Bagaimana Ramalan Kiamat Dibuat?

21 September 2017 21:24 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Meramal masa depan. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Meramal masa depan. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi muncul ramalan tentang akhir dari seluruh kehidupan. Kali ini datang dari seorang ahli numerologi Kristen asal Amerika Serikat (AS) David Meade. Meade meramalkan kiamat akan terjadi pada 23 September 2017 atau dua hari mulai hari ini.
ADVERTISEMENT
Meade menjelaskan bahwa Planet X alias Nibiru akan datang menghantam Bumi dan Bumi akan hancur. Prediksi itu ia dasarkan pada ayat-ayat dan kode numerik dalam Alkitab. Dalam analisis numeriknya, perhatian Meade tertuju pada sebuah nomor, yakni 33.
"Yesus hidup selama 33 tahun, nama Elohim, yang merupakan nama Tuhan bagi orang Yahudi, disebutkan 33 kali (dalam Alkitab)," tutur Meade kepada The Washington Post pekan lalu.
Memang ramalan mengenai akhir dari seluruh kehidupan bukan hal baru bagi manusia.
Ilustrasi Kiamat (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kiamat (Foto: Pixabay)
Misalnya saja pada abad ke-16 ketika Johannes Stöffler, seorang matematikawan dan astrolog Jerman, meramalkan banjir besar yang akan terjadi. Banjir diramalkan akan mencakup seluruh dunia pada 25 Februari 1524, ketika semua planet akan sejajar dengan Pisces, yang merupakan simbol air.
ADVERTISEMENT
Saat itu ratusan pamflet mengumumkan banjir yang akan datang dan menimbulkan kepanikan umum. Ramalan itu bahkan membuat seorang bangsawan Jerman Count von Iggleheim membangun sebuah kapal bertingkat tiga. Meski ada hujan ringan pada hari yang diprediksi banjir besar itu datang, namun tidak ada banjir sama sekali seperti diramalkan Stöffler.
Masih juga kita ingat, misalnya, ramalan kalender Suku Maya yang diinterpretasi bahwa kiamat akan terjadi pada 21 Desember 2012. Tanggal itu ditandai sebagai akhir dari Siklus Besar dari kalender panjang Suku Maya. Banyak orang kemudian mengartikan itu sebagai akhir dari dunia alias kiamat.
Namun, ketika ramalan tersebut tak terbukti, muncul spekulasi lain. Setelah dihitung ulang, kiamat diperkiraan terjadi pada 4 Juni 2016. Revisi berdasarkan asumsi bahwa Suku Maya tak memperhitungkan tahun kabisat, sehingga terdapat perbedaan 1.260 hari antara kalender Suku Maya dan kalender Gregorian yang digunakan sekarang.
ADVERTISEMENT
Namun, prakiraan itu kembali meleset.
Cendekiawan suku Maya Ricardo Agurcia mengatakan, “Hanya ada satu tanggal monumental bagi suku Maya di 2012. Itu tentang kelahiran kembali dan awal mula sebuah siklus, bukan kematian (kiamat).”
Sekian banyaknya ramalan itu dengan sendirinya dibatalkan oleh kenyataan. Tidak ada yang benar-benar mengetahui kapan dan bagaimana hari penghabisan itu tiba dan terjadi. Kendati demikian, dari semua ramalan yang pernah diketahui, kita bisa melihat pola-pola tertentu yang serupa.
Walaupun, memang sejauh ini belum ada seorang pun yang bisa memastikan awal dan akhir seluruh kehidupan: kapan dan bagaimana mula kehidupan menjadi ada, serta kapan dan bagaimana menjadi tidak ada?
Sehingga mengenai hal tersebut paling jauh hanya bisa diungkapkan sebagai ramalan.
Ilustrasi Hari Bumi (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hari Bumi (Foto: Istimewa)
Sebagian besar manusia di Bumi percaya bahwa alam semesta yang sudah ditinggali makhluk hidup selama jutaan tahun ini memiliki awal dan akhir. Keyakinan kolektif itu biasanya didasarkan pada dua pola: perhitungan fisika dan metafisika.
ADVERTISEMENT
Ramalan yang didasarkan atas pola metafisika, di antaranya ialah ramalan Montanisme, ramalan 666, Joanna Southcott, William Miller, Hong Min Chen, Harold Camping, dan ramalan dari kalender Suku Maya.
Ramalan dari pola ini umumnya didasarkan atas sistem kepercayaan tertentu. Seperti bersumber dari tradisi, kitab suci, atau bahkan peristiwa yang dipercayai sebagai wahyu.
Dalam ramalan Montanisme pada abad ke-2 di wilayah Frigia, yang kini termasuk ke wilayah Turki, disebutkan bahwa Montanus --pemimpin Montanisme-- diberi wahyu yang menyebutkan kedatangan Kritus akan segera tiba. Dengan demikian akan menjadi akhir kehidupan. Dalam wahyunya disebutkan bahwa Roh Kebenaran itu akan datang dan mewujud dalam tubuh Montanus.
Hal serupa tampak dalam kasus Joanna Southcott pada abad ke-18, wahyu kembali menjadi pemicu munculnya ramalan akhir kehidupan. Southcott mengaku mendengar suara-suara yang dapat memprediksi masa depan. Dari suara-suara itu, ia menyatakan pada 1799 dan 1800 akan terjadi gagal panen dan kelaparan.
ADVERTISEMENT
Pola semacam pewahyuan itu juga terjadi dalam kasus ramalan Hong Min Chen yang menggabungkan berbagai kepercayaan mulai dari Kristen, Buddha, dan teori konspirasi UFO.
Sementara ramalan berdasar interpretasi dan perhitungan angka tertentu dalam sistem kepercayaan terjadi seperti pada ramalan 666.
Di London pada abad ke-17, muncul tafsir terhadap Bibel yang menyebut angka 666 sebagai angka setan. Hal itu diinterpretasikan secara berlebihan sebagai tanda akhir dunia yang akan terjadi pada tahun 1666.
Ilustrasi bencana alam (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bencana alam (Foto: Pixabay)
Dua abad berikutnya, perhitungan angka kembali memunculkan ramalan kiamat.
William Miller berdasarkan hasil perhitungannya meramalkan pada 1843 Yesus Kristus akan turun ke Bumi. Kemudian ia merevisinya menjadi tahun 1844. Namun kedua ramalannya itu tak terbukti. Miller berdalih, “Tahun pengharapan telah sesuai dengan nubuat. Tapi mungkin ada kekeliruan dalam memahami kronologi Alkitab. Hal itu sangat manusiawi, salah menentukan tanggal dan ketidaksesuaian lain.”
ADVERTISEMENT
Di penghujung abad ke-20 hingga masuk abad-21, ketika sistem perhitungan fisika jauh lebih mendalam dibanding pada masa ramalan 666 dan Miller hidup, ramalan berdasarkan perhitungan metafisika nyatanya masih tetap hidup.
Pada dekade 1990, Harold Camping mencoba meramalkan hari kiamat dengan melakukan berbagai perhitungan berdasarkan Bibel. Ia terhitung sudah mengumumkan 12 kali ramalan. Salah satunya ramalan yang ia sebutkan bahwa kiamat akan terjadi pada 21 Mei 2011, di mana Yesus Kristus akan turun ke Bumi untuk menyelamatkan umat manusia. Semua ramalannya tak ada yang terbukti.
“Aku kini lebih sungguh-sungguh membaca Bibel, bukan untuk mencari tanggal kiamat. Tapi untuk memperkuat keimananku,” kata Camping.
Termasuk dalam pola ini adalah ramalan yang paling kekinian dari David Meade. Seperti yang telah disampaikan pada awal artikel.
ADVERTISEMENT
Demikianlah kira-kira pola ramalan kiamat berdasarkan perhitungan metafisika: melalui wahyu atau angka-angka tertentu dalam ajaran suatu sistem kepercayaan. Biasanya dari pola jenis ini, tidak selalu ditemukan penjelasan sebab apa kiamat itu terjadi secara konkret. Pola jenis ini biasanya lebih banyak lahir dan dipercaya oleh penganut kuat sistem kepercayaan tertentu.
Bencana Nuklir Chernobyl. (Foto: Reuters/Gleb Garanich)
zoom-in-whitePerbesar
Bencana Nuklir Chernobyl. (Foto: Reuters/Gleb Garanich)
Hal itu berbeda dengan pola berdasarkan perhitungan fisika. Ramalan tentang akhir kehidupan berdasarkan perhitungan ini umumnya dijelaskan melalui serangkaian fenomena alam, sosial, dan ilmu pengetahuan.
Pola jenis ini biasanya didasarkan atas bukti-bukti empiris dan perhitungan ketat. Muncul dalam kasus, misalnya ramalan Johannes Stöffler yang sudah dijelaskan di atas, dan Komet Halley.
Prediksi berdasarkan perhitungan fisika hadir menjadi buah bibir masyarakat ketika sebuah komet diramalkan akan menghancurkan semua kehidupan di Bumi. Pada 1910, diperhitungkan Komet Halley berada pada jarak yang mengkhawatirkan dengan Bumi.
ADVERTISEMENT
Bahkan dalam sebuah berita disebutkan, “Ilmuwan: Komet Bisa Membunuh Semua Kehidupan di Bumi”. Berita itu menegaskan bahwa ramalan kiamat ini didasarkan atas perhitungan fisika. Meskipun kemudian Komet Halley, yang memang melintasi Bumi setiap 76 tahun sekali itu, tak mempengaruhi apapun selain membawa serta hujan meteor di langit malam.
Perhitungan lainnya lahir dari Stephen Hawking, ilmuwan kawakan yang namanya dikenal di seluruh dunia, memprediksi bahwa dalam 100 tahun manusia harus segera mencari tempat hidup baru.
Kelangsungan hidup manusia di Bumi akan semakin tidak cocok, untuk it manusia harus meninggalkan Bumi dan mencari habitat yang lebih mendukung kelangsungan hidup.
Sebabnya tidak lain karena ulah manusia sendiri. Mulai dari kerusakkan alam karena eksploitasi berlebihan, bencana nuklir, kepadatan penduduk, atau mungkin saja sampai tak terkendalinya robot-robot hasil penemuan Artificial Intellegence.
ADVERTISEMENT
Barangkali, kehancuran dunia terjadi tanpa harus menunggu hari akhir, namun ulah manusia sendiri yang mempercepat kerusakan hadir.