Suku Asaro, 'Manusia Lumpur' dari Papua Nugini

24 Februari 2018 8:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suku Asaro. (Foto: Flickr/Rita Williaert)
zoom-in-whitePerbesar
Suku Asaro. (Foto: Flickr/Rita Williaert)
ADVERTISEMENT
Setelah Suku Chambri yang memiliki tradisi unik dengan menyayat tubuhnya agar tampak mirip buaya. Kini, Suku Asaro yang sama-sama berasal dari dataran tinggi Papua Nugini terkenal karena topeng tanah liat yang mereka gunakan.
ADVERTISEMENT
Suku yang mendiami Provinsi Highlands Timur itu menggunakan topeng putih yang terbuat dari tanah liat. Topeng yang mereka gunakan memiliki penampakan yang menakutkan, dengan telinga yang aneh, mata yang tajam, gigi, taring babi liar, dan kerutan yang semakin melengkapi kesan seram. Mereka menggunakan topeng ini untuk melawan musuh-musuh yang ingin berperang.
Suku Asaro dengan panah. (Foto: Flickr/Khunapule michael)
zoom-in-whitePerbesar
Suku Asaro dengan panah. (Foto: Flickr/Khunapule michael)
Tak diketahui bagaimana awal mereka mulai menggunakan tanah liat ini. Ada kabar yang mengatakan jika kebiasaan ini sudah berlangsung sejak 1800 akhir.
Awalnya, Suku Asaro tengah melarikan diri ke sungai Asaro untuk bersembunyi. Mereka bangkit dari tumpukan lumpur-lumpur itu yang menutupi wajah mereka. Musuh yang melihatnya pun ketakutan, karena menggapanya sebagai roh.
Namun, kabar lain mengatakan jika memang Suku Asaro sengaja menutupi diri mereka dengan lumpur agar musuh kabur dan tak melawan mereka lagi. Kini, topeng itu telah berevolusi sebagai hiasan yang tebal dan berat yang digunakan sebagai bagian dari pertunjukan budaya.
Suku Asaro dengan topeng. (Foto: Flickr/Rita Williaert)
zoom-in-whitePerbesar
Suku Asaro dengan topeng. (Foto: Flickr/Rita Williaert)
Untuk mendapatkan topeng tersebut, pertama-tama mereka mengambil tanah liat yang didapatkan dari pinggiran sungai Asaro. Kemudian, diolah dan dibuat oleh warga yang ahli. Setelah jadi, topeng itu pun di jemur di bawah terik matahari.
ADVERTISEMENT
Saat ini, topeng lumpur tersebut dipakai untuk menari kaum adam yang terdiri dari lima hingga 10 orang, tanpa iringan musik dan instrumen. Para penari mengoleskan tubuh mereka dengan tanah liat yang sama, jari-jari mereka dihias dengan bambu pajang dan tajam. Kemudian menggunakan topeng sebagai pelengkap.