Perempuan Ramai Ikuti Gerakan Anti Nikah, Pemerintah Korsel Khawatir

31 Juli 2019 17:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perempuan membuat gerakan anti pernikahan di Korea Selatan. Foto: dok. YouTube
zoom-in-whitePerbesar
Perempuan membuat gerakan anti pernikahan di Korea Selatan. Foto: dok. YouTube
ADVERTISEMENT
Pertanyaan ‘Kapan menikah?’ ternyata tidak hanya menjadi momok bagi para lajang di Indonesia, tetapi juga ternyata di banyak negara, termasuk di Korea Selatan.
ADVERTISEMENT
Di negara yang mengalami kemajuan yang sangat pesat tersebut, ternyata perempuan masih dihadapkan dengan tekanan sosial mengenai pernikahan. Hal tersebut lama kelamaan membuat banyak perempuan tersingggung, terutama bagi mereka yang sudah memasuki usia 30-an. Pasalnya, di Korea Selatan jika ada perempuan yang sudah memasuki usia 30-an dan belum menikah, masyarakat akan menganggap mereka gagal dan memiliki kehidupan yang tidak baik.
Masyarakat di negeri Ginseng ini juga punya istilah khusus buat perempuan yang belum menikah, yaitu mi-hon yang sebenarnya juga berarti lajang. Namun rupanya tidak sedikit perempuan di sana yang merasa keberatan dipanggil mi-hon dan mereka tidak setuju jika keberhasilan seorang perempuan hanya diukur dari status pernikahannya saja.
Karena hal itu, perempuan Korea Selatan kemudian membuat sebuah gerakan bernama #NoMarriage sebagai bentuk perlawanan perempuan terhadap budaya patriarki yang masih sangat kuat di Korea Selatan. Banyak perempuan yang menyambut baik gerakan ini.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, gerakan anti menikah memberi kekhawatiran yang besar bagi pemerintah Korea Selatan. Turunnya minat perempuan untuk menikah dan memiliki anak secara tidak langsung mempengaruhi jumlah angka kelahiran disana. Menurut laporan dari Bloomberg seperti dikutip dari Fox News, angka kelahiran di Korea Selatan termasuk yang paling rendah di dunia dan minat kerja generasi mudanya juga sangat minim yang menyebabkan defisit besar untuk dana pensiun bagi negara.
Selain itu, gerakan anti-pernikahan ini juga mulai terlihat memberi dampak lain pada berbagai sektor di Korea Selatan, terutama dalam sektor ekonomi. Salah satu bisnis yang paling terdampak adalah bisnis pernikahan karena sejauh ini, satu dari lima gedung pernikahan di Seoul sudah resmi tidak beroperasi karena angka pernikahan yang semakin menurun.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sektor pendidikan juga turut merasakan dampak gerakan anti-nikah tersebut. Menurut laporan Bloomberg, terjadi penurunan angka partisipasi sekolah yaitu antara 26 sampai 43 persen di beberapa daerah di Korea Selatan.
Karena itu Kantor Pendidikan Seoul berencana untuk menutup tiga sekolah dasar dan sekolah menengah, serta sekolah-sekolah lain yang juga mengalami penurunan angka pendaftaran yang cukup signifikan.
Terkait adanya fenomena ini, para pejabat Korea Selatan masih terus mengawasi gerakan anti-pernikahan ini dan meresponnya dengan kebijakan dan program intensif pernikahan. Beberapa di antaranya adalah dengan membuat sebuah acara di mana perempuan dan laki-laki berstatus lajang dapat bertemu dan berkumpul. Ada juga dana subsidi untuk pengasuhan anak, serta jumlah cuti ayah yang ditambah. Pemerintah Korea Selatan juga berkampanye dan menjanjikan kebijakan yang lebih mengakomodir kebutuhan perempuan yang memiliki anak-anak.
Perempuan di Korea Selatan melawan tekanan sosial soal pernikahan dengan membuat gerakan #NoMarriage. Foto: Shutterstock
“Kita sekarang berada pada momen yang tepat untuk membenahi masalah populasi yang serius. Kita sekarang harus fokus untuk membuat pernikahan dan melahirkan tidak lagi membatasi hidup perempuan,” ungkap Presiden Moon Jae-in seperti dikutip dari Bloomberg.
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya, upaya pemerintah ini mendapat penolakan keras dari para perempuan yang tergabung dalam gerakan anti-pernikahan. Mereka menganggap pemerintah salah kaprah dalam menanggapi isu ini.
“Masalah terbesar pemerintah adalah mereka tidak mendengarkan perempuan. Masalah mendasarnya adalah keharusan untuk melahirkan dan membesarkan anak-anak. Mereka mencoba menjual ide bahwa berkeluarga dan memiliki anak itu adalah sebuah kehidupan yang indah. Padahal di balik itu ada masalah yang terjadi pada perempuan dan tidak banyak diperbincangkan, yaitu mulai dari perubahan fisik dan mental. Itulah sebabnya kebijakan-kebijakan tersebut tidak akan pernah berhasil mempengaruhi kita,” ungkap pendiri komunitas Elite Without Marriage, I am Going Forward (EMIF), Kang Han-byul.
Selama ini, perempuan di Korea Selatan merasa terbatasi dengan pernikahan. Karena setelah menikah, mereka harus mengurus suami dan anak yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk menjalani karier atau menggapai segala hal yang mereka inginkan. Dan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah mereka sama sekali tidak memberikan dukungan dan membuat perempuan semakin merasa hanya dijadikan sebagai ‘mesin pembuat anak’.
ADVERTISEMENT