Inspirasi Womanpreneur: Wynda Mardio, Founder Steak Hotel by Holycow

25 Juli 2019 8:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wynda Mardio, CEO & Founder Steak Hotel by Holycow Foto: Azcha Tobing
zoom-in-whitePerbesar
Wynda Mardio, CEO & Founder Steak Hotel by Holycow Foto: Azcha Tobing
ADVERTISEMENT
Makan dan memasak adalah dua hal yang sangat disenangi Wynda Mardio, Founder Steak Hotel by Holycow. Tapi ia tak pernah mengira bahwa dua hal yang ia senangi tersebut ternyata bisa ia kelola menjadi bisnis yang sangat menguntungkan.
ADVERTISEMENT
Wynda mendirikan Steak Hotel by Holycow pada 2008 lalu, sebuah tempat makan steak bergaya baru yang langsung booming di awal kehadirannya. Namun sebelum terjun ke bisnis kuliner, Wynda sudah sempat membangun karier cukup lama di industri media. Ia pernah bekerja di rumah produksi, radio, hingga akhirnya meraih posisi top level di industri pertelevisian.
Karier Wynda sedang berada di puncak ketika Wynda melahirkan anak pertamanya. Saat itulah ia mulai merasakan kesulitan untuk menyeimbangkan waktu. Ia pun akhirnya mengundurkan diri dari pekerjaannya waktu itu. “Ketika saya utarakan keinginan untuk berhenti bekerja, suami mendukung, tapi pada saat bersamaan ia juga mengingatkan bahwa saya adalah orang yang tidak bisa diam. Dia takut saya malah akan bosan jika tidak melakukan apa-apa,” cerita Wynda waktu berkunjung ke kantor kumparan beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Perkataan suaminya tersebut memberi ide bagi Wynda untuk memulai bisnis kuliner. Dari pemikiran tersebut kemudian lahirlah sebuah konsep kuliner khas yang bernama Steak Hotel by Holycow.
Bisnis kuliner kreasi Wynda ini memiliki keunikan yang membuat namanya cepat melambung; makan steak daging mahal di warung tenda pinggir jalan dengan harga murah.
Perjalanan bisnis unik ini tentu tidak berjalan mulus. Wynda harus melewati banyak tantangan sebagai pengusaha. Dalam sebuah obrolan yang hangat, dan pembawaannya yang berenergi dan ceplas-ceplos, kepada kumparanWOMAN Wynda Mardio berbagi cerita mengenai perjalanannya membangun bisnis kuliner.
Sempat berkarier lama di dunia media, lalu banting setir menjadi pengusaha kuliner. Bisa ceritakan bagaimana rasanya waktu itu bertransisi dari pekerja media ke pengusaha kuliner?
ADVERTISEMENT
Sangat beda, sangat beda. Jadi kalau masalah kulinernya sebenarnya saya nggak kaget, karena saya memang suka masak dari kecil. Kalau transisi bisnis jauh sekali, apalagi kan nggak punya pengalaman sama sekali. Jadi saya tidak malu untuk bertanya ke teman yang buka restoran. Saya juga banyak diskusi sama vendor, dikasih tahu, makanya saya itu dikelilingi orang-orang baik juga sih.
Apa pengalaman penting Anda di industri sebelumnya yang berguna dan Anda terapkan dalam perjalanan membangun bisnis?
Saya kan kebetulan kerjanya jadi produser. Itu kerjanya membuat sesuatu yang tadinya nggak ada menjadi ada. Nah itu sangat membantu, mulai dari budgeting hingga mengatur flow keuangan. Selain itu, berjalan saja sambil belajar secara otodidak.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Anda belajar memahami kuliner? Apa saja yang Anda lakukan?
Semuanya otodidak. Saya nggak pernah ada pendidikan formal di bidang kuliner. Jadi dulu itu dari kecil suka masak dan ikut ke dapur saat umur empat sampai lima tahun.
Waktu kecil saya juga sering diajak makan di luar sama orang tua yang juga suka kuliner. Zaman dulu kami sudah makan sushi. Nggak seperti sekarang, sushi di mana-mana, dulu sushi tuh cuma ada di hotel. Oleh orangtua saya juga dibawa ke restoran India hingga Jepang. Untuk ukuran anak 10 tahun perbendaharaan makanan saya lumayan kaya. Begitu juga saat traveling, kita kemana-mana mencoba makanan.
Pengetahuan soal makanan juga saya dapat dari tabloid. Ibu saya langganan tabloid Nova, saya lihat resepnya. Lalu saya juga suka menonton acara ibu Sisca Soewitomo.
Wynda Mardio memasak steak Foto: Instagram @WyndaMardio
Steak dikenal sebagai makanan mahal, tapi waktu itu Anda berani memulainya dengan konsep warung tenda. Bisa share konsep dan strategi yang Anda lakukan untuk bisnis ini?
ADVERTISEMENT
Jadi saat itu kami mempromosikannya dengan berpatokan pada kepuasan customer. Mereka merasakan makanan murah dan enak, dampak positifnya mereka akan kembali lagi atau merekomendasikan ke teman-temannya.
Kami memang ingin menjual steak yang affordable dengan kualitas yang sangat baik. Jadi kami sama sekali nggak ada compromise pada bahan baku. Walaupun murah, steak kami sama seperti yang ada di hotel. Untuk mendapatkan itu, kami compromise di margin. Kalau margin restoran setidaknya 50 persen, kami nggak sampai segitu. Tapi kan margin mereka besar karena harus bayar sewa yang sangat mahal, sementara kami tidak.
Pemasaran media sosial itu baru sekarang, dulu media sosial belum heboh seperti sekarang kan. Namun, tetap balik lagi pada rasa dan kepuasan. Kalau customer nggak puas ya nggak balik lagi. Alhamdulillah kami returning customer-nya oke. Artinya, it must be something right what we are doing.
ADVERTISEMENT
Dalam waktu yang singkat Anda membuka gerai baru Holycow di Singapura, tapi kemudian tutup setelah sempat buka satu tahun. Bagaimana Anda menghadapi kegagalan tersebut dan bagaimana bangkit dari kejadian itu?
Aduh.. nangis berdarah. Kan sempat ditanya pendidikan kuliner, ini bisa dibilang sekolah saya paling mahal adalah kegagalan. Jadi ceritanya waktu setahun buka di Radio Dalam kami dapat opportunity buka di Lucky Plaza, Singapura. Itu tahun 2011. Dari info yang kita cari buka company di Singapura itu gampang asal legalitasnya benar semua.
Tapi masalahnya kami perusahaan kecil, yang ternyata tidak punya kuota untuk membawa karyawan dari Indonesia. Kalau mencari orang Singapura tidak hanya mahal tapi juga susah. Jadi kami kesulitan di sisi sumber daya manusia.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, sebenarnya penjualannya oke, tapi karena tidak punya banyak karyawan, akhirnya semua saya kerjakan sendiri hingga rasanya sampai babak belur. Pernah sampai saya dipinjamkan karyawan oleh rekan sesama pemilik restoran saking mereka kasihan melihat saya.
Belum lagi urusan bisnis makanan di Singapura sangat strict, ada banyak peraturan yang harus diikuti terutama dari sisi sanitasi. Itu sebenarnya sangat bagus, dan saya jadi banyak belajar. Tapi karena segala hal mesti saya kerjakan sendiri, akhirnya tidak sanggup. Makanya kemudian kami memutuskan untuk tutup saja. Berapa kerugian kami waktu? Wah besar sekali.
Saya kembali bangkit karena berpikir masih ada restoran di Jakarta. Kalau saya ngga bangkit, bagaimana nasib karyawan yang menggantungkan hidupnya ke saya tiap bulannya. Menjadi entrepreneur itu, pelajarannya adalah setiap ada problem harus bisa bangkit lagi. Apalagi sekarang sudah hampir 500-an karyawan dari seluruh gerai dan brand. Susah senang harus jalan terus.
Wynda Mardio di restoran miliknya, Steak Hotel by Holycow Foto: Instagram @WyndaMardio
Sempat mengalami tantangan dan kegagalan, namun Anda dan suami berhasil membangun lima brand kuliner. Bisa share kunci sukses dalam membangun bisnis?
ADVERTISEMENT
Banyak berusaha dan berdoa, serius. Ya apa lagi? Pokoknya berusaha semaksimal mungkin dalam artian kami lihat customer inginnya seperti apa, kami inovasi terus. Masa 10 tahun nggak renovasi, orang juga sebel. Inovasi terus dan berdoa.
Lalu berbuat baik sama orang. Dari dulu sampai sekarang saya banyak sekali ditolong sama orang yang tidak terduga. Ya, makanya saya nggak mau jahat sama orang. Kalau terdengar naif ya gimana, memang begitu. Saya orangnya open book kok, what you see is what you get.
Bagaimana Anda mendapat inspirasi untuk melakukan inovasi?
Nah itu banyak. Misal lagi traveling lihat apa dan belajar dari situ. Lalu saya banyak makan di luar, mencoba ini itu. Bukan mencontek, tapi mencari sesuatu inspirasi saja. Seperti pelukis yang mau membuat lukisan, kan melihat-lihat dulu. Nanti sambil browsing juga apa yang sedang tren. Biasanya nanti saya twist dengan resep saya sendiri. Kami biasanya bikin menu baru mungkin sekitar tiga sampai empat bulan sekali, tapi kami seringkali melakukan test food.
ADVERTISEMENT
Ada tantangan tertentu yang Anda hadapi dalam menjalankan bisnis ini?
Tantangan bisnis hampir setiap hari selalu ada dari skala kecil sampai besar. Pastinya itu harus diselesaikan. Terpenting tahu solusinya, jangan didiamkan, harus ada solusi. Kalau dulu, ada masalah sedikit cepat panik, sekarang sudah harus cepat memikirkan solusi.
Ya, tantangannya macam-macam, it happens everyday jadi saya sudah mati rasa menghadapi itu. Terpenting adalah cepat mengambil solusi.
Apa prinsip Anda dalam memimpin?
Saya orangnya disiplin dan sangat detail oriented. Mereka (karyawan) suka panik kalau ada detail yang kurang karena saya pasti marah-marah. Saya orangnya super bersih dalam segala hal.
Lalu ketepatan waktu. Coba saja meeting sama saya, nggak tepat waktu saya tinggalkan. Saya bisa marah sekali atau terkadang saya tinggal. Sering lho seperti itu.
ADVERTISEMENT
Rapih. Ini juga berlaku sama karyawan di kantor. Bukan ke kantor harus dandan menor, tapi harus keren, rapi, senang dengan tampilannya pada hari itu supaya bikin mood bagus. Jadi setiap hari harus rapi. Saya juga begitu setiap hari rapi. Bukan berarti nggak boleh pakai sneakers. Yang penting rapi, enak dilihat, tidak terlalu mewah atau menor. Jangan sampai orang ketemu kita bilang "Duh, dari mana sih nih orang?"
Awalnya Anda menjalankan bisnis ini sendiri, lalu kemudian suami terjun full time. Bagaimana perbedaan tantangan bekerja sendiri dengan suami?
Ini sebenarnya dari awal memang sudah bisnis berdua. Jadi suami saya itu di advertising, dia mendorong saya dari belakang. Sampai sekarang keputusan-keputusan besar masih kami diskusikan berdua. Karena ini ibaratnya bayi kami berdua kan.
ADVERTISEMENT
Empat tahun lalu, akhirnya suami saya resign, lalu nyemplung full time ke bisnis ini juga. Karena tambah banyak juga brand-nya, saya juga nggak sanggup kalau sendiri, butuh partner.
Perbedaannya ada, tapi kami dari awal sepakat untuk profesional, suami saya pegang divisi Marcomm & Branding, nah, saya mengurus Operation sama Finance. Dari dulu sampai sekarang masih sama.
Kami sepakat tidak mengganggu urusan masing-masing, jadi nggak clash. Kecuali meeting dan diskusi. Tapi kalau sudah keputusan divisi begini begitu, nggak boleh ikut campur.
Cuma saya nggak mau diskusi di rumah. Kalau ada yang lupa, besok saja bicarakan di kantor. Nggak mungkin namanya suami istri nggak pernah berantem, pasti ada. Tapi lebih tertata dengan adanya berbagi ranah. Terus kalau dia sudah memberikan keputusan, ya sudah saya nggak boleh repot, saling support.
Wynda Mardio menyajikan steak Foto: Azcha Tobing
Menjadi ibu dan entrepreneur, bagaimana Anda membagi waktu dengan keluarga?
ADVERTISEMENT
My time is very precious karena semua harus diperhitungkan. Seperti jam kerja. Pukul 18.00 sudah di rumah karena saya mau bersama anak-anak. Kalau siang mereka sekolah, jadi nggak masalah saya bisa kerja. Pasti serabutan sih bagi waktunya, tapi harus dijalankan dan harus dibuat se-efektif mungkina
Saya meeting nggak mau lama-lama. Jadi meetingnya apa? Subjectnya apa? Solusinya apa? Tanggapannya apa? Setengah jam selesai. Meeting sama vendor, bawa apa? Saya coba, nanti saya feedback. Kadang kita meeting cuma 10 menit, sudah that’s it. Bukannya mau buru-buru, kalau memang nggak ada lagi yang perlu dibicarakan buat apa.
Nah, kalau saya ada waktu luang itu nonton Netflix, masak, main sama anak, belanja online...hahaha... Kadang nyalon.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan rutinitas kecantikan Anda? Perawatan diri atau olahraga.
Saya paling ke salon, kuku tangan dan kaki harus manikur. Karena saya masak, ngurus anak segala macam. Jadi saya harus mewarnai kuku biar bagus. Manikurnya yang gel, jadi nggak cepat rusak. Saya memang genit kalau soal kuku.
Lalu rambut, saya nyatok tiap hari. Pokoknya kalau keramas, pake conditioner, keringin rambut blow dulu. Ah... repot deh rambut saya. Jadi rambut saya effort-nya banyak lho. Makeup paling lima menit. Lama mengurus rambut sama memilih baju. Biasa perempuan merasa nggak punya baju melulu padahal baju selemari.
Saya senang olahraga. Sekarang lagi senang olahraga HIT (High Intensity Interval Training), dan hampir tiap hari olahraga di rumah. Itu gampang sekali, sit up, lari terus skipping. Biasanya olahraga 45 menit. Biar sehat saja, lebih berenergi. Karena aktivitas banyak supaya tubuh kuat. Olahraga juga bukan buat diet. Saya doyan makan.
ADVERTISEMENT
Lalu sebagai seorang pemilih restoran steak, apa makanan favorit Anda? Steak?
Sebenarnya saya paling suka makanan Indonesia seperti rendang, sop buntut, nasi goreng, juga sambal dan gorengan.Cuma kalau celana sudah mulai sempit, oke, saya kurangi karbo. Hahaha..
Saat ini tidak sedikit perempuan yang berani memulai UMKM di bidang kuliner. Apa advice Anda untuk perempuan yang ingin memulai bisnis kuliner. Bisa share setidaknya 3 tips?
Harus konsisten. Itu paling pertama. Kalau bisnis jangan gampang menyerah karena masalah itu pasti ada. Kalau nggak konsisten, baru ketemu rintangan sudah menyerah. Ya tidak akan ada hasilnya.
Kedua lakukan bisnis yang disuka. Bayangkan kita saja nggak suka, gimana kita mau service orang biar suka. Kalau misal saya nggak suka masak, nggak suka makanan, buat apa juga nggak ada gunanya, nggak mengerti juga soal makanan.
ADVERTISEMENT
Satu lagi, banyak-banyak berdoa.