3 Perbedaan Sistem Pendidikan antara Selandia Baru dan Indonesia

3 September 2018 17:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sandy Bay, Selandia Baru (Foto: Flickr/Michael Schwab)
zoom-in-whitePerbesar
Sandy Bay, Selandia Baru (Foto: Flickr/Michael Schwab)
ADVERTISEMENT
Selama ini, para pelajar Indonesia mungkin sudah cukup banyak yang berkuliah di Australia karena beberapa perguruan tinggi di sana punya nama bergengsi. Namun negara tetangganya, Selandia Baru, rupanya juga punya prospek yang bagus untuk pendidikan dan karier, lho.
ADVERTISEMENT
Enggak hanya menonjol karena keindahan alamnya sehingga menjadi daya tarik tersendiri di sektor pariwisata, Selandia Baru juga kini mulai menunjukkan kualitasnya dalam sektor pendidikan.
Karmela Christy, Market Manager Indonesia Education New Zealand, berujar, Selandia Baru saat ini bahkan berada di peringkat kelima di Asia dan Oseania untuk perihal inovasi karena sistem pendidikan yang sangat mendukung. Selain itu, pada September 2017 kemarin, Selandia Baru berada di peringkat satu dalam hal mempersiapkan para pelajarnya untuk menghadapi tantangan di berbagai industri ke depan.
Nah, buat kamu yang tertarik dan berencana untuk berkuliah di Selandia Baru, ada tiga hal yang perlu kamu ketahui soal perbedaan sistem pendidikan di Selandia Baru dengan di Indonesia. Apa saja?
ADVERTISEMENT
1. Mata pelajaran lebih sedikit
Ilustrasi belajar (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi belajar (Foto: Pixabay)
Di Selandia Baru hanya ada sekolah menengah biasa, tidak seperti di Indonesia yang punya sekolah menengah khusus seperti SMK. Namun Karmela menjelaskan, kurikulum yang dipelajari para pelajar sekolah menengah ini sudah setara dengan yang dipelajari anak SMK. Sehingga saat mereka lulus dari SMA, mereka juga punya skill seperti anak SMK.
Subject (mata pelajaran) yang diambil pelajar ini juga lebih sedikit. Sisanya hanya mengambil subject sesuai dengan apa yang para pelajar mau. Jadi dari SMA mereka sudah tahu di mana kekuatan mereka,” ujar Karmela.
2. Kolaborasi yang terintegrasi
Acara Education New Zealand dihadiri Aulion (pojok kiri), Griselda Agatha (kedua dari kiri), Karmela Christy (kiri tengah), Trevor Matheson (kanan tengah), Fin Kasali (kedua dari kanan), Jan Ramos (pojok kanan) (Foto: Hesti Widianingtyas/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Acara Education New Zealand dihadiri Aulion (pojok kiri), Griselda Agatha (kedua dari kiri), Karmela Christy (kiri tengah), Trevor Matheson (kanan tengah), Fin Kasali (kedua dari kanan), Jan Ramos (pojok kanan) (Foto: Hesti Widianingtyas/kumparan)
Salah satu perbedaan yang menonjol dari sistem edukasi di Selandia Baru dengan di Indonesia adalah, Selandia Baru menjalin kolaborasi antara universitas dengan industri yang saat ini sedang dikembangkan.
ADVERTISEMENT
Tak hanya universitas, untuk pendidikan politeknik atau vokasi, bahkan para mahasiswanya hanya belajar sesuai kebutuhan industri. Jadi, begitu mereka lulus mereka benar-benar siap menghadapi dunia kerja.
Karmela mengatakan, di Selandia Baru kolaborasi antara pihak perguruan tinggi dengan industri sangat terintegrasi, sehingga hasilnya efektif.
“Tingkat pengangguran di Selandia Baru sangat rendah, di sana yang ada malah kekurangan tenaga kerja,” ungkap Karmela.
Dia memberi contoh, di University of Auckland, terdapat departemen khusus yang diberi nama Velocity. Tujuannya untuk mencetak entrepreneur. Velocity memberikan funding atau bantuan bagi startup baru.
“Di departemen tersebut, mahasiswa belajar caranya buat bisnis porposal, kemudian mereka bisa ajukan ke universitas. Jika universitas tertarik ,mereka akan invest. Bahkan program ini bisa mengajak dosen bekerja sama, jadi dosen bisa dilibatkan hingga startup itu jadi,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
3. Egaliter
Ilustrasi seorang guru mengajar astronomi. (Foto: physics.dartmouth.edu)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang guru mengajar astronomi. (Foto: physics.dartmouth.edu)
Jika di Indonesia soal sopan santun dan hormat kepada yang lebih tua sangat dianjurkan, berbeda dengan di Selandia Baru yang lebih egaliter.
Di sana, para mahasiswa tidak punya jarak atau batasan dengan dosen mereka. Bentuk ramah tamah dan keakraban mereka, terlihat dari para mahasiswa yang memanggil dosen dengan nama mereka langsung.
“Di sini para mahasiswa bisa panggil langsung dosen dengan first name mereka, bahkan enggak perlu pakai embel-embel ‘Mister, Ma’am, atau Prof’. Mereka sangat open untuk dikritik termasuk saat di kelas,” tegas Karmela.