Mengenal Mak Temu, Sang Maestro Gandrung Banyuwangi

1 Oktober 2017 18:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mak Temu dan Penari Gandrung Banyuwangi (Foto: Rina Nurjanah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mak Temu dan Penari Gandrung Banyuwangi (Foto: Rina Nurjanah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Hari itu matahari tak begitu galak dengan terik panasnya. Cuaca cerah di tengah semilir angin dan pinggiran hijau sawah.
ADVERTISEMENT
Bangku-bangku dari kayu menjadi tempat penonton, sedang tanah menjadi panggung pertunjukannya. Hari itu Temu Mesti, maestro Gandrung, menjadi sinden bagi pertunjukan tari di Desa Kemiren, Banyuwangi, Selasa (29/8).
Duduk santai di sebuah amben kayu tempat para pemain gamelan dan penari, Temu Mesti menembang lagu-lagu pengiring tari. Suaranya nyaring merdu dengan cengkok khas Osing berpadu dengan ketukan kendang yang harmonis.
Hari itu, kami boleh dibilang beruntung, datang ke Desa Kemiren dan tak disangka berjumpa sang maestro Gandrung. Tak ingin kehilangan kesempatan, kami meminta waktu untuk berbincang singkat usai pertunjukan.
Semula wanita yang telah mendedikasikan hidupnya untuk Gandrung ini tampak malu-malu. Rambutnya yang mulai beruban ia warnai merah, Mak Temu tampak cantik dengan kebaya hijau yang dikenakannya.
ADVERTISEMENT
Setelah sedikit jurus bujuk rayu dikeluarkan, ia bersedia untuk sedikit berbagi cerita dengan kumparan.
Mak Temu dan Penari Gandrung Banyuwangi (Foto: Nur Syarifah Sa'diyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mak Temu dan Penari Gandrung Banyuwangi (Foto: Nur Syarifah Sa'diyah/kumparan)
“Nama saya Temu Mesti. Lahir tanggal 20 bulan 4 Tahun 1953. Mulai belajar gandrung umur 15, tahun ‘68 sampai sekarang. Umur saya sekarang 64, masih eksis, masih action, Alhamdulillah,” ujarnya ceria memperkenalkan diri seperti siang hari itu.
Putri dari kedua dari pasangan Mustari dan Supiah ini lahir dengan nama Misti. Misti dalam bahasa Osing disebut kluwung gapit, yakni diapit oleh kakak dan adik. Sejak usia 7 bulan, karena sang ibu mengandung, Misti diasuh oleh Atidjah, kakak perempuan Mustari.
Darah seni mengalir kental dari garis ayahnya yang seorang pemain ludruk dan biasa menembang lagu jula-juli yang disebut kidungan ludruk. Sementara kakeknya, Samin, merupakn ahli dalam seni tradisi mocoan lontar.
ADVERTISEMENT
Misti kecil sering sakit-sakitan. Ia pun dibawa berobat ke dukun di daerah Pancoran, karena tak ada puskesmas masa itu. Misti dibawa ke dukun yang juga juragan gandrung bernama Mbah Ti’ah.
“Dari daerah Pancoran, ada juragan gandrung namanya Mbah Tiah, cewe, terus ibu saya ditegor ‘Jah, dari mana?’. ‘Ini mau mijet Misti’, ‘yowes mampiro nangumah’,” cerita Mak Temu tentang awal mula ia bertemu juragan Gandrung.
Mak Temu dan Penari Gandrung Banyuwangi (Foto: Rina Nurjanah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mak Temu dan Penari Gandrung Banyuwangi (Foto: Rina Nurjanah/kumparan)
Kesembuhan Misti dari sakit menurut istilah dari juragan Ti'ah adalah “nemu nyawa” (mendapatkan kehidupan lagi setelah sakit parah). Dari istilah nemu kemudian berubah menjadi Temu.
Hingga dikenal sebagai Temu sampai sekarang.
“Temu sendiri mengeja Misti dengan vokal e pada huruf i yang di depan, sehingga menjadi Temu Mesti. Nama itu menurut Temu memiliki makna baru yakni ‘selalu Temu’,” tulis Dwi Ratna dalam Jurnal Budaya Patrawidya.
ADVERTISEMENT
Mak Temu sejak kecil senang menari-nari. Melihat tari Gandrung adalah kesehariannya sejak kecil yang hidup dan besar di Desa Kemiren, Banyuwangi dengan budaya Osing yang kental.
Di usia 15 tahun ia diajak si juragan gandrung. “Si juragan gandrung tadi punya job, belum punya gandrung, tinggal lima hari. Saya diomongin, ya emak ndak mau, nangis-nangis,” papar Temu mengenang awal mula ia menjadi gandrung.
Setelah diberi kopi, Mak Temu bercerita bahwa dirinya mendadak ikut si juragan gandrung. “Kena wedang kopi itu tadi mungkin,” ujarnya sambil tertawa.
Di usia muda ia pun mulai menjadi gandrung. Gandrung yang diigelutinya adalah Gandrung Terob, tarian yang dipentaskan semalam suntuk, dari jam 21.00 hingga 04.00 shubuh.
Potret Penari Gandrung Masa Lalu (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Potret Penari Gandrung Masa Lalu (Foto: Wikimedia Commons)
Gandrung Terob menuntut si penyanyi mampu menari dan menembang. “Belum ada pengeras suara, ya kempot-kempot paginya, habis teriak-teriak,” kenangnya tentang pengalaman pertama terjun menjadi gandrung profesional.
ADVERTISEMENT
“Duh mak jadi gandrung wis telanjur, gimana, terus ada aja orang yang nanggap, yang khitanan,” paparnya kemudian.
Kini Gandrung bagi Mak Temu adalah hidupnya. “Kalau (hidup) Mak Temu ya dari gandrung, ya sambil bertani,” ujarnya tersenyum.
Aekanu Hariyono, budayawan Banyuwangi, menyatakan bahwa Mak Temu adalah seorang maestro gandrung karena kemampuannya dalam nembang, tari, dan wangsalan. Mak Temu memiliki kemampuan yang komplit.
Kini, demi Gandrung yang menghidupinya dan untuk menghidupkan terus tari Gandrung, Mak Temu mendirikan sanggar tari Sopo Ngiro. Sopo Ngiro yang artinya Siapa Mengira, merupakan ungkapannya yang tak pernah mengira akan menjadi Gandrung sepanjang hidupnya.
Pada Agustus 2015, Mak Temu bahkan diundang untuk tampil di gelaran Frankfurt Bookfair, Jerman. Ia hingga kini masih terus menari. “Gandrung itu adalah hidup saya, tidur saya, dan mimpi saya,” katanya sambil tertawa lebar.
ADVERTISEMENT