Inspiring Hijaber: Bripka Indria Pujiastuti, Pilot Helikopter Polri

29 Mei 2019 18:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bripka Indria Pujiastuti, Penerbang Helikopter Perempuan Pertama Kepolisian Republik Indonesia. Foto: Avissa Harness/ kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bripka Indria Pujiastuti, Penerbang Helikopter Perempuan Pertama Kepolisian Republik Indonesia. Foto: Avissa Harness/ kumparan
Kalimat Cakra Buana Samapta atau yang berarti Karena di Udara Kita Jaya sepertinya sangat melekat pada sosok Brigadir Polisi Kepala (Bripka) Indria Pujiastuti, penerbang helikopter perempuan pertama di Kepolisian Udara Republik Indonesia.
Hal ini terbukti ketika Bripka Indri, begitu ia biasa disapa, mengungkapkan tanpa ragu bahwa bagi dia, menerbangkan helikopter rasanya sama seperti berjalan kaki.
“Ketika terbang, saya merasa lebih percaya diri. Rasanya seperti berjalan saja. Perasaan itu mungkin muncul karena saya benar-benar mengerti apa yang saya lakukan. Dan saya menyukai profesi ini,” ungkap Bripka Indri kepada kumparan saat kami temui di Direktorat Kepolisian Udara, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, beberapa waktu lalu.
Menerbangkan helikopter bukanlah tugas yang mudah. Bahkan menurut pengakuan Bripka Indri sendiri, menerbangkan helikopter lebih sulit daripada menerbangkan pesawat. Ia sendiri saat bertugas menerbangkan dua jenis helikopter, yaitu Enstrom 480 B, sebuah single engine chopper dan Bell 412, double engine chopper.
“Yang paling sulit adalah Bell 412, karena double engine. Tapi secara keseluruhan helikopter itu memiliki dimensi yang banyak. Kalau pesawat hanya bisa maju, ini helikopter bisa maju, mundur, ke kanan, ke kiri, bahkan berputar dan mengambang. Mungkin ini juga yang membuat sampai saat ini masih jarang sekali perempuan yang menjadi penerbang helikopter. Kan kalau pesawat sudah banyak,” jelasnya.
Bripka Indria Pujiastuti, Penerbang Helikopter Perempuan Pertama Kepolisian Republik Indonesia. Foto: Avissa Harness/ kumparan
Meski sudah lulus sekolah penerbang dari kepolisian dan mengantongi izin terbang resmi, perjalanan Bripka Indria sebagai penerbang helikopter perempuan tidak langsung berjalan mulus. Ia juga sempat mengalami diskriminasi atau diremehkan oleh rekan-rekan di kepolisian hanya karena ia seorang perempuan.
Simak perbincangan kami bersama Bripka Indria Pujiastuti sebagai salah satu Inspiring Hijaber pilihan kami di bulan Ramadhan ini.
Bagaimana perasaannya bisa menjadi penerbang helikopter perempuan pertama di Polri? Kapan pertama kali Anda menerbangkan helikopter?
Perasaannya sangat bangga karena sudah mendapatkan kepercayaan penuh untuk menerbangkan helikopter yang lebih sulit dari pesawat. Waktu itu pertama kali terbang di tahun 2015, saat latihan first solo flight.
Bagaimana ceritanya Anda bisa menjalani karier sebagai penerbang. Boleh diceritakan soal perjalanan karier Anda sejak awal hingga saat ini.
Menjadi penerbang itu memang sudah cita-cita saya sejak kecil. Tapi untuk menjadi penerbang helikopter itu baru kepikiran saat sudah agak dewasa. Jalan pertama yang saya tempuh untuk mewujudkan cita-cita tersebut adalah dengan meneruskan cita-cita orang tua untuk masuk kepolisian karena dulu ayah saya adalah anggota kepolisian. Jadi setelah lulus SMA, saya mendaftar dan diterima menjadi Polisi Wanita (Polwan)
Awalnya saya ditempatkan di Polres Metro Bekasi. Lalu saya mendapat tawaran tes menjadi pramugari untuk pesawat VVIP Polri di tahun 2006, alhamdulillah saya lolos. Kemudian saya masuk ke kepolisian udara dan ikut sekolah penerbang di tahun 2014. Setelah menjalani pelatihan selama 3-4 bulan, akhirnya di tahun 2015 saya sudah bisa menerbangkan helikopter sampai sekarang. Jadi kurang lebih saya sudah menjadi bagian dari kepolisian sekitar 15 tahun.
Menjadi anggota kepolisian merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Apa yang selalu memacu diri Anda untuk tetap semangat dan tidak menyerah?
Cita-cita yang membuat saya termotivasi. Semua karena passion juga. Menurut saya kalau kita melakukan hal yang kita inginkan, semua tantangan yang dihadapi akan menjadi lebih ringan. Tugas polisi udara itu sendiri sama dengan polisi lainnya. Kalau dibilang berat ya memang berat. Karena tugas polisi itu sendiri melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat. Tapi karena saya suka dengan apa yang saya lakukan, jadi saya merasa apapun yang saya hadapi tidak menjadi beban.
Selama menjadi seorang penerbang, tantangan terberat apa yang pernah atau sering Anda hadapi? Ada tantangan tertentu yang dihadapi sebagai perempuan penerbang?
Sebenarnya musuh atau tantangan terbesarnya adalah diri sendiri. Melawan dan mengontrol diri sendiri. Misalnya seperti melawan rasa malas, melawan ketakutan tidak bisa mengendalikan diri ketika menghadapi cuaca atau kondisi yang tidak normal.
Ketika ada masalah dengan helikopter, pilot dituntut untuk tenang, karena kalau tidak dia pasti tidak akan bisa memikirkan keputusan yang tepat. Tidak bisa membaca check list dengan baik, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Makanya pengendalian diri untuk seorang pilot itu nomor satu.
Bripka Indria Pujiastuti, Penerbang Helikopter Perempuan Pertama Kepolisian Republik Indonesia. Foto: Avissa Harness/ kumparan
Biasanya perempuan suka dibilang mudah terbawa perasaan. Terkait hal itu, adakah permasalahan soal perasaan atau mood yang mengganggu saat terbang?
Wah iya, mood memang penting sekali. Saat mood-nya sedang tidak enak, suasana terbang juga rasanya kurang enjoy. Tapi kalau mood sedang bagus, semua akan berjalan lancar. Bahkan ketika mendarat juga rasanya sangat mulus. Biasanya untuk menjaga mood, sebelum terbang saya bertemu dulu dengan rekan-rekan engineer. Bercanda dengan mereka, membangun hubungan yang baik. Itu bisa membantu memperbaiki mood. Saat sedang terbang saya juga akan bercanda dengan siapapun yang menjadi rekan terbang saya saat itu. Tidak peduli apapun pangkatnya, baik itu senior atau junior, saya berusaha untuk tidak membuat jarak, karena kalau di atas kita harus saling mendukung.
Sebagai perempuan, adakah yang meremehkan atau meragukan kemampuan Anda sebagai penerbang dan sebagai anggota kepolisian? Jika ada, seperti apa?
Tentu ada, saya pernah mengalaminya. Itu juga yang menjadi salah satu kendala saya. Pernah suatu kali, saya sedang menunggu (tugas) di Polda, tiba-tiba ada yang bertanya, ‘Ini yang perempuan apa? Pilot? Ah tidak mau kalau pilotnya perempuan, nanti tidak bisa terbang, nanti jatuh.’ Awalnya saya sempat merasa down. Padahal saya tahu dan semua orang tahu bahwa apabila kepolisian udara itu mencetak penerbang, standarnya pasti sudah yang terbaik.
Baik itu perempuan atau laki-laki, semua proses pelatihannya sama rata sesuai standar. Jadi kalau kita dirilis oleh kepolisian udara sebagai pilot atau co-pilot, itu tandanya kita sudah mampu. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan mengajak mereka terbang, agar mereka melihat sendiri dan yakin dengan kemampuan saya. Atau biasanya kapten yang akan menjelaskan apabila saya juga memiliki potensi sama seperti yang lain.
Ada momen penting yang tak terlupakan sepanjang karier Anda?
Momen yang tidak pernah terlupakan itu saat solo flight pertama di tahun 2015. Itu adalah pertama kalinya saya diizinkan terbang sendiri. Saat itu saya merasa ada lembaran baru dalam hidup saya yang baru dibuka. Rasanya bahagia sekali. Believe it or not, ini impian saya. Ketika berada di atas sendiri, apapun saya ucapkan. Nama orang tua dan orang-orang terdekat saya panggil. Saya bilang dalam hati, ‘Saya bisa terbang sendiri lho.’
Lalu pengalaman lainnya adalah waktu saya harus mendarat darurat. Waktu sedang patroli di Jakarta, oil temperature helikopternya tiba-tiba naik sementara di bawah adalah pemukiman warga semua. Satu-satunya solusi adalah harus segera mendarat. Untungnya karena ini adalah helikopter jadi mencari lapangan bola seadanya saja juga bisa mendarat. Akhirnya waktu itu saya mendarat di lapangan bola di daerah Pisangan kalau tidak salah.
Di awal karier, Anda belum mengenakan hijab. Saat sudah memakainya, adakah prosedur yang dijalani di kantor ketika akan berhijab? Misalnya seperti izin kepada atasan atau yang lain.
Kebetulan dari kepolisian sudah sangat terbuka dan mengeluarkan izin untuk perempuan yang ingin mengenakan hijab. Paling untuk seragam saja yang harus disesuaikan dengan peraturan kapolri. Kalau sedang memakai flying suit hijabnya berwarna hitam, kalau pakai pakaian dinas harian, hijabnya warna coklat. Model hijabnya pun juga sudah ditentukan, yaitu hijab bergo seperti yang saya pakai ini.
Bripka Indria Pujiastuti dan helikopter Enstrom 480B di Pangkalan Udara Pondok Cabe. Foto: Avissa Harness/ kumparan
Adakah perbedaan yang Anda rasakan sebelum dan setelah mengenakan hijab dalam berkarier?
Bedanya sebenarnya tidak ada, kalau alasan perempuan bilang hijab itu rumit, saya tidak merasakan kendala apapun. Saya justru merasa lebih terlindungi dengan memakai hijab.
Sebagai perempuan, menggeluti profesi sebagai pilot helikopter tentu terkadang memicu kekhawatiran, terutama bagi orang tua. Sempat ada larangan atau kekhawatiran dari orang tua sejak Anda mengutarakan ingin menjadi penerbang?
Mungkin pada saat pertama saya izin mau sekolah penerbang. Mereka tanya apakah saya sudah yakin. Mereka takut nanti saya kenapa-kenapa. Akhirnya saya harus meyakinkan mereka bahwa semua akan baik-baik saja, bahwa pesawat atau helikopter itu adalah kendaraan yang paling aman dibanding mobil atau kendaraan lain. Pelan-pelan mereka mulai mengizinkan. Sampai sekarang mungkin masih khawatir, jadi setiap mau terbang mereka mengingatkan agar saya tidak lupa berdoa. Saya pun juga pasti memberi kabar lewat telepon atau pesan kalau mau terbang.
Berbicara soal keluarga, Anda adalah seorang single parent. Bagaimana cara Anda bisa membagi waktu dengan anak dan pekerjaan?
Kebetulan anak saya sekolah dan tinggal di Bekasi. Jadi ketika ada waktu di akhir pekan untuk bersama dia, saya benar-benar tidak ingin melewatkannya. Meskipun di rumah ada asisten rumah tangga, saya tidak mau meninggalkan dia di rumah, saya tidak mau pisah. Jadi saya ajak dia kerja.
Bripka Indria Pujiastuti, Penerbang Helikopter Perempuan Pertama Kepolisian Republik Indonesia. Foto: Avissa Harness/ kumparan
Sebagai seorang perempuan, apa hal tersulit yang Anda hadapi saat menjadi single parent?
Tantangan saya sebagai single parent, saya harus menjadi role model untuk anak saya. Saya harus bisa menjadi contoh yang baik untuk dia. Saya juga manusia biasa, takut salah dan takut nanti diikuti oleh anak saya. Jadi saya membuat komitmen dengan anak saya. Saya bilang sama dia bahwa saya bekerja untuk cari uang, semua untuk dia. Lalu tugas dia adalah untuk mencetak prestasi di sekolah, membuat saya bangga. Saya berusaha menerapkan kerja tim dengan anak. Untungnya dia bisa dikasih pengertian.
Saya sadar bahwa tugas saya ini sangat berat sebagai ibu single parent. Dari pertama saya harus memberitahu bahwa ayah ibunya sudah tidak bisa bersama, saya takut sekali dia akan kehilangan masa anak-anaknya karena hal itu. Oleh karena itu, saya sangat hati-hati ketika memberi pengertian ke dia supaya tidak salah paham.
Buat saya, tantangan di pekerjaan itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan tantangan saya menjadi seorang ibu. Masalah pekerjaan itu bisa diatasi, banyak orang juga menghadapinya, jadi bisa tanya sana-sini. Tapi kalau kehidupan pribadi, setiap orang mengalami hal yang berbeda. Saya harus bisa mengatasinya sendiri.
Terakhir, adakah pesan yang ingin disampaikan bagi perempuan yang ingin menjadi penerbang helikopter seperti Anda?
Pertama harus fokus dengan keinginan kita. Kemudian berusaha mengejarnya dengan mengembangkan diri, dan percaya pada diri sendiri bahwa kita bisa. Lalu jangan mudah menyerah.
Sebagai pilot, kepercayaan diri memang sangat dibutuhkan, tapi tidak bisa terlalu banyak. Karena terlalu percaya diri itu juga tidak baik, bisa menyebabkan hal-hal fatal. Bagi saya sebagai penerbang ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu batas kemampuan diri dan batas kemampuan pesawat. Itu saja yang paling penting.