Mepasah, Tradisi Pemakaman Unik Warisan Leluhur di Desa Trunyan, Bali

26 Juni 2018 9:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sisa Tulang dan Tengkorak dari Mepasah. (Foto: Flickr / Sura Ark)
zoom-in-whitePerbesar
Sisa Tulang dan Tengkorak dari Mepasah. (Foto: Flickr / Sura Ark)
ADVERTISEMENT
Pulau Dewata dikenal memiliki penduduk yang mayoritas beragama Hindu. Kepercayaan tersebut identik dengan upacara kematian khasnya yaitu Ngaben, yang melakukan proses pembakaran pada jenazah.
ADVERTISEMENT
Namun, jika berkunjung ke Desa Trunyan, Kintamani, kamu akan menemukan hal berbeda. Orang yang sudah meninggal di desa ini tidak akan dibakar, melainkan ada didiamkan begitu saja.
Jenazah yang di Mepasah. (Foto: Flickr / diman)
zoom-in-whitePerbesar
Jenazah yang di Mepasah. (Foto: Flickr / diman)
Tradisi ini membiarkan mayat di alam terbuka atau yang biasa disebut mepasah. Tradisi turun temurun ini tidak dilakukan untuk semua orang, tetapi hanya diperuntukan bagi mereka yang meninggal dengan wajar saja.
Uniknya, walau mayat akan dibiarkan di alam terbuka, tidak ada bau busuk yang tercium.
Hal ini dikarenakan jenazah diletakkan di dekat pohon Taru Menyan. Sebuah pohon yang sudah berdiri selama ribuan tahun itu justru akan menyebarkan wangi di sekelilingnya, jadi bau busuk dari jenazah tidak akan tercium
Tengkorak di  Desa Trunyan, Bali. (Foto: Flickr / ketut bolank)
zoom-in-whitePerbesar
Tengkorak di Desa Trunyan, Bali. (Foto: Flickr / ketut bolank)
Sebelum meletakkan jenazah, terlebih dahulu dilakukan upacara pembersihan. Kemudian, dilanjutkan dengan memandikan jenazah dengan air hujan. Setelah itu, jenazah baru diletakkan dipermukaan tanah.
ADVERTISEMENT
Jenazah akan diletakkan di lubang sedalam 10-20 cm, yang bertujuan agar jenazah tidak bergeser karena kontur tanah.
Acak Saji di Desa Trunyan, Bali. (Foto: Flickr / Petter Thorden)
zoom-in-whitePerbesar
Acak Saji di Desa Trunyan, Bali. (Foto: Flickr / Petter Thorden)
Untuk menghindari binatang buas yang bisa merusak mayat, di sekitar makam akan diberikan penghalang dari ulatan bambu bernama ancak saji yang berbentuk segitiga dan dibuat memanjang sesuai dengan ukuran tubuh mayat.
Makam yang berada di antara pohoh Taru Menyan itu hanya boleh diisi 11 jenazah saja. Hal ini sudah ditentukan oleh kepercayaan adat setempat. Bila ada jenazah baru, maka jenazah yang paling lama akan dipindahkan.
Mayat dibiarkan hancur secara alami. Apa bila sudah tinggal tulang, mayat baru akan dipindahkan. Tulang badan, tangan, dan kaki di tumpuk di samping pintu gerbang. Sedangkan untuk kepala akan diletakkan di sebuah fondasi batu dan disusun berjejer dengan yang lain.
ADVERTISEMENT
Di lokasi ini sendiri terdapat tiga jenis pemakaman. Pertama, ada Sema Wayah yang dianggap paling suci. Di sini jenazah akan dimakamkan secara mepasah.
Tengkorak dan Tulang Belulang di Desa Trunyan. (Foto: Flickr / Masao KONNO)
zoom-in-whitePerbesar
Tengkorak dan Tulang Belulang di Desa Trunyan. (Foto: Flickr / Masao KONNO)
Kemudian, kedua ada Sema Mudi. Bedanya, jenazah di sini akan dikubur. Mayat yang dikubur di Sema Mudi adalah anak-anak dan bayi dengan gigi susu yang belum tanggal.
Terakhir ada Sema Batas. Sama seperti Sema Mudi, jenaza di sini juga akan dikuburkan. Bedanya, Sema Batas khusus untuk yang meninggal karena kematiannya tidak wajar, seperti kecelakaan, dibunuh, bunuh diri, atau bagian tubuhnya tidak utuh.