menjadi pusat perdagangan budak saat dikuasai Prancis.
ADVERTISEMENT
Sembari berjalan dan membakar rokoknya, Abdou membawa kumparan ke satu bangunan kecil yang tidak terlalu luas dan menghadap ke arah laut bernama Maison des Esclaves.
Pulau Goree di Senegal. (Foto: AFP/MARCEL MOCHET)
zoom-in-whitePerbesar
Pulau Goree di Senegal. (Foto: AFP/MARCEL MOCHET)
Bangunan itu bukan sembarang bangunan. Mulai dari Nelson Mandela hingga Barack Obama pernah ke sana.
Di dalam rumah tersebut terdapat ruangan-ruangan kecil dan sebuah pintu menghadap ke arah Samudra Atlantik.
Abdou mengatakan, bangunan ini adalah pusat budak-budak Afrika ditampung. Mereka dipisahkan di beberapa kamar sesuai dengan jenis kelamin dan usia.
Sebelum dikirim, budak-budak tersebut diperlakukan sangat tak manusiawi. Abdou menyatakan, para budak hanya diberi makan kacang merah dan kerap disiksa.
Maison des Esclaves di Pulau Goree, Senegal. (Foto: AFP/SELLOU DIALLO)
zoom-in-whitePerbesar
Maison des Esclaves di Pulau Goree, Senegal. (Foto: AFP/SELLOU DIALLO)
Agar tak melawan budak dipasangi bola besi seberat puluhan kilogram di kakinya. Karena beratnya siksaan dan kotornya tempat tersebut ditambah buruknya sanitasi, jutaan budak tewas akibat pes.
ADVERTISEMENT
Sementara budak-budak yang masih hidup, dipastikan menjadi komoditas untuk dikirim ke beberapa wilayah jajahan negara-negara Eropa.
Door of No Return
Abdou mengatakan, setiap budak yang dipilih untuk dikirim akan pergi dari Maison des Esclaves lewat sebuah pintu yang disebut "Door of No Return".
"Barang siapa yang melewati pintu tersebut, maka mereka tidak akan pernah kembali ke tanah kelahirannya di Afrika," kata Abdou menjelaskan arti penamaan tersebut.
Di akhir cerita Abdou menjelaskan, perbudakan merupakan kenangan pahit bagi seluruh warga kulit hitam. Baginya, tindakan tersebut lebih dari kebiadaban.
"Kami mungkin bisa memaafkan perbudakan, tapi kami tidak akan pernah bisa melupakannya," tutup Abdou.
Penjara budak di Pulau Goree, Senegal. (Foto: Andreas Gerry Tuwo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Penjara budak di Pulau Goree, Senegal. (Foto: Andreas Gerry Tuwo/kumparan)