Menyesap Cokelat di The Elephant House, Tempat 'Lahirnya' Harry Potter

15 Juli 2017 14:22 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
The Elephant House (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
The Elephant House (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
ADVERTISEMENT
Hujan rintik membasahi Edinburgh hari itu. Terlihat genangan air yang diinjak oleh para pejalan kaki dan terciprat ke sana ke mari. Baru 100 meter berjalan kaki keluar hotel, angin dingin kuat menerpa. Hujan pun membasahi jaket kulit yang saya pakai untuk melindungi tubuh yang kedinginan.
ADVERTISEMENT
Hari itu, saya cukup nekat menembus hujan dan angin dingin Edinburgh. Waktu saya menjelajahi kota ini semakin sempit, saya pun memutuskan menyusuri kota ini hingga ke tiap sudutnya. Untungnya, Edinburgh adalah kota kecil yang manis, sehingga hanya butuh waktu 4 - 5 jam berjalan kaki untuk menjajaki tiap sudut kotanya.
Hanya dalam hitungan dua hari, saya sudah mulai khatam jalanan di Edinburgh. Google maps pun sudah siap di tangan kalau-kalau saya lupa perjalanan pulang ke hotel. Di tengah perjalanan, saya ingat salah satu kawan berkisah kalau JK Rowling menggarap karya agungya yang berjudul Harry Potter di salah satu sudut kafe kecil di Edinburgh. The Elephant House, namanya.
Dengan berbekal peta di tangan, saya pun mencari letak The Elephant House. Saya menepi ke salah satu sudut jalan untuk mencari rute tercepat. Dan ternyata… wah! Hanya berjarak satu kilometer dari tempat saya berdiri! Saya pun berlari kecil menembus hujan menuju The Elephant House yang legendaris itu.
The Elephant House (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
The Elephant House (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
Walau hujan, kafe tersebut tetap ramai dipadati oleh orang lokal maupun turis yang penasaran --termasuk saya di antaranya. Antrean mulai mengular untuk menunggu tempat duduk kosong. Hari itu, tiap sudut The Elephant House dipadati oleh pengunjung. Tak terlihat ada kursi tak bertuan barang satu pun.
ADVERTISEMENT
Saya pun menunggu selama 15 menit, sampai akhirnya ada sebuah meja kosong untuk satu orang. Seorang pelayan mengantar saya, lalu membantu menggantungkan jaket saya di sandaran kursi.
The Elephant House (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
The Elephant House (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
Hangat. Itulah kesan pertama yang saya dapati kala masuk ke bagian dalam kafe. Jendela besar di pojokan sedikit dibuka, lalu dengan pongahnya memamerkan keindahan kastil Edinburgh yang rancak. Tak heran, JK Rowling di masanya begitu suka menulis di kafe ini.
The Elephant House pertama kali buka pada tahun 1995, lalu berkembang menjadi salah satu kedai kopi populer di Edinburgh. Salah satu sudutnya diklaim sebagai spot menulis favorit milik JK Rowling. Sebetulnya, tak hanya Harry Potter yang ‘lahir’ di The Elephant House. Serial novel No. 1 Ladies Detective Agency garapan Alexander McCall Smith pun lahir di salah satu pojok kedai The Elephant House.
ADVERTISEMENT
Menu makanan dan minuman yang disajikan pun tak terlalu mahal, berkisar 3 - 10 pounds atau sekitar Rp 50 ribu - Rp 120 ribu untuk sekali kunjungan. Sajiannya pun beragam, mulai dari cheesecake, kue jahe, sandwich, hingga nachos pun tersedia. Untuk porsi besar dan bisa dinikmati bersama, The Elephant House menyajikan pizza dengan berbagai topping, seperti margarita, smoked salmon, juga ayam dan bacon.
Namun, jika perut sudah terisi penuh dan datang sendirian, The Elephant House juga punya menu cemilan ringan, seperti tortilla chips, homemade soup, bruschetta, hingga tortilla. Harga makanan berkisar 5 - 12 pounds yang setara dengan Rp 85 ribu - Rp 200.000.
The Elephant House (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
The Elephant House (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
Karena hari itu hujan dan dingin, saya memesan segelas cokelat hangat less sugar. Pesanan saya dengan cepat dicatat oleh si pelayan. Tak lupa, ia menawarkan bila saya ingin menikmati cokelat hangat ditemani dengan sandwich daging bacon dan telur. Sempat saya tergoda, namun akhirnya saya putuskan untuk tidak memesannya.
ADVERTISEMENT
Hangat suasana The Elephant House tergambar melalui deretan lukisan gajah, lampu berbentuk setiran kapal, lengkap dengan aroma kopi, kue jahe, dan cokelat yang menyeruak hingga ke tiap sudut kedai. Lampu-lampu kuning dengan cantik menggantung, menambah kesan manis dan tenteram. Terlihat beberapa pengunjung disibukkan dengan gawainya. Ada pula yang terlihat serius berdiskusi, juga tertawa terbahak sambil bersenggolan satu sama lain.
The Elephant House (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
The Elephant House (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
Saya sempat heran. Sebagai seorang yang kerap kesal akan keramaian, entah mengapa ramainya kedai The Elephant House tak sedikit pun terasa mengganggu. Sebaliknya, saya menikmati setiap suara tawa dan percakapan yang dikeluarkan oleh tiap pengunjungnya. Saya merasa lebih tenang, bahkan bisa tersenyum lebih lebar setelah sempat merasa pusing dan mual karena masuk angin akibat kehujanan dan kedinginan.
The Elephant House (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
The Elephant House (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
Segelas cokelat hangat pun tiba.
ADVERTISEMENT
Saya sontak menempelkan tangan saya di kedua sisi cangkir, ingin menyerap tiap hangat yang dihadirkan oleh cokelat hangat itu. Dahi saya sempat mengerut, berharap cokelat seharga 3 pounds ini tak mengecewakan. Maklum, kalau dikonversi ke harga rupiah, setidaknya saya membayar hampir sebesar Rp 54 ribu untuk segelas cokelat hangat.
Cokelat hangat itu perlahan saya sesap. Rasa manis, gurih, pula pahit khas dark chocolate pun meluruh dan menyatu di lidah. Saya, lagi-lagi, dibuat tersenyum oleh segelas cokelat hangat. Walau nikmat bukan main, saya memilih untuk menyesap cokelat itu perlahan, sembari menikmati suasana hangat kedai dan kastil Edinburgh yang begitu molek.
Jam di The Elephant House (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jam di The Elephant House (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 9 malam. Langit Edinburgh masih terang. Di musim panas, matahari baru bosan bersinar pada pukul setengah 11 malam. Setelah itu langit perlahan menjadi gelap, hingga akhirnya betul-betul terasa seperti malam.
ADVERTISEMENT
Kedai The Elephant House masih tetap penuh dipadati pengunjung. Aroma cokelat masih kuat menguar, riuh suara biji kopi yang digiling masih ramai terdengar. Masih ada waktu 1,5 jam hingga kedai usai beroperasi hari itu.
Walau jam tutup kedai masih cukup lama, saya memilih untuk melenggang keluar, kembali merasakan angin dingin di tengah musim panas Edinburgh yang hobi menerpa wajah dan tubuh saya.
Walau dingin angin kuat menerpa, hangat dan manis cokelat sajian The Elephant House tetap mampu menghangatkan tubuh yang sedikit kuyup. Sisa-sisa cokelat di bibir pun masih terasa.
Ah, ingin rasanya saya merasakan sejenak tinggal di Edinburgh dan menikmati cokelat hangat di The Elephant House kapan pun saya mau.
ADVERTISEMENT
Bolehkah?