Tiwah, Tradisi Suku Dayak Membakar Tulang untuk Menghormati Leluhur

4 Mei 2019 16:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tulang belulang manusia yang tersisa dari jasad yang telah dikubur Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tulang belulang manusia yang tersisa dari jasad yang telah dikubur Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
ADVERTISEMENT
Masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan punya sebuah kepercayaan tentang kematian. Yakni bahwa ketika manusia meninggal, rohnya tak akan mati melainkan beralih tempat ke dunia roh, sampai kematian kedua tiba. Untuk itu, mereka yang telah meninggal perlu diantar ke dunia akhirat melalui tradisi Tiwah, agar bisa bersama dengan Sang Pencipta.
ADVERTISEMENT
Ritual pemakaman Tiwah merupakan upacara pemakaman yang dilakukan secara turun-temurun oleh Suku Dayak Ngaju dengan membakar tulang-belulang leluhur atau keluarga yang telah meninggal dunia. Menurut agama kepercayaan Kaharingan yang dianut Dayak Ngaju pada masa lampau, rangkaian upacara ini akan mengantarkan arwah (liaw) menuju dunia akhirat (Lewu Tatau).
Suku Dayak dan Sumpitnya. Foto: Shutter Stock
Sampainya arwah manusia di Lewu Tatau dianggap sebagai puncak kehidupan manusia karena mereka dapat hidup secara sempurna bersama Sang Pencipta. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Lewu Tatau digambarkan sebagai negeri kaya yang berpasir emas dan dihias intan yang bertumpuk sehingga tanpa perlu kerja keras, manusia bisa mendapatkan segala keinginannya.
Ada tiga tingkatan dalam upacara kematian menurut kepercayaan masyarakat Dayak Ngaju. Tingkatan pertama yaitu kematian manusia di dunia, yang akan diupacarakan oleh keluarga dan jenazahnya dikuburkan di tempat pemakaman sementara. Tingkatan kedua yaitu upacara memberi makan arwah. Karena roh manusia dianggap masih berada di sekitar manusia lainnya.
Potret prajurit Suku Dayak Ngaju Foto: Wikimedia Commons
Tingkatan kedua bisa berlangsung selama satu sampai dengan lima tahun. Sedangkan tingkatan terakhir yaitu Tiwah, adalah upacara ketika tulang belulang manusia digali, dikumpulkan, dibakar, dan kemudian disimpan pada pemakaman tetap yang tidak menyentuh tanah.
ADVERTISEMENT
Salah satu rangkaian upacara dalam tradisi Tiwah adalah Nganjang yang dilakukan keluarga dengan cara menyanyi sambil menari mengelilingi jenazah. Sementara itu pemimpin upacara akan mengucapkan mantera-mantera. Setelah itu, ada pula penyembelihan kerbau yang akan dilakukan dengan cara ditombak.
Prosesi Tiwah yang dilakukan Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Foto: Flickr/wishnu singapari
Upacara pembakaran jenasah pada masyarakat Dayak Ngaju dan Manyaan lebih bersifat simbolis sehingga, tidak semua tulang belulang leluhur atau anggota keluarga akan habis terbakar. Sisa abu pembakaran tulang akan dibungkus dalam kain merah dan kemudian diletakkan ke dalam gong, sebelum akhirnya akan diangkat dan disimpan dalam sandong.
Sandong merupakan tempat penyimpanan tulang yang sekaligus jadi tempat pemakaman terakhir. Inilah yang disebut sebagai kematian kedua. Kabarnya, menurut kepercayaan Dayak Ngaju, jika manusia telah mencapai kematian kedua, maka ia akan memiliki kesempatan untuk bereinkarnasi sebagai makhluk hidup bukan manusia.
Sandong atau Sandung diletakkan jauh dari permukaan tanah Foto: Wikimedia Commons
Misalnya saja jamur, buah-buahan, bunga atau sayur. Apabila di masa depan, ia dikonsumsi oleh manusia, maka ia akan kembali lahir dalam wujud manusia. Mereka juga percaya, apabila ada roh orang meninggal yang belum dibuatkan upacara Tiwah, roh ini akan mengganggu manusia yang berada di sekelilingnya.
ADVERTISEMENT
Terutama orang-orang yang masih memiliki hubungan darah atau keluarga dengan roh yang telah meninggal tersebut, karena ia belum bisa memasuki dunia arwah yang abadi. Gangguan-gangguan itu seperti gagal panen, penyakit, kecelakaan, atau bahaya lainnya.
Sandung atau Sandong, yang menjadi tempat penyimpanan abu sisa pembakaran Foto: Wikimedia Commons
Pada umumnya tradisi Tiwah dilakukan setelah musim panen padi berlangsung. Alasannya, seusai masa panen, orang-orang dianggap memiliki bahan pangan yang cukup dan waktu yang senggang.
Durasi lamanya tradisi Tiwah dilakukan berbeda tergantung dengan keputusan keluarga penyelenggara dan kondisi ekonominya. Biasanya Tiwah dapat berlangsung mulai dari tiga hari, tujuh hari, hingga lebih dari satu bulan. Rentang waktu penyelenggaraannya pun beragam tergantung kemampuan keluarga.
Potret Suku Dayak Ngaju dengan tubuh penuh tato Foto: Wikimedia Commons
Tradisi Tiwah sebenarnya bisa saja dilakukan segera setelah penguburan pertama, tak lama dari saat keluarga atau leluhur meninggal dengan kondisi tubuh jenazah yang masih utuh. Untuk memudahkan pembakarannya, maka tubuh jenazah akan dikoyak-koyak sehingga dagingnya dapat terlepas dari tulang, agar tulang-tulang tersebut memungkinkan untuk dibakar.
ADVERTISEMENT
Karena besar biaya yang dibutuhkan untuk membuat upacara Tiwah, maka pantas saja, jika upacara membakar tulang milik Dayak Ngaju ini dianggap sebagai perwujudan penghormatan sekaligus penghargaan terakhir bagi leluhur dan keluarga yang telah meninggal dunia.
Oleh sebab itu, masyarakat Dayak Ngaju akan berusaha sebisa mungkin mengadakan upacara Tiwah. Bisa dengan menunda waktu pembuatan upacara untuk mengumpulkan biaya, atau melakukannya secara bersama-sama dengan beberapa keluarga lainnya.
Selain kepercayaan bahwa akan ada gangguan dari roh yang meninggal, masyarakat Dayak Ngaju juga kerap dihantui sanksi sosial dari keluarga besar atau tetangga bila mereka tidak melakukan tradisi Tiwah. Terutama jika orang-orang di sekitarnya menganggap mereka punya kemampuan untuk melaksanakan, karena dianggap tidak tahu berterima kasih.
ADVERTISEMENT
Setelah seluruh rangkaian upacara Tiwah selesai dilakukan, maka pihak keluarga akan melakukan upacara pembersihan. Upacara pembersihan dilakukan untuk mengusir semua roh jahat yang dapat mengganggu manusia. Baik ruangan dalam rumah hingga alat-alat rumah tangga yang digunakan selama upacara kematian akan disucikan.
Menarik, ya, tradisi Tiwah milik Suku Dayak Ngaju di Kalimantan ini. Bagaimana menurutmu?