Aturan Rambut Gondrong di Sekolah: Makin Gondrong, Makin Pintar

31 Agustus 2018 19:57 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Siswa SMA Kolese Gonzaga boleh berambut gondrong, Jumat (31/8/18). (Foto: Gregorius Alvin)
zoom-in-whitePerbesar
Siswa SMA Kolese Gonzaga boleh berambut gondrong, Jumat (31/8/18). (Foto: Gregorius Alvin)
ADVERTISEMENT
Tak bisa dipungkiri, rambut gondrong termasuk dalam salah satu ‘mimpi’ pelajar sekolah yang sulit didapat. Yap, dengan sederet peraturan yang ada, sebagai pelajar, kita diminta untuk selalu tampil rapi. Efeknya, rambut gondrong seakan jadi mimpi yang baru bisa digapai setelah kita berstatus sebagai mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Penerapan peraturan tersebut juga tak main-main. Di hampir seluruh sekolah di Indonesia, razia rambut jadi hal rutin yang kerap dilakukan sekolah, sekaligus ditakuti oleh sebagian besar pelajar cowok.
Kalau sampai ketahuan, siap-siap, kadar ketampanan kita akan berkurang drastis karena hasil potong rambut saat razia yang terkesan asal-asalan, atau bahkan menjurus ke arah botak.
Namun nyatanya, peraturan tersebut tidak berlaku di beberapa sekolah di Indonesia. Setidaknya, itu yang dirasakan teman-teman dari SMA Kolese Gonzaga, Jakarta. Di sekolah ini, kamu bisa menemukan pelajar cowok dengan rambut tebal, bahkan punya panjang sebahu. Persis seperti model iklan sampo yang sering kamu lihat di sela-sela tayangan sinetron favorit ibu kamu.
Bukan 1 atau 2 tahun. Nyatanya, peraturan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1987, saat sekolah di bilangan Kemang, Jakarta Selatan ini, pertama kali berdiri. Alasannya? Sekolah menyebut hal tersebut sebagai ‘apresiasi’ bagi para siswa yang berhasil mendapatkan capaian akademik yang bagus di sekolahnya.
ADVERTISEMENT
"Ada hari di mana pakaian pun tidak menggunakan seragam. Pakai batik atau pakaian bebas. Jadi (kami) ingin menekankan bahwa anak-anak bisa diminta tanggung jawabnya. Dengan panampilan seperti itu masih tetap bisa perform baik secara akademik dan leadership juga," tutur Gerardus Hadian Panamokta (Okta) selaku Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan (Moderator) SMA Kolese Gonzaga saat dihubungi kumparan.
Ada syarat dan ketentuan yang berlaku
Awalnya, saat peraturan ini pertama kali diberlakukan, semua pelajar bebas untuk memanjangkan rambutnya seperti yang mereka mau. Namun, seiring perkembangan zaman, mengacu pada omongan Okta, untuk mendapatkan keistimewaan tersebut, sebagai warga SMA Kolese Gonzaga, kamu wajib menjadi siswa yang berprestasi.
“Hingga tahun 2004, siswa Gonzaga harus mendapat nilai rata-rata untuk bisa menggondrongkan rambutnya,” ujar Okta.
ADVERTISEMENT
Syarat nilai itu pun kemudian dipertegas lagi menjadi 85 hingga saat ini. Maka, menurut Okta, siswa yang berambut gondrong di SMA Kolese Gonzaga --secara tidak langsung-- adalah mereka yang memiliki predikat cum laude dalam hal akademik. Meskipun, untuk menggondrongkan rambut itu sendiri kembali lagi menjadi pilihan pribadi dari masing-masing siswa tersebut.
"Tapi kalau di bawah itu enggak bisa. Kalau nilainya belum memenuhi syarat, di bawah 85 misalnya, maka mau tidak mau harus dipotong rambutnya. Paling panjang 5 cm," pungkas Okta.
Teman-teman di Gonzaga tak sendirian. Keistimewaan yang sama nyatanya juga bisa ditemui di SMA Pangudi Luhur (PL) 1 Jakarta. Menurut Timothy (16), salah seorang siswa, aturan ini sudah diberlakukan di sekolahnya sejak instansi tersebut pertama kali didirikan pada 1965 silam.
ADVERTISEMENT
Bedanya, tidak seperti Gonzaga yang menetapkan batas bawah nilai untuk aturan ini pada angka 85, SMA Pangudi Luhur Jakarta, menurut Timothy, menetapkan nilai 80 sebagai batas minimal untuk seorang siswa bisa memiliki rambut gondrong.
"Syaratnya nilai rata-rata harus diatas 80 untuk saat ini, dan untuk semester depan hingga seterusnya naik jadi 85 dan nilai sikap harus bagus," katanya.
Masih banyak yang membandel
Ya, namanya juga darah muda, alias remaja, segala aturan dan perjanjian yang harusnya ditaati, justru malah dilanggar. Menurut Okta, sebagian siswanya terkadang masih saja ada yang melebihi batas kebebasan yang sudah ditentukan, alias ‘ngelunjak’.
"Artinya mereka lupa bahwa dari aturan seragam di Gonzaga saja sudah berbeda dengan teman-teman di sekolah lain. Jadi sudah sangat bebas. Tapi terkadang mereka melanggar juga dengan celana yang pensil atau sobek-sobek. Kalau sudah sobek-sobek, kan, itu tidak menghargai orang," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Namun, di luar hal itu, program apresiasi ini sendiri dianggap membawa cukup banyak dampak positif terhadap perkembangan siswa dalam beberapa aspek.
Tambah okta, selain mendorong mereka untuk dapat mencapai nilai yang baik, hal ini juga ditujukkan sebagai bentuk penyaluran ekspresi bagi para siswa agar tidak terkekang dengan peraturan yang begitu mengikat.
Menurutnya, untuk saat ini, dari total populasi siswa yang terdapat di SMA Kolese Gonzaga, hanya sekitar 20-25 persen dari mereka yang berhasil mendapatkan bentuk apresiasi tersebut.
"Nilai 85 itu sudah cukup sulit, ya. Karena beberapa guru ada yang standarnya di atas itu. Memang standar ketuntasan nilainya 75, tapi beberapa guru 'menantang' siswa untuk lebih dari itu, jadi tidak mudah juga untuk dapat nilai 85 itu," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Senada dengan yang dikatakan Okta. Menurut Timothy, bisa menggondrongkan rambut sesuai dengan keinginannya merupakan sebuah imbalan tersendiri atas nilai bagus yang telah berhasil dicapainya.
"Nyaman, sih, emang pengin gondrong," tutup Timothy.