7 Hal yang Hanya Dialami Mahasiswa Jurusan Psikologi

14 Agustus 2018 12:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Psikologi (Foto: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Psikologi (Foto: pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Psikologi merupakan salah satu jurusan terfavorit di sejumlah kampus Indonesia. Oleh karenanya, menjadi mahasiswa jurusan psikologi tentu memberikan kebanggaan tersendiri.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, ada suka dan duka yang hanya dialami mahasiswa jurusan psikologi. Apa saja, ya?
1. Disuruh baca kepribadian
Seorang mahasiswa psikologi UI, Aulia, mengaku dianggap bisa tahu kepribadian seseorang walau baru pertama kali bertemu. Ia bahkan pernah ditanya keribadian berdasarkan golongan darah.
"Dulu, kan, banyak akun golongan darah dan kepribadian gitu. Aku ditanya itu benar atau enggak. Ditanya juga 'kalau golongan darah B kepribadiannya bagaimana'? Aku cuma bisa nyengir awkward," tutur Aulia kepada kumparan, Senin (13/8).
2. Dianggap bisa baca pikiran
"Kalau kenalan sama orang asing pasti diomongin 'waduh bisa baca pikiran orang, dong' 'waduh aku harus hati-hati nih, nanti kepribadianku kebaca'," aku Acintya, alumni S1 dan S2 Psikologi UGM.
ADVERTISEMENT
Padahal menurut Acintya, untuk 'membaca pikiran' seseorang yang baru dikenal itu merupakan hal yang mustahil. Harus melalui tahapan tes tertentu untuk menganalisa orang secara tepat.
"Kalau untuk orang yang sudah sering bersama (sudah dekat -red), lumayan gampang untuk dilakukan," lanjut Acintya.
3. Diminta tips dan trik mengerjakan psikotes
Ujian baccalaureate di Prancis. (Foto: AFP/Frederick Florin)
zoom-in-whitePerbesar
Ujian baccalaureate di Prancis. (Foto: AFP/Frederick Florin)
Aulia menuturkan notifikasi WhatsApp dan LINE di handphonenya mendadak ramai bila teman-temannya sedang mengikuti ujian masuk perusahaan. Sebagai mahasiswa psikologi, ia kerap diminta tips dan trik mengerjakan psikotes dan TPA.
"Bahkan pernah sampai dikirim foto soal ujian dan disuruh mengerjakan. Asal tahu aja, ya, kunci psikotes dan TPA itu tidur cukup, makan enak. Tapi tiap kali aku kasih tahu begini mereka marah-marah, aduh kesal sendiri," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
4. Secara enggak sadar menganalisa diri sendiri dan orang lain
Berbagai teori psikologi yang diajarkan selama kuliah, tak jarang mahasiswa terapkan di kehidupan sehari-hari. Seperti Aulia yang mengaku pernah menganalisa diri sendiri.
"Kalau lagi senang banget suka mikir, 'oh aku senang banget gini jangan-jangan ini episode manic, jangan-jangan aku bipolar'," ujarnya.
Ia juga secara diam-diam menemukan penjelasan di balik perilaku seseorang. "Kadang kalau ada yang curhat bagaimana orang itu dibesarkan dari kecil, aku langsung mikir 'oh pantes orangnya rese'," ucapnya sambil tertawa.
5. Menjadi sumber solusi segala permasalahan hidup
Mahasiswa jurusan psikologi juga memiliki citra sebagai tempat curhat yang baik. Mereka dianggap memiliki solusi dari segala permasalahan hidup layaknya seorang psikolog profesional.
ADVERTISEMENT
Padahal, Shabrina --mahasiswa psikologi UGM-- menyebut proses untuk menjadi psikolog tidak semudah dan secepat itu. Setelah mengenyam pendidikan S1 psikologi, kamu harus melanjutkan S2 pendidikan profesi.
"Pernah dijadikan tempat curhat. Tapi kalau menurut dia tanggapannya salah, diejek 'katanya anak psikologi'. Ya, mohon maaf, saya bukan psikolog. Atau kadang jawab 'wah maaf, nih, hidupku aja enggak bener. Salah tanya kamu'," kata dia.
Curhat dengan teman (Foto: Ashley/Flickr)
zoom-in-whitePerbesar
Curhat dengan teman (Foto: Ashley/Flickr)
Senada dengan Shabrina, Aulia menambahkan ia juga pernah diminta untuk mengobati seseorang layaknya psikiater.
"Adiknya temanku bipolar, terus dia sama mamanya konsultasi ke aku bagaimana cara menyembuhkannya. Ya, aku bantu semampuku aja. Tapi aku tegaskan, aku belum memiliki kapasitas untuk melakukan itu, karena bukan psikolog atau psikiater," jelas Aulia.
ADVERTISEMENT
"Kalau udah ditanya begini, ya, membantu aja sebisa aku. Itung-itung mencoba mengaplikasikan ilmu yang sudah diketahui," ujar dia.
6. Sering ditanya 'apa bedanya psikolog dan psikiater?'
Acintya mengaku banyak orang yang masih belum tahu perbedaan profesi psikolog dengan psikiater. Meski sama-sama dirujuk untuk membantu orang dengan gangguan mental, keduanya berbeda.
Psikiater adalah spesialisasi dari ilmu kedokteran, jadi harus menempuh sekolah kedokteran. Sebab, psikiater bisa memberikan resep dan terapi obat-obatan.
Sementara psikolog tidak masuk sekolah kedokteran, melainkan pendidikan ilmu psikologi. Psikolog berkompeten untuk melakukan serentetan psikotes seperti tes IQ, minat bakat, dan tes kepribadian.
7. Menggunakan teori psikologi untuk mengatasi masalah
Meski memiliki bermacam stereotip, Shabrina mengaku senang bisa menjadi mahasiswa jurusan psikologi karena bisa membantunya mengatasi dan memahami masalah.
ADVERTISEMENT
"Aku jadi lebih adaptif. Tahu bagaimana cara menghadapi beragam karakteristik orang. Aku juga bisa pakai teori psikologi untuk mencari tahu sumber masalahku," terang Shabrina.
Sama halnya dengan Acintya yang mengaku menjadi lebih mudah dalam menghadapi masalah sehari-hari.
"Misal dulu ada konflik di dalam kelompok, aku coba ingat apa yang udah dipelajari dan coba mengaplikasikannya. Tapi enggak semua bisa diaplikasi secara mentah, tetap harus lihat konteksnya agar tepat sasaran," jelas dia.