Belajar dari Kasus Pria Gugat Mantan Pacar ke Pengadilan

10 Agustus 2019 10:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Kencan  Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kencan Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini pria asal Maumere, Alfridus, menggugat uang ganti rugi kepada mantan kekasihnya, Fransiska, atas pemberiannya selama mereka berpacaran. Gugatan ini ia layangkan ke Pengadilan Negeri Maumere, Selasa (30/7).
ADVERTISEMENT
Total gugatan mencapai Rp 408.250.000. Rinciannya, biaya membangun rumah, pembelian alat-alat rumah tangga, dan pulsa listrik serta HP milik sang mantan kekasih.
Tak terima, Fransiska mengugat balik mantannya tersebut. Dia menuntut ganti rugi atas biaya air mineral yang disuguhkan selama berpacaran dan biaya menggunakan toilet ketika Alfridus bertandang ke rumahnya.
Perang Mantan di Pengadilan Foto: Putri Arifira
Melihat kasus tersebut kumparan mencari tahu, bagaimana tradisi bayar-membayari dalam hubungan heteroseksual. Apakah laki-laki memang lebih dominan?

Tradisi Menggantungkan Tanggung Jawab ke Pria

Sejak fase kehidupan communal primitive, bagian otonomi wilayah kerja sudah diatur berdasarkan gender. Dalam hal ini, laki-laki bertugas untuk berburu sedangkan perempuan bertugas mengolah hasil buruan.
Artinya, laki-laki memiliki kekuasaan lebih mengenai sumber daya alam yang dia peroleh. Kemudian hal tersebut terus berlanjut hingga zaman feodal ketika perempuan lebih mengandalkan pemasukan keluarga dari sang suami.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, laki-laki juga lebih dibebankan mengenai urusan biaya perkawinan, seperti biaya pranikah hingga resepsi. Belum selesai dari tanggungan biaya utama, dalam sistem adat tertentu, laki-laki juga dibebankan biaya adat yang berlaku.
Kewajiban demi kewajiban diemban laki-laki untuk menanggung hajat istri. Hal itu pun termaktub dalam Bab VI UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga (pasal 31 ayat 3); suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (pasal 34 ayat 1); dan istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya (pasal 34 ayat 2).
Serangkaian aturan tersebut pun mendukung alasan laki-laki lebih dibebankan menanggung beban finansial dalam suatu hubungan. Khususnya, dalam konteks pernikahan.
ADVERTISEMENT
Bahkan, ada juga yang berinisiatif menarik kewajiban tersebut lebih awal. Yakni di masa-masa mereka berpacaran.
kumparan mengambil contoh kasus kisah Alfridus, pria Maumere yang telah menggelontorkan sejumlah uang untuk kebutuhan pacarnya dan membantu pembangunan rumah sebesar Rp 48.250.000. Melihat dari isi gugatan, Fransiska, sang kekasih hanya berkontribusi air dan biaya sewa toilet selama berpacaran.
Dalam kasus ini, dapat dilihat bahwa dominasi laki-laki membayar biaya kencan jauh lebih besar dibandingkan perempuan.
Walau begitu, cerita mengenai ironi kerugian laki-laki bangkrut karena urusan cinta tidak terjadi secara terus menerus. Mengingat meningkatnya capaian pendidikan dan keterlibatan perempuan dalam dunia kerja, telah mengubah stereotip bahwa laki-laki berkewajiban membayar biaya kencan.
Lever, Frederick dan Hertz dalam penelitian mereka yang berjudul Who Pays for Date? Following Versus Chellenging Gender Norms (2015) menguji seluruh stereotip tentang laki-laki yang berkewajiban membayar biaya selama kencan.
ADVERTISEMENT
Sebanyak 82% pria dan 58% wanita setuju bahwa laki-laki membayar lebih banyak. Meskipun, ada 57% wanita menawarkan diri untuk mengambil bagian dalam pembayaran.
Para tradisionalis yang memegang norma gender berpendapat, mereka mentransmisikan nilai-nilai yang diajarkan leluhurnya. Yakni laki-laki merupakan kesatria yang harus mengurus sang putri. Caranya dengan mengambil alih tagihan saat berkencan.
Ilustrasi anak muda mengelola uang Foto: Shutterstock
Seorang laki-laki berusia 29 tahun yang termasuk sebagai responden penelitian Lever berpendapat, membayari kencan merupakan bentuk harga diri. Selain itu, laki-laki juga ingin dipandang atas kerja kerasnya.
"Saya lebih suka membayar semuanya karena hal itu membuat saya merasa nyaman dengan diri saya sendiri karena saya menghasilkan uang yang layak. Itu membuat saya menghargai betapa kerasnya saya telah bekerja untuk mendapatkan uang serta berharap wanita juga menghargai itu."
ADVERTISEMENT
Namun, mayoritas responden laki-laki (64%) mengatakan, mereka mengharapkan kontribusi keuangan dari perempuan. Seorang responden laki-laki berusia 34 tahun angkat bicara mengenai hal itu.
"Itu akan tergantung pada situasinya juga. Jika saya menghasilkan lebih banyak dari yang seharusnya. Saya tidak akan pernah bertanya karena ketidakseimbangan keuangan. Tetapi jika penghasilan saya lebih sedikit, saya masih akan membayar, tetapi mengharapkannya untuk membantu," kata responden tersebut.
Penelitian itu menjelasakan, simbiosis mutualisme yakni inisiatif wanita berkontribusi membayar dan semakin banyak pria meminta wanita untuk membayar, akan membantu menghapuskan stereotip tersebut. Stereotip yang menempatkan laki-laki sebagai "penyedia."
Namun, bagi 44% wanita yang resisten, menolak mengubah pola gender kuno. Dalam artikel Why Men Resist (1980) karya William J. Goode, menuliskan bahwa perempuan cenderung menolak perubahan peran. Meskipun, mereka sudah mampu untuk berubah.
ADVERTISEMENT
Hal itu terjadi karena perempuan cenderung enggan melepas hak istimewa mereka untuk dibayari saat berkencan.
Sementara itu, Charyn Pfeuffer dalam tulisannya yang dimuat Forbes punya argumentasi berbeda. Dia berpendapat, hubungan cinta modern sudah seharusnya mulai terlepas dari perdebatan soal gender. Dalam hal ini, mengenai siapa yang harus membayar tagihan kencan.
"Gagasan laki-laki yang membayar kencan pertama adalah kuno dan berakar pada norma-norma yang akan dengan mudah runtuh di bawah analisis hubungan non-heteroseksual," tulis Pfeuffer.