Mengenal Yayoi Kusama, Seniman yang Ubah Halusinasi Jadi Karya Seni

22 Mei 2018 17:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Museum Yayoi Kusama, Tokyo, Jepang (Foto: REUTERS/Toru Hanai)
zoom-in-whitePerbesar
Museum Yayoi Kusama, Tokyo, Jepang (Foto: REUTERS/Toru Hanai)
ADVERTISEMENT
Modern Art and Contemporary atau lebih akrab disapa Museum MACAN akhir-akhir ini menjadi buah bibir masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta. Berada di ATR Tower, museum satu ini mampu membius para pengunjungnya untuk menikmati hasil karya dari sang seniman.
ADVERTISEMENT
Saking banyaknya yang datang, bahkan para penikmat seni itu hanya diberikan waktu beberapa puluh detik saja untuk melihat karya seni dari penciptanya. Adalah Yayoi Kusama, sosok dibalik layar dari Museum MACAN yang tengah digandrungi.
Perempuan asal Jepang ini menjadi tokoh dibalik megahnya museum yang penuhi dengan karya yang didominasi polkadot dan jaring itu. Terlepas dari suksesnya Museum MACAN, sang seniman pun pernah merasakan asam garam kehidupan kala meniti karir.
Balon Yayoi Kusama (Foto: Toru Yamanaka/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Balon Yayoi Kusama (Foto: Toru Yamanaka/AFP)
Kusama lahir dari keluarga yang cukup berada di Kota Matsumoto, Provinsi Nagano, Jepang pada 22 Mei 1929 silam. Saat berumur 10 tahun, dirinya mempunyai penyakit halusinasi rungu dan netra yang membuat apa pun yang dilihatnya selalu berbentuk pola polkadot atau disebut Rijinsho.
ADVERTISEMENT
Salah satu cara yang ia tempuh untuk mengobati penyakitnya adalah dengan menggambarkan apa yang Kusama lihat. Melalui gambar dan lukisan yang penuh dengan polkadot, pola geometris dan pusaran berpilih inilah yang menjadi pelarian ampuhnya.
Karya Yayoi Kusama di Museum MACAN (Foto: Bella Cynthia Ratnasari/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Karya Yayoi Kusama di Museum MACAN (Foto: Bella Cynthia Ratnasari/kumparan)
Penyakit halusinasi yang dialami Kusama timbul karena tekanan dari lingkungan dan keluarga yang berat. Dan di saat bersamaan kondisi Jepang juga sedang tidak baik, ada ketegangan militer hingga pasca Perang Dunia II, yang membuat keadaan Negeri Sakura itu terpuruk.
Kala itu, Kusama juga berkeinginan untuk terjun menjadi seniman, sayangnya pihak keluarga menolak keinginan Kusama kecil. Hingga akhirnya pada 1941 Kusama masuk ke sekolah menengah atas dan mulai mempelajari lukisan gaya Jepang. Tahun 1945 menjadi tahun di mana dirinya memamerkan hasil karyanya kali pertama di Zen-Shisu Regional Art Exhibition.
Museum MACAN x Yayoi Kusama (Foto: Dok. Museum MACAN)
zoom-in-whitePerbesar
Museum MACAN x Yayoi Kusama (Foto: Dok. Museum MACAN)
Walau masih ditentang oleh keluarga, Kusama memutuskan menjadi seniman profesional. Ia melanjutkan pendidikan di Kyoto Municipal School of Art and Crafts, dan masih ikut serta dalam sejumlah pameran keliling.
ADVERTISEMENT
Kusama yang ingin terus mengepakan sayapnya ini pun mencoba untuk menjajal peruntungannya. Wanita ini mencoba mengirimkan karyanya ke O'Keeffee, seorang pelukis asal Amerika Serikat. Tak disangka O'Keeffee memberikan lampu hijau kepada Kusama.
Setelah mendapat respon positif, dirinya semakin yakin untuk meninggalkan Jepang dan pindah ke New York. Apalagi New York menjadi pusat kiblat dunia seni rupa internasional yang mengalahkan Paris yang saat itu sedang perang.
Museum Yayoi Kusama, Tokyo, Jepang (Foto: REUTERS/Toru Hanai)
zoom-in-whitePerbesar
Museum Yayoi Kusama, Tokyo, Jepang (Foto: REUTERS/Toru Hanai)
Pada 1958 menjadi tahun yang tak bisa dilupakan Kusuma, karena untuk pertama kalinya ia mendarat di New York. Setahun setelah tinggal di Negeri Paman Sam, karya seni Kusama pertama kali dipamerkan di Galeri Brata, New York, Amerika Serikat.
Melalui pameran perdananya ini, Kusama mendapat perhatian khusus karena 'hadir' tepat ketika lukisan Abstrak Ekspresionime mulai tergantikan oleh Abstrak Ekspresionisme. Dan di saat itu pula Donald Judd dan Frank Stella yang merupakan tokoh Seni Minimal membeli hasil karyanya.
ADVERTISEMENT
Karya Kusama semakin sering muncul di berbagai pameran seni, namanya juga sudah mulai mencuri perhatian para seniman. Sayangnya, di saat namanya semakin diperhitungkan, kesehatan Kusama mulai menurun. Saat umurnya memasuki 30-an, ia harus sering keluar masuk rumah sakit karena bekerja terlalu keras.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1970, Kusama memutuskan untuk pulang kampung ke Jepang. Selama tiga bulan dirinya pulang kampung, ia pernah ditahan karena mementaskan karya seninya. Setelah itu, Kusama masih terus berkarya dan berkeliling untuk memperlihatkan hasil karyanya yang indah.
Pada 1977 Kusama mengambil langkah yang mengejutkan, dirinya memutuskan untuk masuk rumah sakit jiwa. Masuk ke rumah sakit jiwa bukan berarti dirinya berhenti berkarya. Justru di sana Kusama mendirikan sebuah studio yang letaknya tak jauh dari rumah sakit jiwa itu. Ia tetap berkarya dengan membuat novel, puisi, dan lukisan lainnya.
Karya Yayoi Kusama di Museum MACAN (Foto: Bella Cynthia Ratnasari/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Karya Yayoi Kusama di Museum MACAN (Foto: Bella Cynthia Ratnasari/kumparan)
Melihat Kusama yang namanya sudah diperhitungkan di kancah internasional, pada tahun 2000 ia mendapat Penghargaan Kementerian Pendidikan untuk Seni ke-50 dan terpilih untuk Penghargaan Kementerian Luar Negeri. Dua tahun setelahnya, Kusama juga bekerjasama dengan brand terkenal seperti Marc Jacobs dan Louis Vuitton untuk koleksi LOUIS VUITTON x YAYOI KUSUMA, sebuah pameran tunggal yang memamerkan karya terbaru Yayoi Kusama : Eternity of Eternal Eternity
ADVERTISEMENT
Hingga kini karyanya sudah berkeliling dunia dan mampir diberbagai pameran di India, Taipe, Korea Selatan, Australia, dan China.
Karya Yayoi Kusama di Museum MACAN (Foto: Bella Cynthia Ratnasari/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Karya Yayoi Kusama di Museum MACAN (Foto: Bella Cynthia Ratnasari/kumparan)
Selain terkenal karena polkadot, Kusama juga identik dengan karyanya berupa labu. Bukan tanpa alasan, labu menjadi salah satu makanan yang memiliki cerita tersendiri untuk Kusama.
Kala itu, keluarga Kusama memiliki lahan pembibitan dan mereka sering bercocok tanam labu serta bunga-bungaan. Di saat perang dan terjadi kekurangann pangan, ia harus terus menyantap labu. Lambat laun, Kusama semakin menghargai bentuk labu yang tak beraturan dan bulat.