Menyapa Pendaki Beda Dunia di Gunung Sindoro

28 Mei 2017 9:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilalang di pegunungan. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Aku bersama tiga orang kawanku berada di pinggiran jurang yang tertutupi subur ilalang. Sekali salah langkah, bisa habis sudah.
ADVERTISEMENT
Aksi nekat kami menyeberang dari satu jalur ke jalur lain akhirnya berujung sia-sia --semakin menguatkan bahwa kami akan dipertemukan dengan almarhum
Tunggu, tunggu, kami ada di mana? Almarhum siapa?
Mari sedikit flashback ke 24 jam yang lalu
Semua berawal di basecamp Bansari Temanggung.
Tengah malam itu, aku dan ketiga kawan menunggu di depan basecamp pendakian Gunung Sindoro yang terkunci.
Pendakian Malam Hari (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Tak terlihat ada warga melintas.
Kami memang nekat, sebab saat itu hampir semua jalur pendakian utama gunung tersebut ditutup. Alasannya, berkabung karena sekitar seminggu sebelumnya pendaki asal Yogya yang hilang ditemukan tewas.
Tapi, meski sebagian jalur ditutup, aku dan kawan-kawan mencoba mencari jalur alternatif yang kami temukan di internet. Bansari namanya.
ADVERTISEMENT
Jalur Bansari memang tergolong sepi dibandingkan jalur lain karena lokasinya yang berada di di pelosok desa, jauh dari jalan raya seperti basecamp lain.
Kebetulan kami mendapat kabar bahwa jalur tersebut dibuka. Langsunglah kami GAS!
Sebelum sampai ke basecamp, sebenarnya sudah ada sedikit “pertanda” di sepanjang jalan saat hujan mengguyur kami yang mengendarai motor dari Semarang.
Setelah menunggu dan sedikit berkeliling sekitar 30 menit, kami bertemu dengan seorang warga yang mengarahkan kami ke rumah Bang Gondes.
Bang Gondes adalah Ketua Komunitas Pecinta Alam Sindoro yang mengurus basecamp pendakian di Bansari.
Bang Gondes mengatakan ada baiknya kami tidur terlebih dahulu di rumahnya, dan mulai mendaki di pagi hari.
Ia berkata, hanya ada dua pendaki yang juga asal Semarang yang sedang melewati jalur Bansari.
ADVERTISEMENT
Mendengar hal itu kami jadi sedikit ragu, tapi kondisi sepi inilah yang kami tunggu-tunggu.
Paginya, untuk menghemat waktu, kami menumpang mobil pickup untuk sampai ke Pos 1 yang melalui trek bebatuan dan dikelilingi kebun warga.
Sesaat mobil pickup meninggalkan kami semua, terasa sunyi senyap. Terasa benar bahwa tak ada pendaki lain di jalur ini selain dua pendaki yang entah sudah berada di mana.
Trek pendakian Gunung Sindoro. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Menuju Pos 2, kami mulai bertanya-tanya apakah jalur kedua pendaki tersebut melewati jalur yang ini. Tiap sekian meter, kami selau menemui sarang laba-laba yang berdiri tepat di tengah jalur pendakian.
Kami berusaha untuk tidak merusak sarang-sarang laba-laba tersebut karena inilah rumah mereka dan kami tamunya!
ADVERTISEMENT
Setelah satu jam, akhirnya kami sampai di Pos 2. Di sana, kami tak lama beristirahat dan melanjutkan perjalanan ke Pos 3.
Menuju Pos 3, kami melewati pepohonan lamtoro dan semak belukar. Trek tanah yang lembab dan menanjak menjadi hiburan kami kali ini.
Sesampainya di Pos 3, suasana semakin terasa sepi dan dingin. Kabut menghiasi shelter yang ada di Pos 3. Rasanya seperti berada di game “Silent Hill”...
Pos 3 Sindoro. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Perjalanan menuju Pos 4 terasa biasa, hanya diisi percakapan para perjaka yang tak penting, namun penting bagi kami agar suasana tak bertambah merinding.
Sesampainya di Pos 5, kami berististirahat dan menikmati pemandangan kabut yang tetap kami syukuri.
Tiba-tiba… terdengar suara di antara semak-semak. Apakah itu macan? Ataukah Tarzan Sindoro yang selama ini diceritakan warga?
ADVERTISEMENT
Tapi ternyata, mereka adalah sosok yang kami tunggu-tunggu: dua pendaki yang kami bicarakan tadi akhirnya menampakkan batang hidungnya.
Tak ada yang aneh dengan mereka. Manusia, lelaki, mungkin dua orang sahabat yang ingin mempererat tali silaturahmi.
Kabut di Sindoro (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Mereka bercerita, berhasil mendapatkan momen sunrise dan cuaca tak begitu buruk di puncak.
Mendengar cerita itu, percayalah kami dengan mereka. Menjelang magrib, kami mendirikan tenda di Pos 5 --tanah yang lapang dengan panorama terbuka menghadap Gunung Sumbing.
Jelas ada sebuah kesalahan, tapi kami terlena oleh dataran Pos 5 yang rata dan rasa lelah yang memuncak.
Kami melihat puncak di gunung seberang dikelilingi awan lenticular yang bergerak memutar dan menimbulkan badai.
Apakah kabut-kabut yang menyelimuti perjalanan kami pertanda badai akan terjadi pula di sini?
Pemandangan dari pos 5 Gunung Sindoro. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Tak perlu waktu lama untuk mendapatkan jawabannya. Rintik hujan dan angin kencang menyapa, membatalkan rencana kami untuk menikmati hidangan hangat ala gunung.
ADVERTISEMENT
Berjam-jam kami di dalam tenda menunggu cuaca membaik, namun apa daya kami tak bisa mengatur kuasa Tuhan.
Angin kencang membuat tenda serasa perahu yang terombang-ambing di tengah laut. Aku yang semula memutar lagu-lagu pop jadi galau dan mulai beralih genre ke lagu rohani.
Entah mengapa aku terpikir akan kematian. Paling tidak, aku akan mati saat melakukan sesuatu yang baik. Meski aku tahu timbangan amalanku baru bisa ditukar dengan tiket ke perapian abadi.
Sebelum tertidur, kami sempat memperbincangkan soal pendaki asal Yogya yang hilang. Kebetulan selama perjalanan naik, aku merasa ada sosok yang seakan mengawasi sembari memberi peringatan kecil.
Kami berempat akhirnya terpisahkan oleh mimpi. Namun di tengan lelap, kami tiba-tiba terbangun.
ADVERTISEMENT
Saat itu jam menunjukkan waktu telah memasuki dini hari. Wajah dan badan kami berselimut tenda yang roboh diterpa embusan angin kecang nan dingin.
Ternyata frame tenda patah. Kami berusaha memperbaiki dari dalam dengan jemari yang kaku menggigil gemetar.
Tak berhasil, salah satu kawan mencoba keluar. Namun baru sebentar membuka pintu keluar tenda, suhu menusuk disertai angin badai membuatnya kembali masuk.
Akhirnya, tak ada satupun dari kami yang berani keluar. Cuaca benar-benar meracuni hati kami untuk pasrah.
Kami pun berbaring mendekatkan diri satu sama lain sambil membaca doa-doa, berharap tak terserang hipotermia dalam tenda roboh ini.
Beberapa jam kemudian, mata kami terbuka. Bersyukurlah kami.
Pos 5 Gunung Sindoro. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Setelah salat subuh dan menenangkan hati, kami berunding apakah akan melanjutkan perjalanan atau tidak.
ADVERTISEMENT
Hati keras yang tak dapat menerima pertanda, menganjurkan kami untuk bertemu sang puncak.
Setelah bersiap, kami pun kembali menanjak meninggalkan tenda yang tak dapat berdiri lagi bersama tas carrier berat kami agar tenda tak terbawa angin.
Setelah 2 jam mendaki bermodalkan sebotol air, kami sampai di puncak Sindoro disambut sekumpulan edelweiss di bawah tebing.
Puncak Sindoro ini sangat luas. Stadion sepak bola mungkin dapat berdiri di sini.
Kami berempat adalah satu-satunya kelompok manusia yang berada di puncak. Sayang, kabut menutupi kawah Sindoro.
Suasana di puncak Sindoro. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Aku mencoba berjalan menyusuri kawasan puncak yang terlihat cukup menyeramkan bak rumah kosong. Sementara ketiga temanku hanya tiduran di semak-semak saking lelahnya.
Puas menyapa puncak, kami turun. Awalnya kami merasa tidak ada yang salah.
ADVERTISEMENT
Tetapi aku yang memimpin jalan sempat ditanya apakah telah mengikuti jalan yang benar karena puncak Sindoro sendiri dapat ditempuh dengan setidaknya 5 jalur.
Satu jam lebih menuruni puncak, barulah aku merasa ada yang salah. Aku merasa ini bukan jalur yang digunakan saat kami naik, terlebih treknya tidak selebar dan sebersih di awal.
Rasa panik pun muncul. Kami mulai berdebat soal jalur yang harus dilalui.
Kami terus turun, menyeberangi jurang melalui semak-semak ilalang menuju jalur di timur, atau naik kembali ke puncak dengan sisa air hanya untuk satu tegukan?
Tunggu, kita sudah tahu jawabannya kan?
Kami sekarang berada di pinggir jurang. Bodohnya, kami nekat menyeberang meski tak tahu trek yang dilalui, dan belum pasti jalur di timur adalah jalur awal kami mendaki.
Pemandangan Gunung Sumbing dari Sindoro (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Setelah melangkah berhati-berhati menginjak semak-semak yang bisa saja menelan kami ke jurang, kami sampai di spot pertama kamu berunding.
ADVERTISEMENT
Kami pun mencoba turun melalui jalur yang tak kami ketahui.
Di sepanjang jalan turun, kami mendengar aliran air. Hal ini bukannya membuat kami lega karena dapat mengisi air di botol, malah membuat kami teringat kembali dengan kisah pendaki Yogya yang hilang.
Ia waktu itu ditemukan di dekat sumber air.
Kami bergegas turun melalui trek yang memang terlihat seperti jalur pendakian, meski dedaunan lebat menumpuk, menandakan jalur ini sudah lama tak dilalui.
Akhirnya kami bisa bernapas lega. Ladang pertanian warga terlihat.
Perjalanan turun selama 6 jam kami lalui, dan kami duduk di pinggiran ladang tembakau warga.
Ladang pertanian di lereng Sindoro. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Kami sama sekali tidak memikirkan tenda dan tas yang tertinggal di jalur Bansari. Entah jalur apa yang kamu lewati barusan, namun ada papan tua bertuliskan “Ngadirejo”.
ADVERTISEMENT
Menjelang magrib, tak ada satupun warga di ladang yang masih berjarak sekitar 1 kilometer dari permukiman.
Ponselku yang selama perjalanan turun tak dapat menerima sinyal, kini dapat digunakan untuk menelepon Bang Gondes.
Ia terkejut mendengar kami berada di daerah Ngadirejo, di kecamatan berbeda. Bang Gondes segera menjemput kami dengan mobil pick up-nya.
Sesampainya di Bansari, Bang Gondes bercerita kemarin sore ia melihat awan tebal menyelimuti puncak Sindoro. Ia juga sempat mencoba menelepon kami, meski jelas tak ada sinyal di Pos 5.
Saat kutanya apakah jalur yang kami lalui dekat dengan tempat pendaki yang tewas ditemukan, ia tak menjawab.
Obrolan kami pun beralih ke tenda yang tertinggal. Bang Gondes dengan baik hati menawarkan untuk mengambil keesokan harinya, sementara kami bisa pulang dulu ke Semarang.
ADVERTISEMENT
Pembicaraan berlanjut ke hal-hal yang santai dan menggugah tawa, meski kami masih terbebani perjalanan menyapa kematian ini.
….
Untuk pendaki Yogya yang tengah berada di pelukan Yang Maha Kuasa, aku mohon maaf karena tak menghargai kepergianmu.
Pemandangan Gunung Sindoro dari Gunung Sumbing. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Susuri pula Catatan Pendaki yang berikut